Selasa, 27 Maret 2018

Mengenalkan Kerja sejak Anak-Anak

Mengenalkan Kerja sejak Anak-Anak
Junaidi Abdul Munif  ;   Direktur el-Wahid Center Semarang
                                              MEDIA INDONESIA, 26 Maret 2018



                                                           
PADA 2030, kita akan mengalami puncak bonus demografi, yang usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia nonproduktif (0-14 dan di atas 64 tahun). Bonus demografi memberi dilema, sebagai anugerah atau beban. Menjadi anugerah manakala potensi itu dapat mendukung pembangunan di Indonesia dan akan menjadi beban jika mereka masih bergantung pada subsidi orang-orang usia produktif. Menimbang bahwa anak-anak di usia nonproduktif ialah anak-anak yang sedang mengenyam pendidikan formal, bagaimana pendidikan menyiapkan generasi muda untuk benar-benar siap menghadapi bonus demografi?

Pada 2016, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia sebesar 70% dari total populasi. Namun, kompetensi tenaga kerja kita masih rendah. Untuk itu, menurut Sri Moertiningsih Adioetomo, perlu bimbingan dari pertama kali mengenyam pendidikan untuk mempersiapkan penduduk usia produktif menuju dunia kerja. Hal ini penting agar selama bersekolah mereka paham tentang keahlian yang wajib dimiliki untuk masuk dunia kerja (lipi.go.id, 11/3/2016).

Di sisi lain, anak-anak usia belasan tahun kini hidup dalam konsumerisme yang berderap kencang. Mereka memiliki kebutuhan sendiri, misalnya untuk membeli pulsa/kuota internet. Pengguna internet dalam rentang usia 10-24 tahun sebanyak 24,4 juta (18,4%) dan dari jumlah itu, 8,3 juta merupakan pelajar. Kebutuhan sekunder-rekreatif lainnya juga semakin banyak dan akan menjadi beban orangtua jika anak-anak tidak dilatih produktif sejak dini.

Pendidikan sebagai harapan

Masyarakat menaruh harapan pada pendidikan (khususnya sekolah) untuk mengubah nasib. Bagi orang yang mampu, pendidikan lebih mudah untuk meningkatkan taraf hidup. Akses terhadap pendidikan yang berkualitas (mahal) lebih mudah. Sementara orang miskin akan tetap miskin. Pendidikan orang miskin sering tidak berhasil karena jebakan kemiskinan. Sebaliknya, mereka tetap miskin karena kurang berhasil dalam pendidikan (Johannes Muller, Prisma, Juli 1980).

Kurikulum yang diterapkan di tiap tingkatan sekolah tak selalu mengajarkan keterampilan kerja sejak usia dini. Hanya SMK yang mencoba mengenalkan dunia kerja meskipun hasilnya belum optimal. Di sekolah anak didik menjadi 'keranjang' yang bebas dimasuki bermacam-macam ilmu secara serempak. Ironisnya, anak didik malah menjadi 'keranjang sampah' karena ternyata banyak ilmu yang sebetulnya tak diperlukan dalam kehidupan mereka, tetapi tetap dilesakkan. Pengambangan ilmu yang tak jelas ini menjadi masalah serius ketika anak didik memasuki dunia produktif (kerja).

Konsentrasi ilmu yang akan digunakan sebagai keterampilan dan bekal untuk bekerja bisa dikatakan baru dimulai sejak kuliah. Namun, dalam waktu empat tahun--waktu rata-rata yang diperlukan untuk menempuh gelar sarjana--tentu sulit menyiapkan mahasiswa yang siap kerja. Inilah ironi dunia pendidikan tinggi ketika kampus sebagai wahana penggodokan intelektual hanya melahirkan lebih banyak para pengangguran.

'Penyiasatan' dengan mata kuliah kewirausahaan misalnya, dijalankan semata-mata untuk menampakkan kepedulian kampus akan nasib mahasiswanya, agar setelah lulus tak mendapat gelar 'pengangguran terdidik dan intelektual.' Sering kita dengar orang yang lulus kuliah bimbang akan apa yang akan mereka kerjakan. Ingin bekerja, tetapi tidak memiliki keterampilan yang mumpuni. Berniat melakukan wirausaha, tetapi bingung usaha apa dan bagaimana memulainya, serta modal dari mana. Sesungguhnya, pesantren relatif adaptif dalam menyikapi hal ini. Di pesantren agraris misalnya, beberapa santri juga mengurus sawah milik kiai. Di pesantren kota, santri membantu menjaga kantin, warung, toko milik kiai dan koperasi pesantren.

Namun, fenomena anak yang bekerja juga bisa menjadi dilema. Penelitian Indrasari Tjandraningsih dan Benjamin White (Prisma, Januari 1992) berdasarkan studi di Jawa Barat pada rentang 1988-1990, menemukan fakta menarik tentang pekerja anak-anak di industri kecil dan besar. Saat itu banyak anak putus sekolah memilih menjadi pekerja meskipun ada beberapa industri yang menyerap tenaga kerja anak-anak dengan mempertimbangkan jam sekolah. Problem pekerja anak menjadi masalah serius negara dunia ketiga. Brasil dan India misalnya, pernah mengalaminya, sehingga memaksa mereka menyusun strategi untuk menghadapi fenomena itu dengan melibatkan LSM dan masyarakat lokal.

Belajar pada tokoh

Belajar dari biografi tokoh besar dunia yang berjuang sejak kecil dapat menumbuhkan semangat kewirausahaan. Soicihiro Honda di masa kecilnya membantu ayahnya di bengkel sepeda. Inilah investasi yang sangat penting hingga dirinya membangun kerajaan Honda. Dunia kerja telah diakrabinya sejak mereka berusia di bawah sepuluh tahun sehingga saat mereka besar dan tumbuh dewasa, tinggal memanen hasil apa yang telah dipelajari dan diperjuangkan sejak kecil.

Thomas Alva Edison, di sela berjualan koran di kereta api, menjadikan salah satu gerbong sebagai labotarorium untuk belajar. Kini kita mengenalnya sebagai penemu paling produktif sepanjang zaman, yang telah mematenkan lebih dari seribu penemuannya. Nabi Muhammad SAW mengenal kerja sejak umur 8 tahun. Ia menjadi penggembala kambing milik pamannya. Beberapa tahun kemudian bekerja mengikuti pamannya berdagang ke negeri Syam. Modal inilah yang membentuk Rasulullah menjadi pekerja yang dipercaya (al amin) saat bekerja pada wanita kaya, Khadijah.

Anak-anak dengan kejernihan jiwa mereka, memiliki naluri pembelajar, keberanian mencoba, dan mengambil risiko yang bahkan ditakuti oleh orang dewasa sekalipun. Namun, kurikulum pendidikan di sekolah lebih sering justru menjadi alat pemasungan sistemik dan menjauhkan mereka dari pemahaman kerja. Hal ini diperparah dengan paradigma di masyarakat bahwa dunia anak ialah dunia sekolah dan belajar dan bekerja ialah dunia orangtua.

Kerja dan mencari uang, seolah ialah hukum alam yang terkait dengan usia. Benar adanya, bahwa tanpa dibekali 'pengalaman' kerja pun, saat anak tumbuh dewasa dan memiliki tanggung jawab ekonomis, secara naluriah mereka akan bisa kerja dengan sendirinya. Namun, cara pandang ini juga yang membuat kita mengafirmasi diktum 'kerja apa pun yang penting halal (baik).' Sebuah gambaran pragmatis tentang bekerja yang semata-mata bertumpu upah. Padahal, zaman sekarang banyak pekerjaan tidak biasa yang bertumpu pada kreativitas. Seyogianya pendidikan menangkap gejala ini untuk menyusun kurikulum yang menggenjot kreativitas anak.

Seseorang akan rugi jika dunia kerja tak dikenal sejak kecil. Saat menjadi anak-anak ialah usia dengan potensi besar, pikiran masih jernih dan mudah menangkap apa yang disampaikan kepada mereka, baik itu informasi maupun pengalaman-pengalaman hidupnya.

Orang tua laik berperan sebagai supervisor, pengawas yang mampu memunculkan semangat dan kreativitas anak. Mengenalkan kerja pada anak sejak dini, selain memacu kreativitas, ialah juga membentuk mentalitas memeras keringat. Dalam kerja ada pembelajaran tentang tanggung jawab pada tugas kerja, komitmen sebagai atasan dan karyawan, berikut target-target yang hendak dicapai. Ketika anak tumbuh dewasa, dia sudah tahu akan ke mana mengarahkan tujuan hidupnya. Memilih bekerja atau berwirausaha, karena mereka siap dengan keduanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar