Menuju
Negara Rimba Raya
Samsudin Adlawi ;
Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi
|
JAWA
POS, 02
Februari 2017
MUNGKINKAH
Indonesia Raya berubah menjadi negara Rimba Raya? Sangat mungkin.
Gejala-gejala menuju ke arah sana mulai tampak. Satu per satu habitus
kerimbaan itu mulai terlihat jelas. Setiap hari berseliweran di depan mata.
Terus-menerus memukuli gendang telinga. Menyesaki tabung kaca dan media
sosial (medsos).
Dalam
kisah fabel disebutkan, harimau adalah raja rimba. Versi lain menyebutkan,
macanlah penguasa rimba. Bahkan, raja hutan Amerika bukan harimau atau macan.
Melainkan jaguar. Yang pasti, ketiganya masih satu rumpun: keluarga kucing
besar.
Mereka
sangat ditakuti binatang lainnya. Bukan karena kepandaiannya. Sebab, soal
kecerdikan dan kepandaian, mereka masih kalah oleh kancil. Penghuni hutan
takut karena keluarga kucing besar itu punya kuku-kuku dan taring yang sangat
tajam. Kuku dan taring tersebut dipakai untuk mengintimidasi. Menggertak
lawan. Selain untuk mencabik-cabik lawan dan mangsanya. Sesuai fungsi
utamanya.
Perilaku
menakut-nakuti pihak lain seperti itu sekarang lagi ngetren di negeri ini.
Menjadi semacam habit baru. Di semua lini kehidupan. Terutama dilakukan
mereka yang sedang (merasa) punya kuasa. Belum lama berselang kita
dihenyakkan kabar meninggalnya tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia
(UII) Jogjakarta. Mereka meninggal dalam kegiatan pendidikan dasar (diksar)
Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Unisi UII. Diduga, mereka menjadi korban
tindak kekerasan dalam kegiatan yang dilaksanakan di lereng Gunung Lawu,
Karanganyar, Jawa Tengah, 13–20 Januari lalu itu. Aksi kekerasan tersebut
diduga dilakukan para senior ketiga korban.
Tragedi
semacam itu sudah sering terjadi. Sebelumnya, masih pada Januari tahun ini,
seorang taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta bernama Amirullah
Adityas Putra juga tewas dianiaya seniornya. Rangkaian aksi kekerasan
berbuntut hilangnya nyawa mahasiswa junior oleh seniornya tersebut sangat
disayangkan. Seharusnya mahasiswa yang hidup dalam lingkungan intelektual
menjadi kancil. Bukan malah berperilaku seperti harimau. Sebagai senior
seharusnya mereka menggunakan logika dalam bertindak. Bukannya mengeluarkan
”kuku-kuku” dan ”taringnya” yang tajam untuk mengintimidasi junior yang sedang
dididik dan dilatihnya.
Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, kondisinya lebih mengkhawatirkan. Bukan
hanya fenomena saling intimidasi yang berkembang, tapi juga saling lapor. Si
A melaporkan si B, lalu si B balik melaporkan si A. Bahkan, si B yang tidak
terima mencari bolo (teman) si C dan D ketika melaporkan balik si A.
Perilaku
saling lapor itu tidak hanya dilakukan para tokoh. Rakyat biasa yang tidak
punya ”kuku dan taring” sekarang ikut-ikutan saling lapor. Dengan hanya
gara-gara ujaran kebencian di medsos atau media nirkabel lainnya. Seperti
biasa, polisi menerima setiap laporan yang masuk. Maka, kini polisi tidak
hanya sibuk mengatasi kriminalitas dan narkoba yang terus meningkat. Mereka
juga disibukkan meladeni para pihak yang saling lapor. Seperti diketahui,
polisi sudah menerima sepuluhan laporan dari beberapa pihak untuk seorang
Habib Rizieq Shihab saja.
Mengeluarkan
”kuku dan taring” tidak selamanya jelek. Khusus bagi pemerintah, jika ”kuku
dan taringnya” dilepaskan pada tempatnya, sepatutnya kita beri standing
applaus. Tanpa diminta sekalipun. Misalnya, ”kuku dan taring” itu dikeluarkan
demi tegaknya kebenaran dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa. Namun,
beda halnya jika ”kuku dan taring” dikeluarkan untuk keuntungan pribadi dan kelompok.
Rakyat harus berteriak lantang terhadap tindakan najis seperti itu.
Kita
ambil contoh, seorang oknum jaksa atau polisi menakut-nakuti terperiksa
dengan ancaman akan menersangkakannya jika tidak memberinya upeti. Atau
penegak hukum yang terus mencari-cari kesalahan seseorang hanya karena yang
bersangkutan sudah masuk target. Sekalipun minim alat bukti, dengan berbagai
cara yang bersangkutan tetap ditersangkakan. Lalu oleh jaksa secara lajak
kasusnya dipaksakan masuk ke persidangan. Kalau terus dibiarkan,
tindakan-tindakan mengeluarkan ”kuku dan taring” yang dilakukan masyarakat
hingga aparat itu akan mempercepat Indonesia Raya menjadi Rimba Raya.
Suatu
negara, yang konstitusinya dikalahkan praktik-praktik hukum rimba, yang kuat
karena punya kuasa dan harta akan terus menindas yang lemah. Tentunya,
sebagai bangsa kita tidak menghendaki hal itu terjadi. Kecuali yang punya
kuasa tertinggi di negara ini sengaja mendiamkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar