Kamis, 09 September 2021

 

Buku-Buku yang Segera Hilang dari Sejarah

Iqbal Aji Daryono ;  Penulis, Tinggal di Bantul

DETIKNEWS, 7 September 2021

 

 

                                                           

"Bayangkan, Mas. Anak itu nongkrong di komunitas yang isinya orang-orang buku, mulai penerbit sampai reseller, tapi bahkan dia nggak tahu siapa itu Umar Kayam!"

 

Sambil mengucapkan kalimatnya, wajah kawan saya tersenyum kecut. Ada nada semacam "Kok bisa ya?" dalam kata-katanya. Saya menyambutnya dengan melongo, ikut-ikutan heran. Bukan cuma heran, bahkan terbetik rasa kecil yang aneh. Mirip tersinggung, meski tidak gitu-gitu amat.

 

***

 

Umar Kayam, bersama Kuntowijoyo dan Budi Darma, memang merupakan sosok-sosok yang mengantarkan saya untuk mengenal buku-buku bagus, pada zaman ketika saya masih unyu-unyu-nya. Begitu terkesannya saya kepada Para Priyayi, novel legendaris Umar Kayam, sama terkesannya dengan Dilarang Mencintai Bunga-bunga-nya Kuntowijoyo dan Olenka-nya Budi Darma.

 

Para Priyayi itu novel yang sangat menggambarkan alam pikiran kaum priayi alit Jawa yang "asli", serta konsep-konsep kamukten yang menjadi spirit gerak kehidupan mereka. Suka sekali saya mendengar nama tokoh Lantip di novel itu, sampai-sampai nama itu saya sematkan pada anak saya sendiri. Tanpa membaca novel itu, bahkan mungkin saya tak akan pernah punya imajinasi tentang bagaimana caranya meracik adegan-adegan di pos ronda, cerita yang sering muncul dalam tulisan-tulisan saya.

 

Maka, kok bisa ada orang kenal buku tapi tidak kenal Umar Kayam? Ini sungguh terlalu.

 

"Dia masuk kuliah angkatan 2016 sih, Mas," sambung Eka, kawan saya itu. "Dan jangan bayangkan anak-anak muda seangkatan mereka kenal Umar Kayam. Kuntowijoyo juga enggak. Bahkan banyak juga lho yang belum pernah baca Pram."

 

Waduh. Begitu muncul nama Pram, langsung saya teringat beberapa kawan yang bertanya di mana sekarang ini bisa membeli buku-buku Pram. Awalnya saya kira masih ada toko-toko daring yang menjualnya. Tapi begitu saya periksa langsung ke marketplace, mayoritas yang dipajang adalah versi bajakan!

 

Buku laris memang dibajak di mana-mana. Itu kita semua sudah tahu sama tahu. Tapi selain soal bajak-membajak, ada persoalan yang lebih mendasar, yaitu: di mana mau beli buku Pram yang asli alias ori? Untuk Tetralogi Pulau Buru sepertinya masih ada. Tapi Arok DedesArus Balik, juga yang lain-lain? Kalau toh ada yang ori di pedagang online, dapat dipastikan itu buku bekas saja, lagipula dijual dengan harga selangit.

 

Nah, masalah yang sama terjadi pula pada buku-buku Umar Kayam. Eka, kawan saya itu, adalah pemilik usaha penerbitan yang berhasil mendapatkan hak untuk menerbitkan salah satu karya Pak Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Tetapi Para Priyayi bernasib sama dengan Arus Balik dan Arok Dedes, yaitu orang tidak tahu ke mana harus beli buku barunya dengan harga wajar.

 

Akibatnya, tidak ada anak muda yang bisa mengakses buku-buku itu, selain dengan meminjam ke perpustakaan atau ke senior-senior mereka. Repotnya, mana ada senior yang mau meminjamkan buku-buku langka mereka? Itu pun kalau punya senior, sementara kebanyakan anak muda ogah punya senior.

 

Maka, sebenarnya yang paling memungkinkan adalah penerbitan kembali buku-buku penting tersebut. Agar bisa dijual dengan harga lumrah, agar anak-anak muda Indonesia mengenal para sastrawan hebat mereka.

 

Nah, sampai di sini mulai terkuaklah problem yang sesungguhnya. Hak penerbitan atas buku-buku hebat itu tentu berada di tangan ahli waris penulis-penulisnya. Sementara, para ahli waris belum bersedia melepas hak penerbitan itu. Kenapa? Dengar-dengar, ada pengalaman buruk bersama penerbit-penerbit sebelumnya. Saya juga tidak tahu seburuk apa pengalaman itu. Mungkin terkait hak atas royalti, atau entah apa.

Mentoklah semuanya. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Ujung-ujungnya kembali lagi berupa pertanyaan: lalu bagaimana caranya anak-anak muda bisa membaca karya-karya hebat itu tanpa harus membeli versi bajakannya?

 

Sampai di sini, saya langsung teringat kepada satu tempat mengadu selain Allah, yaitu pemerintah. Apakah pemerintah cukup memberikan perhatian kepada karya-karya penting itu, untuk orientasi persebaran akses dan memaksimalkan peluang bagi rakyat Indonesia untuk membaca semuanya?

 

Saya pun membuka ikon Ipusnas di HP saya. Di aplikasi milik Perpustakaan Nasional itu terpajang ribuan buku yang bisa dibaca gratis. Saya ketik kata kunci "Pramoedya" pada kolom pencarian koleksi. Segeralah nongol sederet judul, dan di item paling atas tampil dengan gagahnya nama Pramoedya Wisnu, dengan judul buku 99,9% Pasti Lolos CPNS.

 

Aduh. Saya tarik pandangan saya pelan-pelan ke bawah, lalu ketemu bahwa karya Pram yang ada di situ hanyalah Seri Kronik Revolusi Indonesia. Tidak ada Bumi Manusia, tidak ada Arus Balik, tidak ada Arok Dedes, tidak ada Gadis Pantai, tidak ada Cerita dari Blora, dan sebagainya.

 

Saya lanjutkan dengan mengetik kata kunci "Para Priyayi". Ajaib, ada empat item yang muncul, tidak ada satu pun milik Umar Kayam, sedangkan nama paling atas malah Para Pejuang Cinta sebagai penulis buku berjudul Perjuangan PDKT. Ya Tuhan....

 

Lalu, kembali dan kembali, dari mana anak-anak muda bisa membaca Pramoedya dan Umar Kayam? Atau jangan-jangan buku-buku itu sudah ada di sekolah-sekolah, dan karena itu tidak perlu harus repot-repot diadakan sebagai koleksi penting pada aplikasi milik Perpusnas?

 

Saya punya kenalan dua anak sangat muda yang belum lama lulus SMA. Yang pertama namanya Abita, yang kedua Deas. Saya kontak keduanya untuk bertanya tentang pelajaran yang mereka dapat waktu kemarin mereka masih SMA. Dari mereka saya mendapat cerita bahwa dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia tak pernah disebut-sebut nama Pramoedya. Yang ada adalah Andrea Hirata dan Tere Liye. Wah.

 

Segera terbayang di kepala saya akan nasib tumpukan magnum opus yang sangat mewarnai sejarah kesusastraan bahkan sejarah "peradaban" Indonesia, namun tak ada masa depan milik karya-karya itu. Pram dan Umar Kayam saya maksudkan sebagai contoh saja. Kita tahu, ada banyak karya hebat lainnya. Namun, semua karya itu pun sama belaka nasibnya. Di sekolah tidak diajarkan, di perpustakaan publik tidak disediakan (kalaulah disediakan secara fisik tentu jumlahnya sangat terbatas), sementara itu kalau mau memilikinya sendiri ternyata tidak ada juga di pasaran.

 

Jika problemnya adalah hak penerbitan yang masih ditahan oleh ahli waris, suatu hari kelak memang kita akan bisa mengaksesnya sebagai public domain. Kapan itu? Ya, 70 tahun setelah penulisnya meninggal. Umar Kayam meninggal pada 2002, Pram meninggal pada 2006. Artinya, pembaca Indonesia masih harus menunggu tahun 2072 atau 2076 dulu, atau kira-kira sebelas Pilpres lagi dan sebelas pertempuran keras para netizen lagi.

 

Atau, jika memungkinkan, bisakah pemerintah mengambil alih hak atas buku-buku penting itu, lalu menjadikannya sebagai semacam cagar budaya, yang bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran batin rakyat Indonesia? Kita cuma bisa bertanya-tanya.

 

***

 

"Om, eh, Mas, sampean baca Idrus enggak? Baca Marah Rusli dan Abdoel Moeis enggak?"

 

"Mmmm... enggak tuh, Dik," jawab saya.

 

"Nah, kira-kira seperti itu juga situasinya, Mas. Pak Pram pasti ngomel melihat sampean nggak baca Idrus. Padahal bagi Pak Pram, Idrus sangat penting."

"Oh. Lalu?"

 

"Bagi generasi sampean, Pak Pram itu penting. Bagi kami tidak terlalu. Kalau kami tidak baca Pram dan Umar Kayam, sepertinya nggak apa-apa juga, kan? Mending Boy Candra dan Fiersa Besari gitu lho hehehe."

 

"Waaah, ya ndak bisa gitu, Diiik! Bedaaaa!"

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5714007/buku-buku-yang-segera-hilang-dari-sejarah

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar