Kebijakan
Utang Global
Achmad Maulani, PEMERHATI MASALAH SOSPOL, ALUMNUS UNIVERSITAS
PADJADJARAN, BANDUNG
Sumber
: SUARA MERDEKA, 5 Desember 2011
Krisis
utang Eropa yang saat ini memburuk diprediksi makin memburuk beberapa waktu ke
depan, dan mencapai klimaksnya pada pertengahan 2012. Dana Moneter
Internasional (IMF) bahkan telah memperingatkan bahwa krisis utang yang kini
menggurita di sejumlah negara zona euro bukan hanya berdampak buruk di tataran
regional melainkan dapat menyebar ke seluruh dunia.
Krisis
utang global ini harus menjadi pelajaran serius bagi pemerintah kita untuk
mengoreksi kembali kebijakan utang. Bahkan, kalau perlu harus menerapkan
moratorium atau menyetop sementara pembayaran kewajiban utang guna meningkatkan
kapasitas APBN. Langkah mengoreksi kebijakan utang atau bahkan moratorium perlu
diambil karena jika terus mengandalkan utang untuk menutup defisit anggaran,
Indonesia kian rawan dengan dampak krisis global.
Sampai
Oktober 2011, total utang Indonesia Rp 1.768 triliun, ekuivalen dengan 25,6%
dari produk domestik bruto (PDB). Dari sisi volume, jumlah itu dalam batas
ambang aman, namun dari sisi penggunaannya, ternyata lebih dari 81%
dimanfaatkan untuk pembiayaan sektor non-tradable yang tak banyak menyerap
tenaga kerja.
Perinciannya,
48,6%digunakan sektor perbankan, 15% sektor jasa, 11% sektor properti, 5%
sektor air, gas, dan air bersih, serta 2,1% dipakai sektor transportasi dan
komunikasi. Untuk sektor tradable, yang sesungguhnya menyerap tenaga kerja
banyak, penggunaan utang tidak lebih dari 18%.
Dari
data itu kita bisa memahami mengapa keputusan berutang banyak mengundang
kontroversi. Artinya, kebijakan berutang yang tidak diimbangi dengan
efektivitas alokasi utang jelas takkan mampu mendorong sektor tradable dan
memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas. Indikator paling nyata akan
ketidakefektifan penggunaan utang dapat dilihat dari lemahnya daya serap tenaga
kerja.
Lantas,
engapa kita terus berutang? Secara teoritis dan dalam tataran ideal, utang
masih dapat dibenarkan ketika bertujuan mendorong output nasional melalui
peningkatan kapasitas produksi. Dengan demikian, utang dapat diibaratkan
keuntungan masa depan yang dimanfaatkan sebagai modal saat ini atau investment
multiplier.
Persoalannya
alasan ideal itu seringkali justru tidak berlaku. Utang baru yang banyak
diserap pemerintah ternyata lebih banyak dialokasikan menutupi beban utang masa
lalu. Lingkaran defisit anggaran ini sudah berjalan lama, dan pemerintah
sepertinya tetap menganggap utang merupakan satu-satunya jalan keluar agar
terbebas dari impitan defisit. Padahal impitan defisit tidak akan pernah
selesai jika alokasi utang tetap tidak efektif.
Agenda Terselubung
Sesungguhnya
dibutuhkan sebuah politik anggaran yang berpihak pada rakyat banyak, yakni
kebijakan anggaran yang menjamin ketersediaan lapangan kerja, pemenuhan hak
atas pendidikan, dan penyediaan jaminan sosial. Semua cita-cita besar itu hanya
menjadi jargon kosong jika politik anggaran pemerintah, yang tercermin dalam
penyusunan APBN, masih tersandera oleh beban utang yang sangat besar.
Dari
semua itu, setidaknya ada dua hal yang dapat disimpulkan terkait implikasi
kebijakan utang. Pertama; implikasi terampasnya kesejahteraan masyarakat. Utang
yang besar jelas berimplikasi atas pembayaran, baik pembayaran bunga maupun
cicilan pokok, dan itu artinya pemerintah harus merogoh kocek APBN dalam jumlah
besar.
Tahun
2011, pemerintah merencanakan menambah alokasi pembayaran utang hingga Rp
249.727 triliun. Angka itu jauh lebih besar dari total belanja modal —yang sesungguhnya
punya implikasi langsung atas kesejahteraan masyarakat— yang hanya Rp 136.877
triliun. Jika kondisi ini terus dibiarkan akibat lebih jauh adalah penyusunan
APBN akan disandera penambahan utang-utang baru.
Implikasi
kedua; kebijakan utang tanpa perencanaan matang hanya akan menyebabkan
ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Faktor ini sering
diabaikan oleh pengambil kebijakan karena disilaukan potensi yang bakal
diperoleh dari penggunaan utang. Padahal seringkali di balik utang, ada agenda
terselubung yang berdampak panjang, baik ekonomi maupun politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar