Tanggapan terhadap Soegeng Sarjadi :
Haruskah Menteri-Menteri yang Menjadi Pembicaraan Publik Diganti ?
Dalam Kompas 21-09-2011 (“Mengocok Ulang Kabinet”) Soegeng Sarjadi antara lain mengatakan beberapa hal sebagai berikut. Menurutnya, bulan ini adalah saat yang tepat bagi Presiden SBY untuk memantapkan budi dan meneguhkan tekad untuk segera mengkocok ulang KIB II. Dalam tulisan tersebut ia juga mengatakan bahwa “nama-nama menteri yang selama ini menjadi pembicaraan publik , terutama yang terkait dengan isu korupsi dan selingkuh serta berkinerja buruk, sebaiknya digeser.” Katanya, walaupun langkah tersebut belum tentu memperbaiki kinerja pemerintah secara keseluruhan, tetapi “setidaknya perombakan kabinet tersebut akan menyadarkan rakyat bahwa sejatinya pemerintah tetap hadir dan bekerja selama 24 jam.” Menurut Soegeng, “pergantian menteri adalah lonceng untuk membangkitkan ingatan publik tersebut.”
Selain itu, menurut pendapatnya, SBY sebaiknya membalik manajemen kepemimpinannya, dari semula menggunakan segitiga normal menjadi segitiga terbalik. Menurutnya, selama ini SBY selalu berada di puncak segitiga dan menjadi sasaran tembak terus. Sedangkan “para menteri yang menempati sisi bawah segitiga kekuasaan itu hanya melemparkan semua masalah ke pucuk piramida (presiden).” Di masa mendatang pucuk piramida harus berada di bawah dan para menteri harus berada di atas. Biar para menteri yang “bicara, memikul risiko, dan bertanggung jawab. Presiden hanya tampil apabila keadaan genting.”
Berikut adalah tanggapan saya terhadap tulisan Soegeng Sarjadi.
Pertanyaan saya, kalau keputusan SBY tentang perombakan kabinet tersebut dilakukan tidak pada bulan ini, melainkan pada minggu pertama atau kedua bulan depan (Oktober 2011), apakah keputusan tersebut terlambat? Kalau memang benar demikian, lalu apa konsekuensinya bagi pemerintahan SBY atas keterlambatan tersebut?
Saya kira terlalu menggampangkan masalah kalau keputusan penggeseran menteri ditetapkan oleh presiden berdasarkan pembicaraan publik. Tanpa bermaksud melecehkan publik, saya kira pak Soegeng juga sudah tahu kalau publik itu, seperti tokoh wayang Dasamuka, berwajah banyak. Kalau suatu saat publik mengatakan bahwa anak petanilah yang seharusnya menunggangi keledai, tapi di saat lain ia bicara sebaliknya, petani tua itulah yang layak menaiki keledainya, maka menurut saya keputusan presiden yang terbaik adalah “dengarkan publik, lalu putuskan berdasarkan suara hati.”
Saya kira yang bisa menyadarkan rakyat bahwa sejatinya pemerintah tetap hadir dan bekerja selama 24 jam bukanlah keputusan presiden untuk merombak kabinetnya. Apalagi kalau perombakan kabinet itu sifatnya hanya ala kadarnya, mirip obat balsam yang fungsinya untuk menyembuhkan penyakit masuk angin atau terkena gigitan serangga. Dalam hal ini saya setuju dengan J. Kristiadi yang beberapa waktu lalu (Kompas 20-09-2011) mengatakan bahwa keinginan untuk merombak kabinet harus dilihat dalam perspektif keinginan untuk memperbaiki tatanan politik dan praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sudah rusak. Bukan sekadar mengganti beberapa orang yang ada di pucuk kementerian, melainkan memperbaiki tatanan politik dan penyelenggaraan pemerintahan sehingga pemerintah mampu mengeliminasi korupsi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan anak bangsa, dan seterusnya.
Ide dan usulan pak Soegeng supaya SBY mengganti manajemen kepemimpinannya dari segitiga normal menjadi segitiga terbalik, termasuk saran supaya presiden hanya tampil apabila keadaan genting, tentu perlu mendapatkan apresiasi. Seingat saya beberapa waktu lalu SBY juga pernah menyampaikan keinginannya supaya para menteri memiliki keberanian untuk menghadapi media serta berinisiatif tinggi untuk memberikan penjelasan kepada publik. Namun pertanyaannya adalah apakah keberanian para menteri untuk tampil di muka publik tersebut akan mampu menyelesaikan masalah?
Saya kira usulan perubahan posisi, siapa yang di atas dan siapa yang di bawah, antara presiden dan para menteri tersebut paling jauh hanya berdampak pada perubahan sasaran tembak, dari presiden kepada para menterinya. Bahkan bukan tidak mungkin setelah para menteri nanti berada di atas (berani bicara, memikul risiko, dan bertanggung jawab), akan muncul kritik baru dari publik kepada sang presiden. “Seorang pemimpin kok tidak berani tampil di barisan paling depan dan hanya memanfaatkan para menterinya sebagai bumper.” Tak pelak lagi, kritik baru tersebut pasti akan mengingatkan kita pada sebuah cerita lama tentang Petani Tua, Seorang Anak, dan Keledainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar