Kata-kata
pun Dikorupsi
Victor Sihite, WARTAWAN SENIOR
Sumber
: SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011
“Dari
mana data jaksa penuntut umum ini sehingga berkesimpulan bahwa Dudhie Makmun
Murod memberikan amplop berisi 39 TC kepada terdakwa I Panda Nababan, dengan
nilai Rp 1,950 miliar?” tuturnya.
Kalimat
di atas adalah kutipan dari penjelasan terdakwa Panda Nababan pada sidang
pengadilan kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Miranda Goeltom beberapa waktu lalu (Kompas, 16 Juni 2011).
Menjadi
pertanyaan, apa itu TC? Tuberkulosiskah, training center-kah, tok-cerkah, atau
apa.Eh, ternyata travellers cheque alias cek perjalanan. Itu baru ketahuan
setelah penulis terpaksa menelusuri kembali berita tersebut dari muka.Komentar:
Perlu-perlunya menyingkat istilah.
Hemat
(baca: pelit) amat sih kita dalam berkata-kata, sampai-sampai kalimat kita bisa
bermakna ganda. Yang jelas hemat berbahasa tidak hanya ditandai kepandaian
menyingkat, melainkan kepandaian atau seni menyusun kalimat sesuai kaidah
bahasa yang baik dan benar.
Ataukah
memang bahasa pun sudah dirasuki “budaya” korupsi yang telah merasuki seluruh
sendi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat? Sampai kata-kata pun
dikorupsi?Korupsi bahasa tersebut juga sudah menulari cerdik pandai.
Coba
misalnya simak, ahli-ahli kesehatan sudah terbiasa berkata, “Kebiasaan BAB
sembarangan itu tidak baik.” Kenapa tidak lugas saja menyebut ‘buang air
besar’? Mereka merasa jijik barangkali sehingga perlu eufemisme alias
berhalus-halus.
Bagaimana
kalau nanti anak-anak juga menyingkat buang air kecil dengan BAK? Lalu, makan
enak jadi ME, bekerja keras jadi BK, bohong besar jadi BB, kurus-kering jadi
KK, sakit keras jadi SK, dan sebagainya. Lucu, bukan?Bukan cuma lucu.
Bahasa
Indonesia yang berhasil mempersatukan bangsa Indonesia yang mendiami belasan
ribu pulau besar dan kecil itu menjadi buruk, karut-marut.
Akibatnya
banyak orang merasa terusik membaca surat kabar karena penuh dengan tanda baca,
penuh singkatan dan akronim, belum lagi istilah-istilah asing yang memerlukan
energi ekstra dan waktu lebih untuk dapat memahaminya.
Tampilan
berita pun jadi buruk dari segi estetika dan berita itu menjadi kurang
komunikatif. Ada semacam kesan di tengah masyarakat kita akhir-akhir ini,
jika bertutur, baik lisan, apalagi tertulis tanpa menggunakan singkatan, seakan
si penutur atau si penulis ketinggalan zaman, kuno atau udik.
Seakan-akan
modernisasi itu hanya berciri sekadar kepandaian seseorang menyertakan
kata-kata asing atau singkatan-singkatan dalam bertutur lisan maupun
tertulis. Guru bahasa kami dulu di Grup Sinar, Prof Dr Anton Moeliono berpesan,
berbahasalah dengan sederhana, tetapi baik dan benar dalam arti menaati
kaidah-kaidah.
Kalimat
jangan rancu sebagaimana banyak ditemui, baik lisan maupun tertulis Prinsip
itu sejalan dengan nasihat para guru jurnalis, yakni kalimat-kalimat seyogianya
singkat, padat dan jernih. Jadi, dengan menggunakan kata-kata asing ataupun
dengan singkatan-sing
katan
yang seenaknya saja, apalagi akronim yang sama sekali tidak berdasarkan suatu
aturan main yang baku, pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip yang
diajarkan para guru tersebut.
Para
aktivis zaman ini hendaknya juga mempertimbangkan dampak kebiasaan
menyingkat-nyingkat tersebut terhadap generasi muda, khususnya mereka yang
masih duduk di bangku sekolah. Tidakkah kita khawatir mereka akan pusing
mendapati “hutan” singkatan di mana-mana?
Bahasa
menurut para budayawan menunjukkan identitas suatu bangsa. Kalau kita tidak
meninggalkan kebiasaan buruk dalam berbahasa, jangan harap bangsa kita akan
dihargai dalam pergaulan internasional. Bahkan, boleh jadi dunia internasional
akan mencemooh kita sebagai bangsa yang tidak “PD”, eh, percaya diri, ha-ha-ha.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar