Mengelola
Kembali Pola Konsumsi
Susidarto, PRAKTISI PERBANKAN DI YOGYAKARTA
Sumber
: SUARA MERDEKA, 3 Desember 2011
"Selama
ini bank penerbit kartu kredit hanya mengincar calon nasabah yang sudah
memiliki kartu sehingga memicu over finance"
Kepemilikan kartu kredit bakal diatur kembali. Bank Indonesia (BI) sedang menyiapkan regulasi terkait dengan pembatasan kepemilikan dan utang kartu itu, termasuk penagihan oleh debt collector. Semua itu akan tertuang dalam revisi Peraturan BI (PBI) tentang Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Regulasi ini ditunggu banyak pihak karena ada beberapa hal penting yang perlu kembali diatur, terutama menyangkut perlindungan nasabah. Semua itu dalam rangka menyehatkan industri bank penerbit kartu kredit agar tumbuh lebih sehat lagi.
Beberapa aturan baru itu antara lain penghasilan calon nasabah minimal Rp 3 juta/ bulan, dengan plafon maksimal tiga kali gaji. Nasabah yang memiliki penghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan hanya boleh memiliki maksimal dua kartu kredit dari penerbit (issuer) berbeda. Bunga kartu kredit pun dibatasi maksimal 3% per bulan dan kartu tidak bisa digunakan sebagai landasan mengajukan kredit tanpa agunan seperti selama ini. Regulasi baru itu terkait erat dengan prinsip kehati-hatian yang berhubungan dengan penyaluran consumer loan.
Rencana penerbitan regulasi ini setidaknya dipicu oleh kemerebakan kasus yang terkait dengan kartu kredit. Terlebih belakangan ini, bank-bank di Indonesia sangat gencar menawarkan jasa itu. Cukup hanya berbekal KTP dan slip gaji, seseorang bisa dengan cepat mengantongi kartu dari issuer (penerbit) kartu kredit. Dengan kemudahan itu tidak mengherankan ada pegawai biasa, dalam arti tidak kaya-kaya amat, bisa memiliki lebih dari satu kartu.
Bagi karyawan dengan golongan ”biasa-biasa saja”, memiliki banyak kartu bisa mendatangkan masalah di kemudian hari. Kemudahan untuk menggesek tunai (populer dengan istilah gestun) dan menggunakan kartu, biasanya menyebabkan pemegangnya terjebak utang-piutang berbunga tinggi.
Maklum, penerbit kartu biasanya mengenakan bunga cukup tinggi, rata-rata di atas 3% efektif per bulan, dan angka itu sangat mencekik leher. Bagi yang cerdas biasanya menutup pembayaran sesegera mungkin. Namun mereka yang hanya mampu membayar cicilan minimal bisa terjebak mekanisme pembayaran kredit berbunga tinggi.
Analisis Mendalam
Bagi bank penerbit kartu, bisnis ini sangat menjanjikan profit tinggi. Bisnis consumer loan dalam bentuk ini memiliki prospek cerah di tengah banyaknya penduduk Indonesia berperilaku konsumtif. Saat ini persentase kepemilikan kartu kredit di negara kita masih rendah, kurang dari 10% dari total jumlah penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang lebih 50% warga negaranya memiliki kartu tersebut. Di negara itu, tidak memiliki kartu kredit berarti tidak bisa lancar bertransaksi.
Di Indonesia, pangsa pasar kartu kredit masih sangat luas. Sayangnya, selama ini penerbit hanya mengincar calon pemegang yang sudah memiliki kartu. Akibatnya terjadi over finance terhadap sesesorang, yang mengakibatkan kredit macet. Banyak di antara pemegang kartu yang sudah macet, namun karena memiliki lebih dari satu kartu, ia bisa mengakalinya dengan cara gali lubang tutup lubang.
Terlebih belakangan ini mekanisme gestun bisa dilakukan dengan mudah dan murah. Hanya dengan biaya di muka 2-3%, pemegang kartu bisa mengambil uang tunai di gerai, dan nantinya masuk item pembelian barang. Akibatnya, mekanisme pengambilan tunai resmi dari kartu itu berupa cash advance dengan bunga rata-rata 5%, menjadi tidak laku sama sekali.
Fenomena gestun ini menambah runyam kondisi keuangan si pemegang kartu. Lambat laun kredit macet itu akan meledak manakala pemegang kartu kewalahan mengatur cash flow-nya. Dalam konteks ini diperlukan kehati-hatian dari para issuer untuk kembali menyeleksi calon pemegang kartu, misalnya dengan menganalisis secara mendalam.
Harus diakui, selama ini banyak nasabah memperlakukan kartu redit ibarat lampu aladin. Karena itu, upaya BI mengantisipasi ledakan kredit macet kartu kredit patut diapresiasi, dan memang perlu ketegasan menata ulang consumer loan dalam bentuk itu. ●
Kepemilikan kartu kredit bakal diatur kembali. Bank Indonesia (BI) sedang menyiapkan regulasi terkait dengan pembatasan kepemilikan dan utang kartu itu, termasuk penagihan oleh debt collector. Semua itu akan tertuang dalam revisi Peraturan BI (PBI) tentang Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Regulasi ini ditunggu banyak pihak karena ada beberapa hal penting yang perlu kembali diatur, terutama menyangkut perlindungan nasabah. Semua itu dalam rangka menyehatkan industri bank penerbit kartu kredit agar tumbuh lebih sehat lagi.
Beberapa aturan baru itu antara lain penghasilan calon nasabah minimal Rp 3 juta/ bulan, dengan plafon maksimal tiga kali gaji. Nasabah yang memiliki penghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan hanya boleh memiliki maksimal dua kartu kredit dari penerbit (issuer) berbeda. Bunga kartu kredit pun dibatasi maksimal 3% per bulan dan kartu tidak bisa digunakan sebagai landasan mengajukan kredit tanpa agunan seperti selama ini. Regulasi baru itu terkait erat dengan prinsip kehati-hatian yang berhubungan dengan penyaluran consumer loan.
Rencana penerbitan regulasi ini setidaknya dipicu oleh kemerebakan kasus yang terkait dengan kartu kredit. Terlebih belakangan ini, bank-bank di Indonesia sangat gencar menawarkan jasa itu. Cukup hanya berbekal KTP dan slip gaji, seseorang bisa dengan cepat mengantongi kartu dari issuer (penerbit) kartu kredit. Dengan kemudahan itu tidak mengherankan ada pegawai biasa, dalam arti tidak kaya-kaya amat, bisa memiliki lebih dari satu kartu.
Bagi karyawan dengan golongan ”biasa-biasa saja”, memiliki banyak kartu bisa mendatangkan masalah di kemudian hari. Kemudahan untuk menggesek tunai (populer dengan istilah gestun) dan menggunakan kartu, biasanya menyebabkan pemegangnya terjebak utang-piutang berbunga tinggi.
Maklum, penerbit kartu biasanya mengenakan bunga cukup tinggi, rata-rata di atas 3% efektif per bulan, dan angka itu sangat mencekik leher. Bagi yang cerdas biasanya menutup pembayaran sesegera mungkin. Namun mereka yang hanya mampu membayar cicilan minimal bisa terjebak mekanisme pembayaran kredit berbunga tinggi.
Analisis Mendalam
Bagi bank penerbit kartu, bisnis ini sangat menjanjikan profit tinggi. Bisnis consumer loan dalam bentuk ini memiliki prospek cerah di tengah banyaknya penduduk Indonesia berperilaku konsumtif. Saat ini persentase kepemilikan kartu kredit di negara kita masih rendah, kurang dari 10% dari total jumlah penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang lebih 50% warga negaranya memiliki kartu tersebut. Di negara itu, tidak memiliki kartu kredit berarti tidak bisa lancar bertransaksi.
Di Indonesia, pangsa pasar kartu kredit masih sangat luas. Sayangnya, selama ini penerbit hanya mengincar calon pemegang yang sudah memiliki kartu. Akibatnya terjadi over finance terhadap sesesorang, yang mengakibatkan kredit macet. Banyak di antara pemegang kartu yang sudah macet, namun karena memiliki lebih dari satu kartu, ia bisa mengakalinya dengan cara gali lubang tutup lubang.
Terlebih belakangan ini mekanisme gestun bisa dilakukan dengan mudah dan murah. Hanya dengan biaya di muka 2-3%, pemegang kartu bisa mengambil uang tunai di gerai, dan nantinya masuk item pembelian barang. Akibatnya, mekanisme pengambilan tunai resmi dari kartu itu berupa cash advance dengan bunga rata-rata 5%, menjadi tidak laku sama sekali.
Fenomena gestun ini menambah runyam kondisi keuangan si pemegang kartu. Lambat laun kredit macet itu akan meledak manakala pemegang kartu kewalahan mengatur cash flow-nya. Dalam konteks ini diperlukan kehati-hatian dari para issuer untuk kembali menyeleksi calon pemegang kartu, misalnya dengan menganalisis secara mendalam.
Harus diakui, selama ini banyak nasabah memperlakukan kartu redit ibarat lampu aladin. Karena itu, upaya BI mengantisipasi ledakan kredit macet kartu kredit patut diapresiasi, dan memang perlu ketegasan menata ulang consumer loan dalam bentuk itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar