Ruang Etalase Politik
Yasraf Amir Piliang, DOSEN PADA PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Sumber
: KOMPAS, 1 Desember 2011
Ruang
politik bangsa akhir-akhir ini dirasuki semangat ”materialisme”, menyebarkan
aroma kegusaran publik. Mulai dari gaya hidup hedonistis anggota DPR, dana
kampanye politik yang seakan tanpa batas, kekayaan pejabat negara yang
berlimpah, pesta ulang tahun atau pernikahan keluarga pejabat yang mewah,
hingga kemewahan kamar tahanan bekas pejabat atau politisi.
Terjerat
arus materialisme, para elite politik gagal mengusung ”nilai-nilai baik
bersama” (common good) yang substansial bagi masa depan res-publica: kejujuran,
kebenaran, loyalitas, keutamaan, kerja keras, dan keteladanan. Yang tumbuh
justru ”nilai-nilai buruk bersama” (common bads): nilai-nilai memuja material,
tampilan, hedonisme, simbol, gaya, dan gaya hidup, haus kedudukan, mental
korup, jalan pintas, ketidakterpecayaan, kecurangan, dan kekerasan.
Karena
ruang demokrasi didominasi para ”pemuja” material, simbol, dan gaya hidup,
kekuatan politik direduksi menjadi ”kekuatan material” dan ”kekuatan citra”
sebagai jalan pintas kekuasaan politik. Kombinasi ”industri politik” dan
”industri pencitraan”—dilengkapi aneka trik manipulasi media—menciptakan ”ruang
etalase politik”, di mana relasi intersubyektivitas di antara elemen-elemen
politik tak didasari oleh landasan nilai-nilai politik, tetapi ekses-ekses
nilai mesin ”industrialisasi politik”.
Demokrasi Oligarkis
Sistem
demokrasi yang terkontaminasi virus-virus ”komersialisasi” menyebabkan kekuasaan
politik tak lagi dibangun oleh kekuatan intelektualitas, kecakapan, karisma,
meritokrasi, atau kepemimpinan, tetapi oleh ”kekuatan materi” (the power of
wealth), di mana kekayaan dikonversi menjadi kekuasaan. Dominasi kekuatan
material mengubah watak res-publica, di mana kebaikan (atau malah keburukan)
bersama (common good) merupakan efek perayaan material.
Seperti
dikatakan Jacques Ranciere (Hatred of Democracy, 2006), sistem demokrasi hari
ini didominasi bukan oleh para elite politik yang berjuang membangun
nilai-nilai kebaikan bersama, melainkan oleh para ”individu egoistik” atau
”konsumer serakah” yang mengumbar hasrat-hasrat pribadinya atas nama
kepentingan publik. Mereka memanipulasi ruang politik dan ruang publik demi
akumulasi material, yang direinvestasi menjadi reproduksi kekuasaan.
Karena
”kutukan” material, ruang demokrasi kini menjadi ”ruang apolitik” (apolitical
space) karena nalar, logika, dan argumen politik diambil alih kalkulasi
ekonomi. Ruang politik menjadi semacam ”etalase ekonomi”, yaitu ranah
pertarungan kekayaan untuk mendapatkan kekuasaan. Di sini, kekuatan politik
satu-satunya adalah modal ekonomi (economic capital), menggusur modal budaya
(pendidikan, kecakapan, kepemimpinan) dan modal simbolis (karisma, etnisitas,
pamor).
Ruang
politik demokratis menjelma menjadi ”industri politik”, di mana setiap proses,
relasi, dan wacana politik hanya dapat dibangun melalui kekuatan modal ekonomi,
media, dan pencitraan. Artinya, ”demokrasi” kini menjelma menjadi semacam
”oligarki”, di mana kekuasaan bukan di tangan ”rakyat”—seperti yang
diyakini—melainkan di tangan segelintir orang kaya (oligarch). Melalui
kekayaannya, para oligarch ini bahkan mampu ”membeli” rakyat, warga, atau
publik dengan mengeksploitasi mereka sebagai obyek dan komoditas politik.
Dalam
industri politik, ”konstituen politik” menjelma menjadi ”konsumer politik”.
Mereka tak hanya ditawari aneka ”komoditas politik” menawan dan gemerlap
(kampanye, iklan, slogan), tetapi mereka sendiri kini dikonversi menjadi
”komoditas”, yang dieksploitasi tenaga, pikiran, waktu, dan keterampilan
mereka, demi kepentingan jangka pendek para elite politik, untuk kemudian
”dikecewakan” setelah kekuasaan didapat, semacam ”fetisisme komoditas”
(commodity fetishism), seperti dikatakan Marx.
Demokrasi
mengajarkan kebebasan memilih melalui ajang pemilihan umum, tetapi kekuatan
modal (kampanye, pencitraan, polling) yang menggiring pilihan warga; demokrasi
merayakan kebebasan pers, tetapi media (televisi) dikuasai oleh para ”taipan
politik” yang mudah mengontrol opini publik; demokrasi membuka kebebasan
berkumpul, berasosiasi, dan berdemonstrasi, tetapi semuanya kini menjadi
”komoditas” para elite politik untuk aneka kepentingan mereka.
Kondisi
”demokrasi oligarkis” macam ini yang menyebabkan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif menjadi milik orang (atau partai) kaya. Ini pula yang
mendorong lingkaran setan korupsi—baik individu, kelompok, maupun partai—karena
hasrat akumulasi modal dalam waktu singkat sebagai jalan kekuasaan, diikuti
hasrat mengembalikan investasi modal (dalam kampanye, iklan), plus ”keuntungan”
(politik), layaknya hukum ekonomi.
Etalase Demokrasi
Dalam
sistem demokrasi, khususnya di negara republik seperti Indonesia, menurut
Iseult Honohan (Civic Republicanism, 2002), fondasi arsitektur masyarakat
politik adalah kebaikan, keutamaan, dan nilai-nilai kebaikan bersama yang
dikembangkan di dalamnya. Untuk itu, di dalamnya perlu dibangun budaya publik
(public culture) yang sehat, yaitu aneka sikap, mentalitas, perilaku, makna,
dan nilai-nilai yang membawa pada kebaikan bersama.
Di
dalam arsitektur demokrasi-republikan, ”warga” (citizen) menjadi pilar
komunitas politik, yang melaluinya dirangkai nilai kebaikan, keutamaan,
imajinasi, utopia, dan cita-cita bersama. Keutamaan dan kebaikan bersama itu
bukan warisan, melainkan disusun bersama melalui relasi intersubyektivitas
dinamis di antara elemen-elemen politik berbeda (ideologi, kelompok, partai)
dengan cara membangun ruang publik yang sehat, di mana nilai, keyakinan, dan
ideologi dipertarungkan.
Akan
tetapi, pada era globalisasi dan abad informasi kini kebaikan bersama itu kian
sulit dirumuskan karena kondisi saling-pengaruh yang mencirikan masyarakat
kontemporer.
Maka,
kata Chantal Mouffe (The Return of the Political, 1993), yang kini harus
dikejar bukan kebaikan bersama, melainkan kekuatan res-publica sendiri, yaitu
praktik kewargaan, relasi intersubyektif antarwarga, atau ”hubungan sipil”
(civil intercourse) kuat, dengan membangun bahasa pergaulan, norma, aturan
main, dan nilai-nilai bersama dalam iklim perbedaan.
Kekuatan
masyarakat demokratis bukan pada kebaikan bersama, melainkan pada ”ikatan
bersama” (common bond), yang memungkinkan individu atau kelompok yang berbeda
bertarung secara sehat, dengan saling menghargai eksistensi masing-masing,
meskipun ”berseteru” dalam ideologi politik. Res-publica, dengan
demikian, adalah artikulasi ”kepentingan bersama”, yaitu memberikan ruang untuk
segala kepentingan, tujuan, keinginan, dan keyakinan, tetapi dalam bingkai
saling menghargai eksistensi.
Akan
tetapi, karena demokrasi telah menjelma menjadi ”demokrasi oligarkis” dan ruang
politik menjadi ”industri politik”, ”ikatan bersama” dan ”nilai bersama” itu
kini tumbuh dalam wajah buruk, yaitu wajah ”apolitis”. Ikatan dan nilai bersama
intersubyektif itu dibangun bukan untuk motif kebaikan bersama, melainkan
lingkaran setan kekayaan-kekuasaan. Di dalamnya, kebaikan bersama dimanipulasi
jadi ”citra kebaikan bersama”, untuk menutupi ”keburukan bersama”.
Dalam
alam demokrasi oligarkis, para oligarch menggusur statesman, imagocraft
menggantikan statecraft, res-oeconomicus meminggirkan res-publica. Ruang
politik menjelma ruang window display politik karena yang ditampilkan di ruang
publik adalah ”barang pajangan” politik, yang dikemas melalui strategi
komunikasi, informasi, dan pencitraan abad informasi yang canggih, memukau,
memesona, sekaligus menipu.
Akan
tetapi, di balik etalase politik yang tampak memesona—dengan barang pajangan
politik yang tampak menarik—disembunyikan segala keburukan, kelemahan, bahkan
kejahatan politik (korupsi, manipulasi, mafioso). Dominasi motif kekuasaan plus
kekayaan ketimbang motif menggali keutamaan publik, alih-alih mampu menciptakan
”kebaikan umum”, di dalam demokrasi oligarkis hanya menyisakan ”keburukan
umum”. Keburukan umum itu kini yang menjadi ”keutamaan publik” kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar