Merawat
Gairah Prososial
Khoiruddin Bashori ;
Psikolog Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2017
MUSIM
penghujan ialah musim yang banyak ditunggu petani, tapi membuat cemas
sebagian masyarakat kawasan rawan banjir dan longsor. Di balik berkah tidak
jarang tersembunyi bencana. Terdapat kemudian aneka kondisi kedaruratan yang
memerlukan bantuan, pertolongan, dari seluruh pemangku kepentingan.
Kenyataannya, sudah menjadi rahasia umum, orang yang tinggal di perdesaan
cenderung lebih penolong daripada mereka yang tinggal di daerah perkotaan.
Suasana kota yang padat dan kompetitif, disadari atau tidak, telah
memengaruhi pola hidup penghuninya.
Di
kota kecenderungan pola relasi transaksional sangat menonjol. Banyak hal
dihargai dengan uang. Oleh karena itu, menjadi orang miskin di kota jauh
lebih sulit daripada di desa.
Data
BPS menunjukkan terdapat sejumlah daerah dengan budaya 'desa' yang masih
guyub. Meski angka kemiskinan tinggi, tingkat harapan hidup dan level
kebahagiaan warganya relatif tinggi. Mereka bahu membahu menjalani kesulitan
hidup bersama-sama. Karena dipikul bersama, saling tolong menolong, persoalan
yang berat sekali pun terasa ringan.
Dinamika psikologis
Rupaya
perilaku prososial tidak terjadi begitu saja. Jika terdapat seseorang yang
berbaik hati menolong orang lain, ternyata itu didahului adanya proses
psikologis sebelum sampai pada keputusan menolong. Baron dan Branscombe
(2012) mengemukakan respons individu dalam situasi darurat meliputi lima
langkah penting yang dapat menimbulkan perilaku prososial atau tindakan
berdiam diri saja. Tahap-tahap tersebut meliputi: Pertama, Tahap perhatian,
subjek menyadari adanya keadaan darurat. Subjek mulai menyadari ada sesuatu
yang tidak biasa terjadi. Keadaan darurat jelas merupakan sesuatu yang
terjadi tiba-tiba. Karena situasi demikian terjadi begitu mendadak, secara
tiba-tiba, sudah barang tentu orang tidak memiliki persiapan khusus untuk
mengantisipasi kejadiannya, dan belum merencanakan bagaimana cara terbaik
untuk menanggapi.
Kedua,
menginterpretasikan keadaan sebagai keadaan darurat. Kejelasan informasi
penting pada tahap ini. Ketidaklengkapan informasi dapat menyebabkan subjek
gagal menginterpretasi kejadian sebagai keadaan darurat yang memerlukan
pertolongan. Ketiga, mengasumsikan merupakan tanggung jawab untuk menolong.
Manakala individu memberi perhatian kepada beberapa kejadian di lapangan dan
yang bersangkutan menginterpretasikannya sebagai suatu situasi darurat,
perilaku prososial baru akan dilakukan hanya jika orang tersebut mengambil
tanggung jawab untuk menolong.
Keempat,
mengetahui dan terampil mengenai apa yang harus dilakukan. Pada kenyataannya,
meskipun individu sudah memperhatikan peristiwa yang terjadi,
menginterpretasikannya sebagai keadaan darurat, dan merasa bertanggung jawab
untuk membantu, belum tentu dia akan dapat melakukan sesuatu yang berarti,
kecuali jika yang bersangkutan benar-benar mengetahui dan memiliki cukup
keterampilan bagaimana cara menolongnya. Ada beberapa kasus, yang memang
tidak memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk menolong.
Kelima,
mengambil keputusan untuk menolong. Tahap pengambilan keputusan merupakan
tahap yang paling krusial dalam perilaku prososial. Meskipun individu telah
melalui semua tahapan di atas dan bahkan telah mencapai tahap merasa
bertanggung jawab untuk memberikan pertolongan pada korban, serta memiliki
keterampilan memadai yang diperlukan untuk dapat menolong, masih pula
terdapat kemungkinan yang bersangkutan memutuskan untuk tidak memberikan
pertolongan. Berbagai kekhawatiran yang muncul dapat menjadi penghambat
terjadinya pemberian pertolongan. Tahap akhir dari perilaku prososial ini,
yaitu keputusan untuk menolong, dapat dihambat rasa takut. Penolong akan
melakukan semacam kalkulasi matematis menyangkut peluang positif dan risiko
negatif yang bakal terjadi jika ia menolongnya.
Peran keluarga dan sekolah
Sejak
dini anak perlu dibiasakan dengan nilai-nilai prososial. Urgensi pengasuhan
yang dapat menumbuhkan perilaku prososial semakin meningkat di tengah kepungan
faktor-faktor situasional yang sulit dikendalikan. Dengan kuatnya nilai-nilai
internal anak yang dibawa dari keluarga diharapkan anak tidak terlalu
bergantung pada situasi-situasi eksternal, dan lebih yakin dengan
standar-standar internal perilakunya sendiri (Baron & Byrne, 2000).
Berbagai
studi menunjukkan, anak akan memiliki kontrol internal yang baik jika
dibesarkan dalam keluarga dengan orangtua yang penuh kehangatan dan cinta.
Bukan dididik dengan hukuman-hukuman fisik yang keras. Terdapat pola interaksi
yang krusial antara orangtua dan anak. Anak-anak yang altruistik ternyata
dibesarkan orang orangtua yang juga altruistik. Oleh karena itu, orangtua
perlu menjadi model yang baik bagi anak.
Baron
dan Byrne (2000) menyarankan perlunya mengurangi ambiguitas lingkungan dan
mengajarkan perilaku bertanggung jawab. Penelitian menunjukkan keengganan
orang untuk menolong salah satunya disebabkan ambiguitas situasi.
Ketidakjelasan apa yang sebenarnya terjadi sering kali menyebabkan pemerhati
gagal mengerti baru saja telah terjadi keadaan darurat yang memerlukan
pertolongan.
Oleh
karena itu, lewat pendidikan dan pelatihan, anak perlu diajari misalnya
dengan berbagai simulasi kedaruratan dan kebencanaan agar mereka lebih
sensitif dan tidak takut salah dalam memberikan respons yang semestinya. Di
sekolah anak perlu diberi kesempatan yang lebih luas untuk berinteraksi
secara positif. Para pendukung perspektif sosialisasi rekan sebaya
berpendapat hubungan sebaya memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar dan
berlatih keterampilan prososial. Interaksi kolaboratif dengan teman sebaya
juga diyakini dapat memotivasi pengembangan keterampilan kognitif yang
mendukung terbentuknya perilaku prososial.
Kedekatan
hubungan guru dengan siswa juga memiliki peran penting dalam internalisasi
nilai-nilai prososial. Kewibawaan guru dan kedekatan hubungannya dengan siswa
akan memperkuat referent power yang dimilikinya. Referent power ialah
kekuatan yang diperoleh atas dasar kekaguman, keteladanan, karisma, dan
kepribadian dari seorang figur. Adalah sangat luar biasa pengaruhnya bagi
perkembangan perilaku prososial siswa manakala para guru di sekolah dapat
memerankan diri sebagai model ideal bagi nilai-nilai prososial.
Dalam
konteks pembelajaran, model instruksional kooperatif dan kolaboratif terbukti
lebih dapat menumbuhkan perilaku menolong. Dalam hal ini, diskusi aktif,
pemecahan masalah, dan umpan balik elaboratif antarrekan sebaya yang
berinteraksi satu sama lain dapat memfasilitasi berkembangnya keterampilan
prososial. Hasil-hasil studi di lapangan juga menunjukkan kegiatan
pembelajaran kooperatif yang paling sukses dalam mensosialisasikan
nilai-nilai prososial ialah yang disertai dengan interdependensi positif di
antara anggota kelompok, akuntabilitas individual, interaksi tatap muka
langsung antarsiswa, dan belajar keterampilan sosial yang diperlukan untuk
bekerja sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar