Minggu, 09 Mei 2021

 

”Persetan”

Bre Redana ;  Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 9 Mei 2021

 

 

                                                           

Hari-hari ini kita menyaksikan kalang kabutnya petugas membendung pemudik. Pemudik pulang kampung jauh hari sebelum Lebaran, lewat jalur tikus, memodifikasi alat angkut, gowes Jakarta-Jateng, siapa tahu nanti ada yang pura-pura gila jalan kaki Jakarta-Yogya.

 

Sebagian rakyat, terutama kaum miskin, terlatih bermuslihat, hasil hubungan timbal balik menghadapi penguasa yang kadang tak jujur. Resistensi rakyat kecil tak membutuhkan kata-kata, slogan, semboyan. Karena kalian sulaya (ingkar), maka kami sulaya.

 

Meminjam kenangan post-strukturalisme, Gayatri Spivak menyebut dengan istilah subaltern. Maksudnya kurang lebih kelompok tak berkelas, tidak ada suaranya. Mereka tidak punya bahasa untuk mendefinisikan dan mengekspresikan diri sendiri.

 

Nasib mereka dikriteriakan, dirumuskan, ditentukan, pendeknya diborong pihak lain, terutama penguasa. Kalian tak perlu berkata-kata. Kami tahu apa yang terbaik bagi kalian, begitu kurang lebih penguasa.

 

Silakan bingung: mudik dilarang piknik boleh; jangan berkerumun tapi belanjalah segera dengan tunjangan yang baru saja kalian terima; korupsi harap dimaklumi; menanam padi itu maju, bukan mundur; dan seterusnya. Kecuali kalian kaya, terkenal, selebritas, berada dalam lingkaran kekuasaan, semua ketentuan tadi boleh diabaikan.

 

Fenomena paling menonjol saat ini adalah apa yang diakrabi orang dengan sebutan politik identitas. Francis Fukuyama dalam Identity (Profile Books Ltd, 2019) juga tidak terlalu menyinggung mereka. Sebabnya kira-kira: apa juga mau dibahas dari kelompok yang tidak memiliki identitas ini.

 

Tinjauan utama dia adalah pada bangkitnya perlawanan dari kelompok yang dari segi kemakmuran meningkat, dan (mulai) menyadari bahwa selama ini mereka ternyata termarjinalisasi, terpinggirkan. Bangkitnya agama sebagai politik identitas adalah akibat dari kesadaran tersebut. Fukuyama memberi contoh, di Eropa para ekstremis rata-rata generasi kedua para emigran dari Timur Tengah serta sebagian Asia.

 

Berbeda dari generasi sebelumnya, generasi itu menerima pendidikan Barat, menguasai bahasa mereka, mencoba berbaur, sebelum kemudian sadar bahwa mereka ternyata tetap warga kelas dua.

 

Di sini Fukuyama memakai istilah thymos. Thymos adalah semacam jiwa yang menuntut pengakuan atas kehormatan (recognition of dignity). Pada tingkat tertentu orang butuh diterima dan dihargai. Di-wongke, bahasa Jawa-nya.

 

Agama melakukan pendekatan dan bujuk rayu terhadap generasi yang tengah mengalami krisis identitas tersebut. Bahwa mereka sejatinya memiliki nilai yang lebih bermartabat daripada masyarakat Barat. Agama sebagai politik identitas menjadi antitesis dari nasionalisme, produk politik identitas abad lalu.

 

Konflik ini terjadi di berbagai tempat. Dalam buku itu Fukuyama sempat menyinggung Ahok, korban gusuran politik identitas di Jakarta.

 

Di Eropa para orangtua bingung. Orangtua yang tadinya melihat anaknya baik-baik saja, main bola, bermusik, nongkrong di pub, pacaran dengan cewek bule, tiba-tiba menarik diri dari pergaulan. Sang anak menghilang, dan orangtua terperangah ketika melihat sang anak muncul di televisi, bercambang, menenteng senapan.

 

Versi lebih subtil dari persoalan ini pernah ditulis sebagai cerpen yang mengesankan oleh pengarang Inggris keturunan Pakistan, Hanif Kureishi. Judulnya ”My Son the Fanatic”. Karya itu pernah diangkat ke layar perak.

 

Di Indonesia, dalam kancah pertarungan politik identitas ini, siapa yang tak terwakili?

 

Orang-orang miskin. Merekalah penonton, tiap hari termangu-mangu menyaksikan penguasa mengistimewakan mereka yang mengasosiasikan diri dengan identitas agama, profesi, seniman, budayawan, dan lain-lain. Budayawan dalam pengertian penguasa sekarang adalah para selebritas, youtuber, influencer, dan semacamnya. Penguasa memahami kebudayaan sebagai industri.

 

Rakyat tanpa identitas diam. Membangkang tanpa kata.

 

Ketika kelompok tanpa suara di wilayah lain dikategorikan oleh penguasa sebagai teroris, basmi, urusan HAM belakangan, kelompok tanpa suara di wilayah lain lagi telah sampai kampung halaman.

 

Ha-ha, mereka menang.

 

Terhadap segala peraturan mungkin mereka berucap, "Persetan." ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar