Hijrah
dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya Muhbib
Abdul Wahab : Dosen
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sekretaris Lembaga Pengembangan
Pesantren PP Muhammadiyah |
MEDIA INDONESIA, 29 Juli 2022
Baru-baru ini
Presiden Amerika Serikat Joe Biden melakukan lawatan empat hari (13-16 Juli)
ke Timur Tengah. Ia mengunjungi Israel, Otoritas Palestina di Ramallah (Tepi
Barat), dan Arab Saudi. Di Jeddah, Arab Saudi, selain bertemu Raja Salman
bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Biden juga mengadakan
konferensi tingkat tinggi dengan enam negara Arab Teluk (Saudi, Oman, Uni
Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Kuwait) plus Mesir, Jordania, dan Irak.
Lawatan ini tak terlepas dari dinamika dalam dan luar negeri yang dihadapi
pemerintahan Biden akibat perang Rusia-Ukraina. Merosotnya popularitas Biden Dalam jajak pendapat terbaru yang dirilis pada 11
Juli lalu oleh Siena College-New York Times, ditemukan keseluruhan rating
approval Biden berada di level 33 persen, yang menunjukkan sebagian pemilihnya
dalam pemilihan presiden 2020 telah meninggalkannya. Ini akan berdampak pada
pemilihan sela (midterm election) pada 8 November mendatang. Midterm election bisa dikata merupakan referendum
terhadap kinerja pemerintahan AS dalam dua tahun terakhir. Realitas ini telah
menimbulkan pesimisme di kalangan Demokrat, partainya Biden, akan masa depan
politik presiden sehingga hanya 26 persen pendukung Demokrat yang
menginginkan ia dicalonkan kembali dalam pilpres 2024. Merosotnya popularitas Biden tak lepas dari inflasi
di AS yang mencapai angka tertinggi (hampir 10 persen) dalam 40 tahun
terakhir dan meroketnya harga gas di sana akibat perang Ukraina. Di luar itu,
kebijakan Biden yang ingin memulihkan kesepakatan nuklir Iran—dikenal dengan
nama resmi Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA)—mendapat resistansi dari
lobi Yahudi, Israel, Saudi, dan UEA. Padahal, Biden memerlukan dukungan
mereka dalam menjawab tantangan politik dan ekonomi internal. Tak heran, ketika di Israel, Biden menandatangani
kesepakatan militer dengan Israel yang siap menyerang instalasi nuklir Iran
apabila JCPOA tak dapat dipulihkan akibat tuntutan Iran ”tidak realistis”.
JCPOA dicapai pada 2015 antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB
plus Jerman. Perjanjian ini mengharuskan negara mullah itu membatasi program
nuklirnya hanya untuk keperluan sipil. Sebagai imbalan, Teheran diizinkan
mengekspor minyak dan gasnya ke pasar global. Namun, pada 2018, Presiden Donald Trump mundur dari
kesepakatan yang diikuti dengan sejumlah sanksi keras sebagai bentuk tekanan
maksimum untuk melumpuhkan ekonomi Iran. Tujuannya, memaksa Iran merundingkan
kembali JCPOA yang dipandang Trump terlalu menguntungkan Iran. Tindakan Trump disambut Israel, Saudi, dan UEA.
Bagaimanapun, tekanan Trump gagal total. Bukannya tunduk pada tuntutan Trump,
Iran malah meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen, yang hanya
memerlukan sedikit langkah untuk memperkaya hingga 90 persen yang dibutuhkan
untuk membuat bom nuklir. Belakangan, Teheran malah mencopot 27 kamera
pengawas nuklir PBB (IAEA) yang memonitor aktivitas nuklirnya. Sebelumnya,
terjadi serangan terhadap tanker-tanker internasional di dekat Teluk dan
instalasi minyak Saudi yang diduga kuat dilakukan Iran. Semua bertujuan
meningkatkan bargaining power Iran vis a vis AS. Perseteruan dengan Iran yang
mengganggu keamanan keseluruhan Timur Tengah di saat AS fokus kepada kawasan
Indo-Pasifik menghadapi China dipandang merugikan kepentingan AS. Maka, sejak April tahun lalu, Iran diajak berunding
secara langsung dengan lima negara penanda tangan JCPOA (Rusia, China,
Inggris, Perancis, dan Jerman) dan beruding tidak langsug dengan AS di
Vienna. Sebagian besar isu yang dirundingkan telah mencapai hasil yang
diharapkan. Namun, perundingan macet karena AS tidak bersedia
mengeluarkan pasukan elite Iran, Quds, yang merupakan bagian dari Korps Garda
Revolusi Islam, dari daftar teroris. Quds adalah entitas yang diserahi
tanggung jawab membentuk milisi-milisi Syiah di sejumlah negara Arab sebagai
proksi Iran. Hal ini telah menimbulkan keprihatian di kalangan politisi AS,
lobi Yahudi, Israel, dan negara-negara Arab. Kendati perundingan macet, Biden masih berkomitmen
memulihkan JCPOA yang ditentang sekutu AS di Timur Tengah. Maka, kunjungan
Biden ke Israel yang diikuti komitmen menyerang Iran apabila usaha diplomasi
gagal bertujuan meredakan ketegangan hubungan AS-Israel, menyenangkan lobi
Yahudi, dan hawkish anti-Iran di tubuh Demokrat dan Republik. Juga untuk
menenangkan Saudi dan UEA khususnya, yang hari ini peran mereka sangat
strategis untuk menurunkan harga energi dunia. Bahkan untuk itu, Biden terpaksa menemui penguasa de
facto Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang ketika
kampanye dulu Biden berjanji akan menjadikan Saudi sebagai negara paria. Dan
memang sebelum perang Ukraina, Biden menolak berhubungan dengan MBS. Maklum,
badan intelijen AS menyatakan MBS adalah otak pembunuhan jurnalis senior
Saudi, Jamal Khashoggi, di Konsulat Saudi di Istanbul pada 2018. Kendati
mengaku para pelaku pembunuhan berada di bawah tanggung jawabnya, MBS
menyatakan sama sekali tidak memerintahkan aksi keji itu. Biden bahkan tidak hanya bersalaman dengan MBS,
tetapi juga mengumumkan penarikan pasukan perdamaian AS dari Pulau Tiran di
Laut Merah pada akhir tahun ini setelah diplomasi senyap selama
berbulan-bulan. Dan mentransfer area yang dulu mencetuskan perang-perang
menjadi tempat pembangunan pariwisata dan ekonomi masa depan. Mesir menyerahkan dua pulau kecil Tiran dan Sanafir,
yang tidak berpenghuni tetapi memiliki nilai strategis, kepada Saudi pada
2016. Akan tetapi, status teritorinya masih perlu diratifikasi oleh Israel
sebelum kedaulatannya dipindahkan. Penyerahan pulau-pulau ini kepada Saudi
akan membuka akses kontak langsung Israel-Saudi karena pulau-pulau itu
merupakan satu-satunya akses Israel ke Laut Merah. Persetujuan dari Israel
ini tampaknya merupakan barter setelah Saudi mengumumkan kebebasan Israel
menggunakan langitnya bagi pesawat sipil yang terbang dari dan ke Israel. Ada lagi yang dilakukan Biden dalam rangka menarik
simpati masyarakat Arab dan menenangkan sekutunya di sana. Pertama, dengan
mengunjungi Presiden Otoritas Palestina Mamoud Abbas di Ramallah, disertai
penegasan AS mendukung solusi dua negara dan menyejahterakan rakyat Palestina. Mengunjungi Abbas juga penting saat legitimasinya
merosot akibat mandeknya proses perdamaian dan meningkatnya dukungan rakyat
Palestina pada Hamas. Kedua, Biden menyatakan AS tidak akan meninggalkan
Timur Tengah dan berkomitmen menjaga keamanan dan integritas teritori mereka
dari gangguan Rusia, China, atau Iran. Dampak perang Ukraina Kedatangan dan pertemuan Biden dengan MBS tak lepas
dari dampak perang Ukraina. Pengurangan besar-besaran impor minyak dan gas
dari Rusia ke Eropa telah menyebabkan krisis energi di kawasan itu, bahkan
juga di AS, yang memicu inflasi tinggi. Krisis energi, bersamaan dengan
krisis pangan dunia, ke depan bisa jadi lebih parah karena Rusia tampak lebih
siap memikul beban perang dibandingkan negara-negara Eropa. Tampak NATO pimpinan AS telah salah perhitungan
tentang kemampuan perang Rusia dan hasil perang itu sendiri. Sanksi ekonomi
sangat keras NATO terhadap Rusia untuk menguras kemampuan perangnya ternyata
justru lebih memukul ekonomi Eropa, AS, dan banyak negara di dunia.
Sebaliknya, kendati inflasinya juga tinggi, Rusia tak mengalami krisis energi
ataupun pangan. Berkat pemborongan energi Rusia oleh China dan India, serta
kewajiban Eropa membayar energi Rusia dengan mata uang rubel, ekonomi Rusia
relatif aman. Yang repot justru Eropa. Para pemimpin Eropa
berdatangan ke Qatar, UEA, ataupun Saudi untuk meminta mereka memompa gas dan
minyak lebih banyak ke pasar Eropa untuk mengatasi krisis energi. Namun,
mereka menemukan sambutan dingin kerajaan-kerajaan Arab ini. Masalahnya,
mereka tergabung dengan OPEC+, di mana Rusia adalah anggotanya, yang
sebelumnya telah menetapkan pagu produksi. Lebih jauh, mereka ingin mendapatkan pemasukan yang
lebih besar dari tingginya harga energi dunia dan menjaga hubungan baik
dengan Rusia yang tetap mendukung perang aliansi Arab pimpinan Saudi melawan
milisi Houthi dukungan Iran di Yaman saat pemerintahan AS di bawah Biden tak
lagi mendukung perang berkelanjutan. Negara-negara Arab ini juga mendukung
sistem multipolar dunia. Apakah misi Biden berhasil? Qatar dan UEA tak dapat
memenuhi harapan Biden karena kapasitas produksi energi mereka telah mencapai
level maksimum dan terikat kontrak dengan negara langganan. Akan tetapi,
Saudi bersedia memompa minyaknya lebih banyak hingga mencapai 13 juta barel
sehari dari 11 juta barel hari ini. Namun, hal itu baru bisa direalisasikan pada bulan
depan setelah OPEC+ melakukan sidang untuk menetapkan pagu produksi dan harga
baru. Kendati sampai tingkat tertentu lawatan itu berhasil, Biden
meningkatkan ketegangan dengan Iran, mengecewakan rakyat Palestina karena
tidak menawarkan konsep perdamaian, tidak mengubah kondisi perang Ukraina,
dan mengecewakan aktivis HAM dalam negeri karena merangkul MBS. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/27/dinamika-politik-internal-dan-eksternal-membawa-biden-ke-timur-tengah |