Bertamu
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 04 Februari 2017
Sama
sekali tak diduga bahwa pada sore itu Romo Imam datang ke rumah saya. Saya
kaget, tapi menyambutnya dengan tenang. "Tak usah ditanya apakah saya
mendadak singgah karena kebetulan berjalan-jalan dekat sini atau saya sengaja
ke sini," ujar Romo, sebelum saya bicara apa-apa. Kami pun tertawa.
"Memang,
bertamu itu ada aturannya," tutur Romo, setelah saya ajak duduk di
beranda. "Bertamu bisa karena tamunya diundang tuan rumah, bisa karena
tamu yang meminta bertemu. Kalau yang terakhir ini, tentu tamu memberi tahu
sebelumnya lewat telepon atau titip pesan kepada orang lain atau lewat surat.
Tujuannya, agar tuan rumah menyesuaikan jadwal dan punya persiapan dalam menyambut
tamu. Kalau tamu datang nyelonong, risikonya banyak. Bisa jadi kecewa karena
tuan rumah tak ada atau tak sempat diladeni karena punya kesibukan lain. Itu
sebabnya diciptakan padanan yang buruk buat tamu yang tak diundang, yakni
pencuri."
Saya
tertawa. Romo menyeruput rebusan kayu manis, minuman rutin kami pada sore
hari sebagai orang yang khawatir soal gula darah tinggi.
"Yang
tak masuk akal, ada calon tamu yang belum apa-apa sudah takut menemui
seseorang karena ia percaya bakal tidak diterima. Si calon tamu ini merasa
dihalangi-halangi. Mungkin dia dapat informasi ngawur. Yang lebih konyol,
ternyata calon tamu itu sama sekali tak pernah mencoba untuk minta bertamu,
baik lewat telepon maupun lewat surat. La, piye toh....," Romo tertawa,
menyudahi omongannya.
Saya
bicara hati-hati: "Romo sepertinya menyindir presiden keenam kita, Bapak
Susilo Bambang Yudhoyono." Romo meledak tawanya. "Pada akhirnya
yang tak masuk akal ini jadi gunjingan publik," katanya. "Karena
hal yang sepatutnya disimpan itu ternyata diobral ke publik. Orang bijak bisa
menahan perasaan, mana yang cukup disimpan dalam hati, mana yang perlu
diceploskan ke orang lain. Ingin ketemu Jokowi tapi tak pernah memberitahukan
keinginannya itu karena belum apa-apa takut tidak diterima. Wong Jokowi
pengamen saja diterima, malahan presiden yang unik ini mau-maunya menelepon
anak balita yang kepingin salaman tetapi tak bisa."
"Romo
betul. Sebagai presiden, Jokowi terikat oleh protokoler," kata saya.
"Tentu saja tak etis Jokowi memanggil SBY ke Istana, wong bukan
menterinya, bukan pembantu presiden. Kalau Jokowi mengundang SBY,
keperluannya apa, barangkali belum ada atau belum mendesak.
Undangan
khusus itu karena Jokowi tak punya masalah dengan SBY. Yang menyimpan masalah
itu SBY, ingin membantah segala rumor menyangkut dirinya. Rumor yang belum
tentu datang dari Istana dan mungkin pula Jokowi tak tahu apa-apa. Alangkah
bijak dan santunnya kalau SBY mengirim surat atau pesan permintaan bertamu.
Saya kira tak ada yang menjegal. Jubir Istana yang teman baik saya itu sudah
bilang. Kirim surat permintaan bertemu. Jokowi pasti membuatkan jadwal. Wong
sudah enam kali keduanya bertemu dalam acara-acara kenegaraan."
Romo
juga tampak mulai serius. "Ini soal sepele, urusan tamu-bertamu. Menjadi
besar karena menyangkut presiden yang aktif dan presiden yang pensiun. Lalu
situasinya panas menjelang pilkada Jakarta, yang salah satu calon gubernurnya
diadili. Belum lagi ada kasus makar, penghinaan Pancasila, ulama yang
berpolitik, campur aduk. Apa benar negeri ini sudah gawat dan rakyatnya
terpecah-belah?"
"Tidak
benar, Romo," saya memotong. "Masyarakat di daerah adem. Negeri ini
tak akan hancur karena Ahok, Agus, Anies, Rizieq, jikapun ditambah SBY. Yang
panas hanya Jakarta, di daerah masih sejuk. Apalagi banyak hujan." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar