Aktualisasi
Keteladanan Nabi
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen
Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
|
KORAN SINDO, 10 Desember
2016
NABI Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang “dilantik”
Allah SWT menjadi rasul-Nya untuk menjadi teladan terbaik (role model) bagi
kehidupan manusia. Dalam memaknai
maulid (hari kelahiran) beliau,
yang terpenting bukan upacaranya karena itu hanya “bungkus” belaka, melainkan
spirit dan substansi pencerahan moral, mental, dan spiritual beliau sebagai
pemimpin teladan sepanjang masa.
Memperingati maulid Nabi juga bukan untuk mengultuskan
beliau, karena pengultusan itu dilarang, melainkan menumbuhkan rasa cinta
kepadanya dalam rangka meneguhkan spirit dan komitmen spiritual. Dengan cinta
Nabi, umat Islam memiliki apresiasi tinggi untuk selalu meneladani dan
memperjuangkan visi dan misi profetiknya, yaitu membumikan Islam rahmatan lil
rahmatan lil alamin (Islam sebagai rahmat bagi semesta raya).
Agenda utama kenabiannya adalah meluruskan akidah
masyarakatnya yang rusak dan memperbaiki akhlak kaumnya yang sudah biadab.
Keteladanan profetik Nabi dapat ditelusuri dari sirah
beliau (perjalanan hidup dan rekam jejaknya), sejak lahir hingga diangkat
menjadi nabi dan rasul. Sebagai pemimpin umat dan dunia, jejak rekam moral
beliau sangat jelas.
Sejak kecil, Nabi dikenal sebagai pribadi jujur, bersih,
sederhana, pemberani, dan berhati mulia. Beliau mampu menjaga kehormatan
dirinya di tengah arus budaya jahiliah yang membiadabkan tatanan kehidupan
masyarakat saat itu.
Substansi maulid Nabi adalah kelahiran seorang pemimpin
pembangun peradaban, bukan sekadar pembangun masyarakat dan bangsa.
Keteladanan profetik beliau dalam membangun peradaban sungguh relevan
diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di saat bangsa dan
masyarakat dunia pada umumnya mengalami krisis keteladanan.
Sebagai warga bangsa, kita merasa prihatin karena banyak
dari anggota legislatif maupun eksekutif yang miskin keteladanan dan
prestasi, tetapi kaya intrik politik dan keserakahan. Lalu, bagaimana umat
dan warga bangsa ini mengaktualisasikan keteladanan profetik beliau dalam
kehidupan?
Kesalehan Multidimensi
Setidaknya, ada empat kesalehan yang perlu dimiliki dan
dikembangkan warga bangsa ini agar bisa meneladani keluhuran akhlak beliau.
Pertama, kesalehan niat (shalih an-niyyat). Dalam bahasa psikologi dan
politik, kita perlu memiliki kemauan kuat untuk mencontoh dan mengikuti
mindset (pola pikir), pola komunikasi, pola sikap dan perbuatan, dan pola
hidup beliau.
Kedua, kesalehan dalam mematuhi aturan hukum (shalih as-syarishalih as-syariat).
Beliau tidak pernah “menelan ludahnya” sendiri. Apa yang telah ditetapkan ditaatinya,
bahkan beliaulah yang terdepan dalam memberi contoh penegakan hukum.
Sedemikian hebat ketaatannya, sehingga beliau memberi “keteladanan plus” yang
melebihi apa yang dibebankan kepada umatnya.
Ketiga, kesalehan dalam mencapai tujuan yang baik dan
benar (shalih al-ghayat). Ketika hendak berhijrah dari Mekkah ke Madinah,
beliau mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa “Kinerja itu ditentukan oleh
niatnya. Siapa yang tujuan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya itu menuju jalan Allah dan Rasul-Nya.
Siapa yang berhijrah karena hendak men-dapatkan perempuan
untuk dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya sebatas mendapatkan apa yang
ditujunya.” (HR Bukhari dan Muslim). Korupsi yang masih mewabah di negeri ini
boleh jadi disebabkan oleh tujuan yang keliru dari para “petualang politik”.
Keempat, kesalehan dalam mengikuti prosedur dan mekanisme
yang benar (shalih al-kaifiyyat wal ijrawal ijraat). Banyak orang mengambil
jalan pintas karena tidak saleh dalam mengikuti prosedur dan mekanisme yang
benar.
Mereka tidak sabar untuk cepat-cepat menjadi kaya,
meskipun mekanisme yang ditempuh itu menghalalkan segala cara. Mereka tidak
tahan “menderita” di luar pemerintahan, sehingga begitu berkuasa, nafsu
serakahnya dilampiaskan dengan berlomba-lomba korupsi.
Aktualisasi keteladanan profetik mengharuskan kita belajar
menjadi saleh multidimensi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Kita merindukan teladan kehidupan sejati dari Nabi.
Dalam The Art of Leadership karya Muhammad Fathi (2009)
dijelaskan bahwa dalam waktu yang sangat singkat, 23 tahun (13 tahun di
Mekkah dan 10 tahun di Madinah), beliau sukses mengubah masyarakat jahiliah
menjadi masyarakat yang cerdas secara mental-spiritual, dari masyarakat
paganisme yang primitif menjadi komunitas bertauhid yang madani.
Beliau juga berhasil mengubah masyarakat berkarakter kasar
dan bengis menjadi berkarakter santun dan beradab. Dari masyarakat yang tidak
dikenal oleh peradaban, beliau mampu menjadikan umatnya memimpin peradaban.
Rahasia di balik semua itu adalah kepemimpinan profetik
beliau yang jujur, amanah, tabligh (komunikatif dan transparan), dan fathanah
(cerdas dan profesional) sekaligus visi kenabiannya yang mulia, yaitu
mewujudkan Islam sebagai agama rahmat dan cinta kasih bagi semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar