Kamis, 07 Oktober 2021

 

Indonesia dan Narasi Asia

Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Ekonom Senior Indef, Deputi Pembangunan Ekonomi Sekretariat Wakil Presiden RI

KOMPAS, 29 September 2021

 

 

                                                           

Data menarik ini tidak banyak diketahui publik. Pada 1700-1850, kontribusi Asia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia nyaris mencapai 60 persen. Setelah itu perekonomian Asia terus melemah dan puncaknya terjadi pada 1950 ketika donasinya cuma tinggal 15 persen terhadap ekonomi global.

 

Usai tempo itu, aktivitas ekonomi Asia secara perlahan mulai menggelembung lagi. Saat ini angkanya telah mendekati 40 persen, persis kembali ke masa dekade 1850-an. Proyeksi berikutnya, pada 2050 kontribusi ekonomi Asia akan menuju periode emas tersebut (abad 18-19), di mana sumbangannya terhadap perekonomian dunia mencapai 52 persen (Azis, 2021).

 

Mencermati perkembangan mutakhir rasanya kalkulasi itu akan menjadi kenyataan, karena perekonomian Tiongkok, Jepang, India, Korsel, dan Indonesia terus merangsek secara meyakinkan meninggalkan pertumbuhan ekonomi AS dan negara Eropa lainnya. Pendeknya, saat ini merupakan abad Asia, di mana Indonesia merupakan salah satu pemain vital.

 

Geoekonomi politik global

 

Penemuan mesin uap dan listrik menjadi arang pembakar bergeliatnya revolusi industri. Pembabakan masa revolusi industri memang tidak terlalu jelas, karena banyak sumber yang memberikan periodesasi berbeda. Namun, zaman itu kurang lebih di antara tahun 1750 – 1850.

 

Bermula dari Inggris Raya, revolusi industri lantas menyebar ke seantero Eropa via eksekusi mekanisasi pabrik, misalnya industri tekstil. Proses itu diperdalam lewat pembuatan infrastruktur perdagangan, seperti rel kereta api, agar produksi mudah ditransaksikan, bahkan antarnegara (Haradhan, 2019).

 

Pendalaman kapitalisme, yang oleh Wallerstein (2000) dinukilkan bermula sejak 1450, merupakan penyangga pokok dari revolusi industri tersebut. Proses evolusi inilah yang menjadi penanda kapitalisme modern dan sumber pertumbuhan ekonomi di negara Eropa. Pendapatan ekonomi negara (PDB) melesat berkat mekanisasi, pasar (bebas), dan pengenalan sistem kontrak. Hak kepemilikan privat juga diperkenalkan secara massif.

 

Sejarah revolusi industri bertepatan dengan pudarnya Asia dalam perekonomian karena tekanan Eropa. Secara perlahan perekonomian di wilayah tersebut mengambil alih Asia yang tertatih berhadapan dengan perkembangan teknologi dan mekanisasi. Jadi, revolusi industri bukan hanya simbolisasi atas penggunaan mesin produksi, namun juga bahan baku pengetahuan yang menjadi sumbu inovasi.

 

Di Inggris, misalnya, pada 1660 telah didirikan “The Royal Society of England” (royalsociety.org). Lembaga yang sama ditegakkan pula di Perancis. Institut semacam itu yang memberi pengaruh besar terhadap percepatan pembangunan ekonomi.

 

Riset menjadi tulang punggung inovasi dan identitas kebaruan ekonomi di negara Eropa (dan belakangan AS). Hal itu masih ditambah dengan maraknya pembukaan kampus (sebagian bahkan berdiri sebelum masa 1750) sebagai mata air peradaban. Pengetahuan dan perekonomian menyatu dalam dua sisi mata uang.

 

Puncaknya adalah kemenangan Blok Barat (AS dan Eropa Barat) berhadapan dengan Blok Timur (yang dipimpin oleh Uni Soviet) saat perang Dunia II. Masa itu tidak hanya distempel oleh hegemoni politik yang makin kukuh oleh Blok Barat, namun juga sidik jari keunggulan ekonomi pasar (kapitalisme) yang disokong oleh pemanfaatan pengetahuan, teknologi, dan mekanisme pasar.

 

Sejak itu pula didirikan tiga lembaga multilateral yang menjadi promotor liberalisasi, yakni World Bank, IMF, dan GATT/WTO (Kloby, 1997). Ideologi pertumbuhan ekonomi berbasis pasar menjadi kampiun pengelolaan ekonomi, termasuk proyek liberalisasi.

 

Teori tahapan pembangunan (Rostow), konsep pertumbuhan ekonomi beralas tabungan-investasi (Harrod-Domar), big-push theory (Rosenstein-Rodan), dan model akumulasi modal (Joan Robinson) menjadi berhala pembangunan ekonomi. Teori para ekonom pembangunan itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Asia.

 

Empat penopang Asia

 

Di luar Jepang, sejak dekade 1990-an banyak negara Asia yang telah bangkit mengejar ketertinggalannya. Singapura, Taiwan, Hong Kong, dan Korsel dikenal sebagai Macan Asia yang mengaum di pentas global. Korsel (yang berbeda selisih hari kemerdekaannya dari Indonesia) secara konsisten menjadi negara industri yang amat tangguh bersamaan investasi manusia sejak 1970-an.

 

Industri elektronika dan otomotif merupakan salah satu kisah Korsel, persis mengikuti yang pernah dilakukan Jepang. Setelah itu Tiongkok melaju dan Indonesia sendiri pasca-krisis 1997/1998 terus berbenah menuju trayek stabilitas ekonomi sekitar 2005.

 

Tiongkok menjadi negara pengolah banyak produk (broad-based) tanpa melupakan industri teknologi menengah-tinggi. Singkatnya, sejarah keberhasilan Asia (Timur) jamaknya ditopang oleh empat hal: memanfaatkan krisis negara maju, berselancar di atas gelombang globalisasi, penguatan basis ekonomi, dan menyokong nasionalisme domestik.

 

Fenomena negara industri baru di Asia Timur itu sebetulnya keluar dari pakem kapitalisme global yang menempatkan negara berkembang (terbelakang) sebagai pasar barang (olahan/jasa) negara maju. Demikian pula, pola ini berpunggungan dengan teori dependensia yang menganggap selamanya negara terbelakang menjadi pinggiran: terbelit dari negara maju dalam relasi yang asimetris.

 

Ternyata, dalam perjalanannya negara berkembang tidak selalu menjadi “getah ekonomi” dari negara mapan dalam merancang pembangunan. Bahkan, mereka memberikan pukulan ekonomi yang keras kepada negara maju dalam perdagangan internasional (Jepang, Korsel, dan Tiongkok).

 

Tiongkok sejak 2010 menjadi eksportir terbesar dunia, mengambil alih posisi Jerman. Penguasaan pengetahuan/teknologi dan adopsi ekonomi pasar (tanpa melupakan peran pemerintah yang efektif) menjadi kata kunci kemajuan perekonomian negara Asia Timur. Inilah narasi yang diusung Asia.

 

Berikutnya, sampai 2030 setidaknya akan ada lima perkembangan global. Pertama, tidak lama lagi Tiongkok akan menjadi negara dengan ukuran ekonomi terbesar dunia. Ekonomi (PDB) akan dikuasai oleh 5 negara pada 2030: Tiongkok, AS, Jepang, India, dan Jerman.

 

Kedua, AS dan beberapa negara Eropa lebih banyak memakai instrumen politik (dan militer) dan lembaga multilateral (Bank Dunia, IMF) sebagai daya gugah ekonomi di fora internasional. Jumlah penduduk negara maju menyusut pula sehingga makin sulit menambah bobot perekonomian.

 

Ketiga, tiga isu pokok menjadi pusat pertempuran: demokrasi, globalisasi, dan digitalisasi. Seluruh negara akan berperang memenangkan tiga laga tersebut. Keempat, terjadi persaingan sengit antara uang konvensional dengan digital (cryptocurrency). Uang digital akan segera diakui oleh otoritas. Kelima, kawasan Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin belum memberikan gebrakan besar perekonomian dunia. Mereka akan menyodok setelah 2035.

 

Instabilitas perekonomian

 

Indonesia sampai 1960 masih menjadi negara paria dunia. Pada saat yang sama Tiongkok telah berada di posisi keempat ukuran ekonomi terbesar global, setelah AS, Inggris, dan Perancis. Baru pada 1979 pertama kalinya ekonomi Indonesia masuk peringkat 20 dunia. Itu pun tidak selalu konsisten dipertahankan karena setelah 1987 Indonesia terlempar dari jajaran 20 besar.

 

Baru pada 1997 Indonesia kembali masuk “kasta 20 besar dunia”, tetapi naasnya pada tahun berikutnya (1998) jatuh lagi (akibat krisis moneter). Peringkat Indonesia menyembul lagi pada 2008 (10 tahun pasca-krisis) dan terus merangkak perlahan sampai urutan 16 pada 2020.

 

Tiongkok sendiri setelah periode 1960 mengalami kemerosotan ekonomi hingga jatuh ke posisi 11 pada 1979. Usai itu posisinya terus meroket hingga pada 2010 menempati ranking 2 dunia (mengambil alih Jepang) sampai kini. Hal yang sama juga terjadi pada India, besaran ekonomi terus membusung ke posisi 6 (2020) [GoodStats, 2021].

 

Bisa dikatakan posisi Indonesia belum stabil seperti yang dicapai Tiongkok. Stabilitas ekonomi baru dialami sejak 2005, itu pun dengan pertumbuhan ekonomi yang punya kecenderungan menurun (akibat situasi dunia yang juga murung). Kondisi ekonomi Indonesia mirip Brazil yang pernah berada di posisi 7 dan sekarang turun ke peringkat 12.

 

Sebaliknya, sejak dekade 1980-an perekonomian Tiongkok tidak goyah sehingga ukuran ekonominya terus membesar. Pada 2020 Indonesia pertama kalinya menjadi negara pendapatan menengah-atas. Namun, akibat dihajar pandemi posisi itu tidak dapat dipertahankan pada 2021. Perekonomian minimal harus tumbuh 5% agar pendapatan bisa kembali seperti situasi sebelum pandemi.

 

Jika perbaikan sekarang bisa dipertahankan, maka pada 2022 pendapatan menengah-atas itu bisa direbut lagi. Awalnya, Indonesia diprediksi pada 2030 akan bisa menempati peringkat 7 dunia, namun variabel pandemi menyebabkan kesukaran menggapai target tersebut.

 

Sungguh pun begitu, posisi tawar Indonesia di fora internasional tetap kuat karena beberapa hal. Pertama, sekitar 20% warga negara lapis paling atas memiliki pendapatan per kapita rata-rata sekitar 10.000 dolar AS (hampir setara pendapatan per kapita Malaysia). Jumlah penduduk ini sekitar 55 - 60 juta (2 kali populasi Malaysia). Mereka bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.

 

Kedua, infrastruktur yang dibangun secara konsisten selama 7 tahun terakhir bakal menggelindingkan perputaran ekonomi yang gegas di masa depan. Investasi di Indonesia makin menggoda, baik PMDN maupun PMA. Salah satu buktinya, saat pandemi menghajar kinerja investasi masih tumbuh berdasarkan data BKPM (2021).

 

Ketiga, Indonesia akan menikmati dividen/bonus demografi sekurangnya sampai 2030 – 2035. Kelompok usia produktif ini, ditambah tingkat pendidikan dan akses teknologi yang kian bagus, menjadi lokomotif perekonomian berbasis nilai tambah.

 

Proposal Indonesia

 

Mencermati pencapaian yang dilakukan oleh negara-negara Asia (Timur) di atas, perubahan dan perkembangan ekonomi nasional juga mesti mendasarkan beberapa syarat pokok tersebut, meski tentu saja diperlukan adaptasi sesuai karakteristik ekonomi domestik.

 

Proposal trimatra pembangunan yang mesti dikawal dengan sungguh-sungguh ialah: literasi teknologi, inklusi investasi, dan demokrasi ekonomi. Jepang, Korsel, Singapura, Taiwan Hong Kong, dan Tiongkok kemajuannya dihela oleh pengetahuan dan teknologi. Korsel mengurus pendidikan secara serius sejak dekade 1970-an dan Tiongkok mengirim para mahasiswa ke negara-negara maju sejak dekade 1990-an.

 

Literasi menjadi kata kunci pengembangan produk olahan yang memiliki nilai tambah. Jepang, Singapura, Korsel, dan Tiongkok memiliki kampus dengan mutu terbaik (masuk 25 terbaik dunia). Pengetahuan yang direlasikan dengan dunia usaha (industri) menjadi daya ledak Asia yang melantakkan dominasi negara maju.

 

Pekerjaan rumah inklusi investasi adalah memastikan watak penanaman modal yang bertumpu kepada lima ciri: partisipasi, ekologi, teknologi, stabilisasi, dan kontinuitas. Partisipasi dan ekologi merupakan sayap pemerataan investasi. Sementara itu teknologi, stabilisasi, dan kontinuitas ialah sayap pertumbuhan investasi. Kedua sayap itu yang akan menerbangkan perekonomian.

 

Pada ujungnya, perekonomian akan kehilangan marwah bila kian menjauh dari amalan demokrasi ekonomi. Ini bukan semata diktum konstitusi, namun lokus kesejatian ekonomi. Perkara genting nasional adalah membagi alat-alat produksi sehingga rakyat punya nadi dan energi masuk ke arena ekonomi (pemerataan menjadi konsensus suci).

 

Pada level domestik rute paling mudah yang bisa ditempuh ialah mengarusutamakan koperasi/UMKM dan pelaku usaha di sektor basis (petani, peternak, pekebun, nelayan). Soalnya di sini bukan semata menata batu bata kebijakan, namun nyali menggali sumur keberpihakan.

 

Selebihnya, separuh urusan ekonomi berkutat perkara basis produksi. Pembesaran ekonomi sebagian besar terbuka dari pintu investasi. Pemerintah tentu saja perlu memahami perubahan lanskap ekonomi yang memengaruhi karakteristik investasi.

 

Pertama, investasi akan makin pekat modal dan teknologi sehingga kebutuhan tenaga terampil menjadi keniscayaan. Kedua, investasi domestik fokus kepada penguatan daya saing agar bisa menaklukkan pasar internasional (yang makin tertutup). Ketiga, investasi di Indonesia Bagian Timur lebih mudah didongkrak setelah dibangun infrastruktur, sekaligus mengurangi tensi ketimpangan.

 

Keempat, penetrasi korporasi asing (PMA) yang berbasis teknologi informasi (digital) kian besar, sehingga negara seyogyanya menyusun regulasi yang sangkil dan mangkus. Kelima, pengusaha didominasi usia muda dengan pengetahuan dan akses informasi yang jembar. Literasi teknologi dan pemerataan akses digitalisasi menjadi tugas bangsa yang paling menantang. Indonesia mesti menjadi salah satu penyuluh andal narasi Asia. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/29/indonesia-dan-narasi-asia/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar