Makar
di Lorong Konstitusi
Margarito Kamis ; Doktor
Hukum Tata Negara;
Staf Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Khairun Ternate
|
KORAN SINDO, 13 Desember
2016
KALA malam perlahan menghilang dan subuh nan lembut hendak
mengantarkan kepergiannya, Kivlan Zein, mayor jenderal (pur) TNI AD, di
rumahnya di Kawasan Kelapa Gading kedatangan tamu, tentu tak diundang.
Setelah memperlihatkan surat perintah penggeledahan, Pak Kivlan pun
mengetahui beliau disangka akan melakukan makar.
Rumahnya pun digeledah oleh tamu, yang tak lain adalah
penyidik. Dan, seiring merekahnya fajar, Pak Kivlan dibawa ke Markas Komado
(Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Pak Kivlan ternyata tak sendirian. Ada Ibu Rachmawati,
putri Bung Karno, proklamator kita, yang harum kenegarawanannya mendunia,
juga Ibu Ratna, dan Pak Bintang Pamungkas, serta lainnya di pagi nan berawan
lembut itu. Seperti Pak Kivlan, mereka juga disangka makar. Mereka pun dibawa
ke Mako Brimob dan diperiksa. Akhirnya, sebagian ditetapkan menjadi tersangka
dan beberapa di antaranya ditahan.
Titian Sejarah
Makar, harus diakui dihinakan oleh konstitusionalisme,
sebuah paham bernegara yang dalam eksistensinya di Barat, memikat dan memukau
sejumlah kalangan. Paham ini mengagungkan hukum, tentu bukan hukum khas para
tiran, "semau gue", melainkan hukum yang sifat dan hakikatnya
merupakan pantulan murni akal budi bersama.
Paham ini, seperti diakui Harold J Berman, penulis Law and
Revolution, berutang nilai intrinsiknya pada hukum alam. Tetapi, titian
sejarah yang dilaluinya memberitahukan betapa eksistensinya diusahakan, bukan
oleh para filosof, ilmuwan bermoral tinggi, berhati mulia, melainkan para
pedagang, yang getaran nafasnya berwarna untung-rugi. Mereka ini, begitulah
kata Daron Acemoglu di Inggris misalnya, sangat sering menjadi sapi perahan
para tiran.
Para tiran, umumnya, memiliki nafsu tanpa ujung. Walau
dalam kenyataannya, mereka sehebat apa pun tahtanya selalu memiliki akhir,
yang acapkali tragis. Brend Ralph Levis, dalam karyanya yang berjudul Raja
dan Ratu Inggris, menyuguhkan, sangat informatif, betapa tidak sedikit raja
tiran menemui akhir mengerikan di ujung lintasan kekuasaannya.
Terilhami oleh lumbung sejarah itulah, konstitusionalisme
karya kaum pedagang abad ke-17 ini menyuguhkan pembatasan kekuasaan, sandaran
pembatasan masa jabatan" tentu melalui hukum. Pembatasan jangkauan dan
masa jabatan kelak ditandai sebagai salah satu permata terindahnya. Indah
lantaran cara itu berbobot solutif dalam mencegah laku ugal-ugalan penguasa
yang meremehkan harkat dan martabat manusia.
Penguasa, entah karena rohaninya gelap segelap malam tanpa
bintang, selalu silau terhadap gemerlapnya dunia materil. Kondisi itu
tampaknya mengilhami James Madison, penemu sistem pemerintahan presidensial.
Dalam Constitutional Convention 1787 di Philadelphia Amerika, James
menyuguhkan kalimat bertuahnya "setiap orang bukan malaikat."
Setiap orang, katanya pula, punya ambisi. Ambisi, begitu
penilaiannya, harus diadu dengan ambisi dari yang lainnya. Ambisi-ambisi ini
harus dipertalikan dengan hak warga serta dikerangkakan dalam konstitusi
sehingga yang satu tidak menjadi tiran bagi yang lainnya.
Begitulah konstitusionalisme Barat menilai dan menakar
manusia, insan yang dalam alam filsafat para pendiri negara ini, Indonesia,
selalu baik dalam esensi dan laku lahiriahnya. Laksana bapak, juga pengayom,
pemimpin dalam penilaian mereka selalu welas kasih kepada rakyatnya. Lantaran
berpandangan demikian itulah, gagasan pemisahan kekuasaan khas Barat, tidak
cukup memikat mereka.
Apakah filsafat itu menjadi dasar eksisnya pasal-pasal
makar, bikinan penjajah Belanda? Jelas, tidak. Faktanya, pemerintah Republik
Indonesia yang masih muda usianya kala itu, hampir saja tenggelam dalam
samudra keangkuhan segelintir orang di peristiwa Madiun. Republik kesatuan
ini, sedari awal adanya digerogoti van Mook, dan kelak berakhir dengan Sultan
Hamid II dituduh dan dihukum melakukan makar.
Hasrat tanpa tepi sekelompok politisi, yang tampak
melupakan indahnya musyawarah mufakat, mengakibatkan Bung Karno, presiden,
negarawan yang cahaya dan aroma kemanusiaannya memancar hingga nun jauh di
sana, berkali-kali diterjang makar. Penembakan di Cikini, juga penembakan di
Stadion Matoangin Makassar, pemboman Istana, dan penembakan di Masjid
Baiturrahman, sekadar beberapa contoh makar menimpa Bung Karno.
Membolehkan
Bung Karno adalah salah seorang arsitek UUD 1945 asli,
sebutan untuk UUD 1945 sebelum diubah yang digunakan Bu Rahma, Pak Kivlan, Bu
Ratna, dan Pak Bintang. UUD ini, dengan alasan apa pun, tidak bisa dicap
sebagai UUD hasil penetrasi ekstrem alam pikiran Barat.
Sesuai risalahnya, UUD ini merupakan hasil kristalisasi
dan adaptasi nilai-nilai sosiokultural khas Indonesia. Nilai-nilai itu, pada
fase pertama dirumuskan dalam Pancasila, fondasi pasal demi pasal UUD 1945
itu.
Andai Bu Rahma, Pak Kivlan, Bu Ratna, dan Pak Bintang
mengidentifikasi sebagian Pasal UUD 1945 yang telah diubah, disusupi
nilai-nilai liberalisme, menghina musyawarah mufakat, sulit menyangkalnya.
Bila teridentifikasi betapa pemilihan presiden langsung,
menempatkan para cukong, bandar, persis seperti pemilihan konsul Markus
Tulius Cicero, ahli hukum dan negarawan besar Romawi, tahun 106 SM,
menentukan pemenangnya, beralasan. Sayangnya, gagasan mereka menghidupkan
lagi nilai-nilai itu, tertahan tuduhan serius, makar, kepada pemerintah.
Pemerintah, sebuah konsep tata negara, sesuai UUD 1945
sebelum maupun sesudah diubah adalah presiden, organ pelaksana hukum.
Betapapun filsafat para pendiri negara menghasilkan presiden dengan kekuasaan
yang luas, manisnya, tak membuat mereka lalai. Seolah tahu bahwa organ ini
bukan permata dari surga, mereka memunculkan monster; presiden dapat
diberhentikan sebelum akhir masa jabatannya melalui sidang istimewa MPR.
Ikhtiar itu, dalam UUD 1945 sebelum diubah, dirumuskan
dengan cara memberi kewenangan kepada MPR menarik mandat dari presiden.
Forumnya bernama sidang istimewa. Sama dalam hakikat dengan MPR 1999-2004,
UUD 1945 setelah diubah juga mengatur ketentuan dan prosedur pemberhentian presiden
sebelum akhir masa jabatannya.
Tetapi, berbeda dengan UUD 1945 asli, alasan pemberhentian
menurut UUD 1945 yang telah diubah harus murni hukum, bukan politik, tarik
mandat. Prosedurnya, masya Allah, amat sangat rumit.
Andai tak dituduh makar, dan surat-surat mereka disukai
dan dikabulkan MPR, tetapi sebagian besar anggota DPR tenggelam dalam samudra
politik pemerintah, dan DPD menghilang, masuk ke dalam kegelapan alam
politik, maka pupuslah harapan mereka. Sebaliknya bila DPD bergairah, karena melihat
selaksa harapan di ujung sana, lalu menghadiri sidang MPR, tetapi kuorum
sidang tidak mencapai ke angkasa luarlah harapan mereka.
Meminta MPR menyelenggarakan "sidang istimewa"
dengan agenda mengubah UUD 1945, betapapun elok moralitas di relung-relung
ruhaninya, sungguh laksana menggendong angin. Mengapa? UUD 1945 saat ini tak
lagi mengenal sidang istimewa. Hanya ada empat jenis sidang MPR; (1)
meresmikan calon presiden terpilih, (ii) memberhentikan presiden, (iii)
memilih wakil presiden baru, dan (iv) mengubah UUD 1945. Itu sebabnya
tembakan makar kepada mereka serasa seperti berenang di samudera yang tak
bertepi.
Pasal 107 dan 110 KUHP, menempatkan pemerintah sebagai
unsur delik, subjek yang dituju dari tindakan makar, bukan MPR, DPR, dan DPD.
Sampai kapan pun MPR, DPR, dan DPD tidak dapat dipredikatkan secara
konstitusional sebagai pemerintah. Dalam sistem pemerintah parlementer, yang
perdana menterinya harus menyandang status anggota parlemen sekalipun, tidak
pernah bisa dipredikatkan sebagai pemerintah, apalagi dalam sistem
presidensial khas UUD 1945.
Mufakat merobohkan pemerintah yang sah, penanda adanya
niat, tetapi terhenti atau tak terlaksana karena sebab yang tak diinginkan
sendiri, memang berkualifikasi perbuatan yang telah selesai, makar. Tetapi
bermufakat mengusulkan perubahan UUD 1945, termasuk kembali ke UUD 1945 asli,
yang dilakukan dengan cara berkirim surat kepada MPR, menurut paham
konstitusionalisme, Pasal 37 UUD 1945, sah.
Bersurat kepada MPR agar MPR berkenaan menyelenggarakan
sidang mengubah UUD 1945 adalah tindakan yang dalam hakikat dan sifatnya
tidak bertentangan dengan asas-asas tata negara. Karena tak bertentangan,
maka tindakan itu senafas dengan prinsip actus repugnus non potest in esse
produci- tindakan yang berlawanan dengan asas tidak menghasilkan tujuan yang
hakiki. Dalam ilmu hukum tata negara juga dikenal prinsip, "bila
sebabnya sah, maka hukum dan akibatnya sah.
Tembakan makar kepada Pak Kivlan, Bu Rahma, Bu Ratna, Pak
Bintang, dan lainnya, eloknya di-SP3. Tetapi, andai tak bisa, maka peradilan
kasus ini, secara hipotetis, akan jadi panggung unjuk kampanye ideologi,
Pancasila vs liberalisme paling terbuka, bergemuruh, dan menggetarkan.
Peradilan ini, andai berlangsung, adalah panggung terbukanya tabir gempuran
liberalisme menjungkirbalikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar