Energi
Demo 212 untuk Korban Gempa
Amidhan Shaberah ; Ketua
MUI (1995-2015);
Anggota Komnas HAM (2002-2007)
|
KORAN SINDO, 09 Desember
2016
SEPEKAN setelah Demo Superdamai yang diikuti jutaan umat
Islam di Jakarta, bangsa Indonesia kembali mendapat cobaan: gempa bumi
dahsyat melanda bumi Serambi Mekkah, Rabu 7 Desember 2016. Akibat gempa bumi
berkekuatan 6,5 Skala Richter (SR) itu, ratusan orang tewas, ratusan bangunan
(rumah, musala, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain) roboh.
Ribuan orang kini kehilangan rumah dan harus mengungsi di
tenda-tenda darurat. Mereka adalah saudara-saudara kita sebangsa dan setanah
air dan hampir bisa dipastikan, 100% adalah muslim.
Melihat dahsyatnya gempa tersebut, bangsa Indonesia
berduka. Berduka karena saudara-saudaranya tertimpa musibah yang datang
tiba-tiba. Bagi bangsa Indonesia, gempa Aceh ini memunculkan kembali kenangan
gempa superdahsyat 26 Desember 2004, yang menewaskan sekitar 200.000 jiwa dan
meluluhlantakkan Serambi Mekkah.
Saat itu, akibat gempa berskala 9 SR tersebut, Bumi
Rencong itu nyaris hancur. Ribuan bangunan hancur diterjang tsunami dahsyat
dan ratusan ribu mayat bergelimpangan di mana-mana. Gempa superdahsyat saat
itu dikenang sebagai gempa terbesar dalam seratus tahun terakhir di dunia.
Tapi, ada ajaran penting bagi umat Islam yang harus
diyakini kebenarannya bahwa setiap musibah adalah ujian dari Allah untuk
manusia. Apakah ujian tersebut akan meningkatkan keimanan atau sebaliknya,
melemahkan keimanan, bergantung pada manusianya. Sebagai umat yang beriman,
bangsa Indonesia selalu menyadari bahwa setiap musibah adalah ujian dan
selalu membawa hikmah untuk perubahan yang lebih baik.
Gempa 26 Desember 2004 misalnya membawa hikmah yang luar
biasa, yaitu datangnya perdamaian rakyat Aceh. Pihak-pihak yang selama
puluhan tahun berselisih di Aceh (yang telah memakan korban ribuan orang)
akhirnya sepakat menandatangani pakta perdamaian. Pascamusibah tersebut,
kehidupan rakyat Aceh pun tenteram dan damai kembali.
Tak ada lagi letusan senjata. Tak ada lagi darah manusia
yang tercecer di Tanah Rencong. Pembangunan makin gempita. Dan, kemakmuran
rakyat Aceh kemudian datang bersama munculnya sinar perdamaian itu.
Melihat ending gempa 26 Desember 2004 tersebut, kita pun
berharap gempa Rabu 7 Desember 2016 akan berdampak bagi kebaikan dan
peningkatan keimanan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Aceh. Apalagi, bila
mengingat gempa beberapa hari lalu hanya berselang lima hari dari peristiwa
demo 2 Desember (212) di Jakarta yang mendamaikan itu.
Sungguh suatu keajaiban, demo 2/12 yang diikuti jutaan
umat Islam dari seluruh Tanah Air berlangsung aman, damai, dan tertib. Ini
sebuah peristiwa langka di dunia, di mana demo yang begitu masif, berakhir
dengan damai, bersih, dan saling menyapa dengan penuh senyum.
Para demonstran banyak yang bersalaman dan berpelukan
dengan aparat keamanan yang bertugas mengawasi demo. Usai demo, mereka para
demonstran, polisi, dan tentara ber-selfie ria. Kapolri Jenderal Tito
Karnavian terkagum-kagum dengan ketertiban para demonstran dalam peristiwa
2/12 itu.
"Tidak ada sebatang pohon pun yang tumbang karena
terinjak demonstran," kata Tito. Ini luar biasa! Sampai-sampai Presiden
Jokowi ikut salat Jumat bersama para demonstran di Monas.
Padahal, isu di "luar yang berkembang", demo
2/12 bertujuan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Presiden, tanpa
sepengetahuan para penasihatnya, berani melaksanakan salat Jumat bareng sama
demonstran 2/12 karena beliau yakin mereka yang berdemo bertujuan baik:
mendoakan bangsa Indonesia terlepas ari azab dan murka Allah akibat
dosa-dosanya selama ini.
Setiap manusia pasti punya dosa. Insan, kata peribahasa
Arab, mahallul khoto wannisyaan (tempatnya alpa dan lupa). Karena itu,
manusia selalu memanjatkan doa minta ampun kepada Allah atas dosa dan
kesalahan-kesalahannya baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak.
Perihal meminta ampunan atas dosa-dosa itu, Nabi Muhammad
SAW yang hidupnya tanpa dosa pun selalu memohon ampunan atas dosa-dosanya
kepada Allah tiap habis salat. Bahkan minta ampun dengan intensitas yang
lebih banyak daripada umatnya.
Itulah indahnya Islam. Umat Islam seharusnya memohon ampun
kepada Allah lebih banyak dari umat mana pun seperti dicontohkan Nabi
Muhammad SAW.
Dalam kerangka itu pula, pada demo 2/12 umat Islam
berzikir mengagungkan nama Allah dan minta ampun kepada Sang Maha Kuasa agar
dosa-dosa bangsa Indonesia dihilangkan dan selanjutnya dibimbing untuk
menjadi umat yang baik, ramah, dan rahmah.
Dari perspektif inilah, rupanya Presiden Jokowi meyakini
betul bahwa demo 2/12 tidak untuk menggulingkan dirinya dari Istana, tapi
untuk mendoakan bangsa agar tidak tertimpa marabahaya dan laknat dari Allah
akibat perbuatan dosa-dosanya. Itulah sebabnya kasus penafsiran Al-Maidah 51
oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) oleh umat Islam ditanggapi
dengan cara demo masif dengan zikir dan minta ampunan kepada Allah tadi.
Itulah ajaran Islam: setiap peristiwa yang terjadi harus
diserahkan kepada Allah dan mohon petunjuk-Nya agar masalah tersebut selesai
sesuai dengan kehendak Allah, tanpa mengurangi usaha-usaha yang dilakukan
manusia untuk menyelesaikan permasalahannya. Umat Islam percaya, manusia
memang harus berusaha menyelesaikan setiap persoalan yang menimpanya meski
akhirnya skenario Allah yang akan berlaku dalam menyelesaikan peristiwa
tersebut.
Kembali pada masalah gempa 8/12 Aceh. Jika gambaran gempa
8/12 di atas dikaitkan dengan energi demo 2/12, kita melihat harapan cerah:
umat Islam akan bahu-membahu membantu masyarakat Aceh mengatasi kegetiran dan
kehilangan pascagempa.
Energi jutaan umat di Monas dalam demo 2/12 ini, jika
ditransformasikan dalam pengerahan bantuan sosial secara massal untuk
mengatasi problem kemanusiaan pascagempa 7/12, niscaya hasilnya akan luar
biasa. Korban terselamatkan dari derita berkepanjangan pascagempa.
Ulama dalam demo 2/12 telah berhasil menunjukkan betapa
umat Islam itu cinta damai dan kemanusiaan bahkan cinta alam (demo yang
ecofriendly, pinjam kata-kata aktivis lingkungan hidup). Demo semacam itu
niscaya mudah dilakukan lagi untuk membantu rakyat Aceh yang menderita akibat
gempa.
Tentu metodenya berbeda dengan demo 2/12. Selain salat
jamaah bersama, utamanya Jumat, lalu zikir dan doa, tak lupa menggalang
bantuan material dan finansial untuk membangun kembali puing-puing yang
terserak akibat gempa. Yakinlah, umat Islam yang berhasil melakukan demo aman
dan damai di Jakarta tempo hari akan berhasil melakukan hal yang sama untuk
solidaritas rakyat Aceh. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar