Bestialisasi
Korupsi
Sindhunata, PEMIMPIN REDAKSI MAJALAH BASIS
Sumber
: KOMPAS, 5 Desember 2011
kujanjikan kebohongan,
kubaktikan keserakahan,
kusujudkan kepalsuan.
Kata-kata
di atas dibuat oleh penulis untuk merespons lukisan 13 pelukis senior yang
tergabung dalam Kelompok Cibubur Art.
Para
pelukis tersebut—antara lain Haris Purnomo, Bonyong Munny Ardhie, Umbu
Tanggela, Hari Budiono, dan Bambang Sudarto—merasa gerah atas situasi
sosial-politik akhir-akhir ini, lebih-lebih terkait masalah korupsi. Mereka
ingin membuat karya bersama. Namun, mereka merasa belum punya ide dan simbol
yang bisa mengikat mereka untuk menumpahkan kegerahan dan kegeramannya.
Akhirnya
mereka sepakat untuk merespons artikel ”Negeri Para Celeng” (Kompas, 31 Mei
2011). Lalu jadilah sebuah lukisan besar, terdiri atas tiga panel, yang akan
dipamerkan awal Desember ini di Jakarta. Lukisan itu menggambarkan
manusia-manusia yang merangkak, membungkuk, dan bersujud-sembah. Format sujud
mereka membentuk postur-postur celeng. Tapi sudah tiada lagi kelihatan rupa
celeng di sana, yang ada adalah manusia- manusia yang tidak merasa lagi dirinya
adalah celeng, walau perilakunya seperti celeng: perilaku yang tak tahu malu,
hedonis, serakah, dan rakus.
Lebih
dari satu dekade, dunia seni rupa sempat dibayang-bayangi oleh ’celeng’-nya
perupa Djokopekik. Sekarang celeng Djokopekik itu sudah tiada. Ia menjelma jadi
manusia-manusia: laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Tak kelihatan
lagi muka celeng. Yang kelihatan muka manusia-manusia berdasi, perempuan seksi,
anak-anak, manusia yang bersujud-sembah. Semua menampilkan selera serakah,
rakus, dan penuh nafsu.
Mengancam Kemanusiaan
Kebohongan,
keserakahan, dan kepalsuan adalah ”bawah sadar” di balik korupsi, yang habis-habisan
menggerogoti bangsa ini. ”Bawah sadar” itu sedemikian kuat berakar dalam diri
para pelaku korupsi, sampai ”bawah sadar” itu menjadi semacam naluri yang harus
ditaati dan dituruti. Korupsi telah menggerogoti nurani manusia, dan
mendegradasikannya jadi sekadar naluri yang tak tahu malu, meski dirinya
bohong, serakah, dan palsu. Untuk tidak mengatakan ”manusia telah menjadi
binatang”, mitos Jawa mempunyai kata ”celeng” bagi orang yang hanya menuruti
naluri keserakahannya itu.
Untuk
memperjelasnya, meminjam istilah Peter Sloterdijk, korupsi yang menggerogoti
nurani manusia itu adalah semacam bestialisasi atau pembinatangan manusia.
Bestialisasi terang-terangan mengancam sivilisasi. Memang tak mungkin peradaban
dibangun jika masyarakat kita digerogoti bestialisasi warganya dengan
terus-menerus korupsi, tanpa nurani lagi. Jika demikian, dalam waktu dekat
masyarakat kita akan ambruk, seperti ambruknya Jembatan Kartanegara Mahakam
yang, walaupun menelan biaya miliaran rupiah, ternyata sangat rapuh.
Korupsi
sebagai bestialisasi juga mengancam sendi-sendi humanisme. Dana pendidikan
disunat sehingga terganggu pula cita-cita pencerdasan dan pembangunan karakter
bangsa yang diharapkan untuk membuat bangsa ini makin human. Dana untuk orang
miskin dikorup sehingga makin menderitalah kaum tak berada yang sebenarnya
berhak mendapatkan bantuan negara. Pengadilan kasus korupsi kelihatan
menginjak-injak rasa keadilan masyarakat sehingga makin tak acuhlah masyarakat
terhadap kewibawaan hukum, yang sebenarnya amat diperlukan untuk membangun
humanisme masyarakat.
Lewat
kelihaian dan trik-trik korupsi, partai-partai politik tampak memperkaya
pundi-pundinya sehingga tiadalah fairness dalam demokrasi, di mana nilai-nilai
kemanusiaan ingin ditegakkan. Praktik korupsi juga terus-menerus membentuk kita
jadi manusia suka berdusta, munafik, dan palsu. Di wilayah agama, korupsi
bahkan bisa menipu orang untuk tampak saleh, walau telah menilep uang negara.
Jelas,
sebagai bestialisasi, korupsi adalah potensi barbaristis bagi humanisme. Humanisme
akan runtuh karena korupsi. Karena lewat korupsi, manusia diam-diam
dibestialisasikan setiap hari, dalam segala aspek dan aktivitas kehidupannya.
Maka korupsi adalah hama bagi kemanusiaan, seperti celeng adalah hama bagi
petani. Yang dimakan dan dilahap oleh korupsi bukan hanya uang, tetapi
lebih-lebih kemanusiaan. Adalah parah jika uang negara habis karena korupsi,
tapi lebih parah lagi apabila kemanusiaan bangsa kita hancur karena
bestialisasi korupsi yang menghancurkan nurani tadi.
Belum
lama ini ada wacana, bagaimana jika pelaku korupsi berat dihukum mati. Betapa
pun kita kurang atau tak menyetujui wacana itu, kita kiranya bisa memaklumi
alasan mengapa wacana itu sampai timbul. Pelaku korupsi memang layak diganjar
hukuman seberat-beratnya. Mereka tak hanya penjahat keuangan, tetapi juga
penjahat kemanusiaan. Celeng adalah hama tanaman, karena itu petani
membunuhnya. Korupsi hama kemanusiaan, karena itu maklum juga jika para
pelakunya pernah diwacanakan dihukum mati.
Gerakan Rakyat
Korupsi
adalah hama bagi kemanusiaan. Karena itu, seluruh bangsa harus bersama-sama
menghadapi korupsi. Tak cukup penanganan korupsi hanya diserahkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Itulah yang kiranya terjadi dalam gerakan Anna
Hazare di India, Agustus lalu. Kisan Baburao Hazare (74 tahun) mogok makan
menuntut dibentuknya perundang-perundangan yang keras terhadap korupsi.
Perundangan-undangan itu harus membentuk pilar-pilar yang baru, kuat, dan bebas
dalam perang melawan korupsi. Dituntutnya pula agar parlemen mengesahkan
undang-undang yang berani memberikan hukuman berat dan keras kepada penyuap dan
pegawai pemerintahan yang suka main suap.
Dalam
waktu dekat ternyata orang- orang berbondong-bondong mendukung Hazare. Tak
kurang 80.000 warga bergabung dalam demonstrasi di Delhi, menyerukan agar
pemerintah mengabulkan tuntutan Hazare. Mereka berteriak-teriak: Anna, Anna.
Anna, artinya saudara tua, begitulah mereka menyebut Hazare.
Sebelumnya
Hazare hanyalah aktivis petani. Ia mengajak warga desanya bersama-sama membangun
suatu desa percontohan, di mana mereka dapat hidup saling menolong dan jujur
dalam persaudaraan. Hazare sendiri hidup amat sederhana. Ia tinggal di bilik
kecil, hanya ada dipan dan lemari kecil di dalamnya. Ia berusaha meresapkan
ajaran Gandhi dan filsuf India, Swami Vivekanda.
Dari
seorang aktivis petani, Hazare mendadak jadi pejuang nasional. Itu terjadi
karena ia berjuang melawan korupsi dengan berani mogok makan 12 hari.
”Anna,
hidup perjuanganmu. Kami berdiri di belakang kamu. Hidup India,” demikian
teriakan orang-orang di kota-kota besar India. Pendukungnya bukan hanya kelas
bawah, juga kelas menengah. Kalangan menengah ini semula apatis, tiba-tiba
mereka bangkit dan menyatakan sanggup meninggalkan kenyamanan dan
kepentingannya sendiri, lalu turun ke jalan, ikut berjuang melawan korupsi.
Mereka tak lagi memikirkan kepentingan sendiri, tetapi kepentingan negeri India
yang mereka cintai.
Demokrasi yang Korup
Mengapa
mendadak inisiatif Hazare menjadi gerakan Anna Hazare yang meluas di India?
Jawabnya: karena masyarakat sudah jenuh, gerah, dan marah. Mereka sadar,
korupsi sangat membahayakan dan bisa menghancurkan negara. Mereka tinggal
menunggu kapan kejengkelan mereka bisa meledak menjadi gerakan protes nasional.
Ini hanya persoalan waktu. Maka, begitu Hazare muncul, mereka pun
berduyun-duyun mendukungnya. Dalam hal ini Hazare adalah simbol yang bisa
menghimpun dan mendinamisasi kekesalan rakyat itu menjadi gerakan.
”Bersama-sama
kami membangkitkan kepercayaan bahwa negara kami dapat menumbangkan korupsi,
dan kami dapat mengusahakan perubahan undang-undang yang kami perlukan untuk
melawan korupsi,” kata Hazare.
Gerakan
Hazare memang bisa dituduh membahayakan demokrasi karena gerakan itu di luar
parlemen dan tata peraturan yang sudah disepakati untuk kehidupan demokrasi.
Akan tetapi, kalau demokrasi itu adalah demokrasi yang korup, bagaimana
demokrasi itu bisa berjuang melawan korupsi? Maka rakyat sendiri akan berjuang
secara langsung melawan korupsi, seperti terjadi dalam gerakan Anna Hazare.
Kalau itu terjadi, janganlah buru-buru rakyat dituduh melakukan anarki terhadap
demokrasi. Elite politik yang harus mawas diri, jangan-jangan gerakan rakyat
adalah protes karena tiada kelihatan lagi gereget dan tanggung jawab moral
pemimpin mereka melawan korupsi.
DPR
baru saja memilih ketua KPK. Jangan dikira peristiwa ini tidak ditanggapi
dengan sinis oleh masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin lembaga perwakilan
rakyat yang juga terkenal amat dijangkiti wabah bestialisasi korupsi itu masih
mempunyai integritas moral untuk menentukan orang yang paling jujur, bersih,
dan tegas sebagai ketua KPK?
Kita
membutuhkan seorang ketua KPK yang berjiwa, bersikap, dan beraga seperti Anna
Hazare. Akan tetapi, harap diingat, dalam kondisi bestialisasi korupsi sekarang
ini, yang bisa menentukan siapakah yang layak menjadi ”Anna Hazare” bukanlah
DPR, melainkan rakyat sendiri. Sayang rasanya tokoh itu belum muncul sehingga
rakyat juga belum bisa menilainya. Anna Hazare, di mana kamu?
Ataukah
Anna Hazare pada hakikatnya tak diperlukan karena kita sebenarnya sudah
jengkel, kesal, marah, dan geram terhadap korupsi? Kalau demikian, kita tinggal
menunggu lahirnya people power yang akan menumbangkan korupsi. Hanya di sini
pun kita mesti waspada, janganlah people power itu dimanfaatkan Anna
Hazare-Anna Hazare palsu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar