Bukan
Sekadar Menayangkan Fakta
Jamalul Insan ; Sekjen
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
|
KORAN SINDO, 13 Desember
2016
MULAI Selasa, 13 Desember 2016 ini, pengadilan kasus
penistaan agama dengan terdakwa Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Antusiasme masyarakat untuk mengikuti kasus ini diyakini akan sangat besar.
Prediksi ini tidak berlebihan mengingat sejak kasus ini
muncul reaksi masyarakat terus berkembang luas, terlihat dari keikutsertaan
masyarakat dari berbagai daerah dalam beberapa aksi damai di Jakarta.
Besarnya antusiasme masyarakat ini diprediksi akan
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kepemirsaan televisi. Artinya
topik kasus penistaan agama ini bila disiarkan televisi akan menjadi pilihan
pemirsa alias share atau jumlah kepemirsaan tayangan ini akan tinggi.
Seperti juga aksi damai November dan Desember lalu di
Jakarta meraup kepemirsaan yang sangat tinggi. Contohnya saat Aksi Damai 212
stasiun televisi berita iNewsTV meraup share tertinggi yakni 12,90 pada pukul
10.30-12.00, mengungguli semua stasiun televisi. Share tinggi juga dinikmati
oleh stasiun televisi lain.
Namun, tampaknya curahan kepemirsaan yang tinggi tidak
menutup mata sejumlah pengelola newsroom televisi. Mereka justru
mendiskusikan perlu dan tidak semua proses persidangan kasus penistaan agama
oleh Ahok disiarkan secara langsung oleh televisi.
Kalau semata-mata hanya ingin meraih share televisi yang
tinggi, pastilah para pengelola newsroom akan duduk manis menikmatinya.
Sejumlah tanggapan pun bermunculan seputar bagaimana menayangkan persidangan
kasus Ahok tersebut.
Wisdom dan Kebebasan Pers
Bertolak dari diskusi di grup WhatsApp, Jumat, 9 Desember
2016, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menginisiasi acara rembuk
media berupa curah pendapat mengenai "Etika, Live Report Persidangan
Kasus Ahok". Diskusi yang difasilitasi Dewan Pers mengundang para
pimpinan newsroom televisi, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, serta
mantan Ketua Dewan Pers yang juga mantan Ketua Mahkamah Agung Prof Bagir
Manan.
Acara itu kelanjutan dari rembuk media sebelumnya yang
juga telah digelar IJTI yang menghasilkan komitmen 10 November. Rembuk
tersebut menghasilkan komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan
keberagaman dengan mendorong pembangunan manusia yang lebih baik melalui
pemberitaan yang positif, senantiasa menyampaikan berita yang berimbang,
objektif, sesuai kode etik jurnalistik dan perundangan yang berlaku, tidak
membuat berita yang akan mendorong tercipta konflik SARA.
Kami juga berkomitmen untuk selalu menjaga produk pers
yang kami buat supaya tidak berimplikasi negatif bagi masyarakat luas,
mendorong semua pihak untuk membangun suasana yang kondusif untuk tercipta
rasa aman bagi masyarakat, serta menjunjung tinggi independensi, tidak
partisan dan mencegah kegiatan serta perilaku yang merendahkan harkat dan
martabat pers.
Dengan begitu, semangat rembuk media ini adalah
menghasilkan perbaikan-perbaikan dalam bidang penyiaran, khususnya
jurnalistik penyiaran, seperti siaran langsung atau live report proses
persidangan di pengadilan.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung yang juga mantan Ketua
Dewan Pers Prof Bagir, sifat peradilan yang terbuka untuk umum berbeda dengan
peradilan yang bisa disiarkan secara live. Sidang yang terbuka untuk umum
bisa diikuti oleh masyarakat umum di ruang pengadilan, yang sepenuhnya di
bawah otoritas dan kendali ketua majelis hakim.
Sedangkan dalam siaran secara live persidangan, proses
persidangan akan menembus dinding ruang pengadilan yang bisa diikuti oleh
semua orang di mana pun berada, termasuk para calon saksi ataupun saksi ahli
yang akan dihadirkan dalam sesi persidangan berikutnya. Sehingga, sangat
mungkin seorang saksi atau saksi ahli bisa saja mengubah keterangannya
setelah menonton siaran live persidangan di rumahnya.
Senada dengan pernyataan Prof Bagir, dosen hukum pidana
Universitas Indonesia Eva Achjani Zulva dalam artikelnya "Siaran Live,
Tantangan dalam Sidang Terbuka untuk Umum" melihat implikasi siaran live
persidangan menyebabkan terjadi pencemaran terhadap alat-alat bukti, yakni
saksi dan saksi ahli (dua alat bukti yang dikenal KUHAP).
Saksi dan saksi ahli bisa saja terpengaruh setelah
menonton keterangan saksi yang telah lebih dahulu menyampaikan keterangan
atau pernyataannya di persidangan atau pernyataan yang disampaikan komentator
atau pengamat di luar persidangan.
Lantas, bagaimana dengan siaran live proses persidangan
yang sudah kita saksikan beberapa waktu lalu? Hal ini adalah realitas, yang
setiap saat harus siap dikoreksi untuk perbaikan dunia penyiaran, khususnya
jurnalistik penyiaran dan bidang hukum serta peradilan di Indonesia.
Apalagi bila dikaitkan dengan pernyataan Prof Bagir bahwa
sejumlah asas hukum dan hak dasar manusia bisa dilanggar oleh siaran langsung
jalannya pemeriksaan di pengadilan. Artinya, bagaimana mungkin kita melakukan
tugas mulia jurnalistik atas nama kebebasan pers dan kepentingan publik
dengan meruntuhkan hak dasar manusia yang seharusnya juga kita bela.
Soal kebebasan dan kemerdekaan pers, rasanya bukan hal
yang bisa ditawar-tawar, sesuai UU Pers No 40 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 2,
terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan
pelarangan siaran. Karena itu, segala tindak dan upaya pelarangan terhadap
proses kerja jurnalistik wajib ditolak.
Terbukti, para peserta rembuk menilai peliputan dan siaran
live tetap harus dilakukan demi memenuhi hak publik akan informasi, namun
siaran itu harus dilakukan dengan wisdom
dan akal sehat untuk kemaslahatan publik. Misalnya siaran langsung
dari ruang sidang seyogianya hanya dilakukan saat pembacaan dakwaan,
pembacaan tuntutan, dan pembacaan putusan.
Peliputan saat tahap pemeriksaan bisa dilakukan melalui
liputan biasa atau reportase live dari luar ruang sidang. Dengan demikian,
meskipun majelis hakim mengizinkan stasiun televisi menggelar siaran langsung
selama proses persidangan berlangsung, keputusan stasiun televisi
menyelenggarakan siaran langsung atau live persidangan atau tidak live
sepenuhnya keputusan newsroom masing-masing.
Prof Bagir
mengingatkan dalam situasi turbulensi seperti sekarang, wisdom dari pers
sangatlah dibutuhkan. Independensi sangat membutuhkan akal sehat dan pers
harus berada paling depan untuk menggunakan akal sehat.
Intinya, para peserta yang merupakan petinggi newsroom
televisi bersepakat bahwa ajang curah pendapat merupakan manifestasi dari
komitmen dan ketaatan para jurnalis TV untuk menjalankan prinsip swaregulasi,
yakni masyarakat pers mengatur dirinya sendiri dengan menggunakan wisdom
(kebijaksanaan) yang sepenuhnya ditujukan untuk kemaslahatan publik dan
mencegah siaran yang berpotensi memicu konflik di kalangan masyarakat.
Misalnya di antara pengikut tokoh yang akan dihadirkan sebagai saksi atau
saksi ahli.
Bukan Fakta Belaka
Sebagian masyarakat memang menginginkan dapat menyaksikan
seluruh proses persidangan Ahok secara live di televisi. Apalagi, mereka
punya referensi bahwa telah ada proses persidangan secara utuh yang disiarkan
secara langsung oleh televisi beberapa waktu lalu.
Melalui platform petisi terbesar di dunia Change.org -
sejumlah orang mengajak untuk mendukung TV nasional bersiaran langsung sidang
Ahok, dengan alasan untuk menjaga kenetralan sidang. Namun, harus dipahami
bahwa yang berhak mengatur dan mengendalikan sebuah persidangan adalah
majelis hakim, termasuk mengizinkan siaran langsung atau tidak proses
persidangan yang dipimpinnya.
Berdasarkan curah pendapat, Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) menggarisbawahi: Pertama, kebebasan pers menjadi tanggung
jawab dan tugas semua pihak untuk menjalankannya, tidak ada alasan untuk
menghalangi atau melarang kerja jurnalistik, karena itu bertentangan dengan
UU Pers.
Kedua, publik memiliki hak untuk mendapatkan informasi
seluas-luasnya, dan kewajiban pers untuk memenuhinya. Ketiga, pers memiliki
kewajiban untuk melindungi publik dari bias informasi, menyajikan content
pers yang berdampak baik bagi publik, dan tidak membuat keresahan.
Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam The Elements of
Journalism mengingatkan bahwa kesetiaan pada kebenaran yang akan membedakan
wartawan dan juru penerang atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada
setiap orang.
Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda
atau menyebarkan kebencian. Tapi, jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang
sama.
Keempat, wisdom dan akan sehat menjadi rujukan utama dalam
menyajikan content berita yang bertanggung jawab sesuai dengan kode etika jurnalistik,
P3SPS, dan perundangan yang berlaku. Dalam konteks ini, Bill Kovach dan Tom
Rosentiel dalam Blur mengatakan jurnalisme sangat cocok memainkan peran
penuntun akal (sense maker) untuk meletakkan informasi pada konteks, bukan
sekadar menyajikan fakta belaka di tengah pasokan informasi yang melimpah.
Pada akhirnya, kata kepentingan publik menjadi hal teramat
penting untuk dicerna secara jernih dan cerdas untuk menerapkannya. Saya
belajar dari beberapa peserta rembuk yang mengatakan.. "Apa yang mereka
sajikan di layar, bukan sekadar untuk menyajikan fakta belaka, apalagi untuk
sekadar rating dan share sebuah tayangan... " Mereka menyadari apa yang
tampil di layar akan berdampak dan berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat"... apa lagi yang akan kita curigai? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar