Senin, 26 Maret 2018

Keterlibatan TNI Tangani Terorisme

Keterlibatan TNI Tangani Terorisme
Al Chaidar  ;   Program Studi Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
                                                        KOMPAS, 26 Maret 2018



                                                           
Wacana revisi UU Antiteror sudah lama bergulir, sejak 2003 hingga kini masih terus jadi perdebatan. Undang-Undang Antiteror yang lama (UU Nomor 15/2003) dinilai sudah usang, sementara aksi terorisme semakin canggih dan masif. Jika dulu terorisme sering hanya dikaitkan dengan peledakan bom, sekarang kejahatan ideologis terorganisasi ini muncul dalam berbagai cara (modus) yang mungkin—dengan sasaran yang semakin konvergen, dan pelaku yang direkrut dari berbagai kalangan dengan latar belakang usia—okupasi dan jender yang beragam.

Jika dulu target serangan pada pusat-pusat kemajuan kapitalisme dan lokasi di mana liberalisme bersemi, sekarang lebih konvergen ke satu institusi, yaitu kepolisian. Di masa depan, tak tertutup kemungkinan target serangan teroris akan mengarah ke pelbagai institusi lain yang dianggap sebagai thogut (musuh). Institusi militer akan menjadi incaran juga dan selama ini para teroris sudah memulai membuat rencana (plot) yang mengarah ke tentara. Institusi sipil pun tak luput dari jangkauan target para teroris, khususnya di Indonesia.

Kemajuan kelompok-kelompok teroris di Indonesia menyebar hingga ke beberapa provinsi. Setidaknya ada 16 provinsi yang menjadi tempat (save houses) bagi sel-sel teroris. Perkembangan ini tentu sangat mengancam keamanan dan keberlangsungan kehidupan bersama dan kedamaian masyarakat yang selama ini sudah terjaga. Ancaman ini mengharuskan pemerintah bertindak cepat untuk mengantisipasi penyebaran dan penguasaan situasi dan kondisi oleh kelompok-kelompok teroris.

Setelah kelompok Santoso atau Abu Wardah dikejar dan ditangkap hingga habisnya kelompok teror yang sangat mengerikan tersebut, kemudian muncul juga kelompok teroris lain yang berusaha menguasai secara diam-diam sebuah pulau di Maluku Utara. Meskipun upaya kelompok teroris menjadikan bagian tertentu wilayah Indonesia sebagai qaidah aminah (daerah basis) tidak berhasil, perkembangan plot ini haruslah diantisipasi secara sistematis. Upaya sistematis ini mengharuskan pemerintah berpikir untuk mendayagunakan semua potensi dan sumber daya yang ada, termasuk pelibatan TNI dalam memerangi terorisme.

Banyak kalangan merespons negatif rencana pelibatan TNI yang sebenarnya tidak bisa dihindari lagi. Keniscayaan pelibatan TNI ini dipandang akan merusak struktur hukum penanganan kejahatan luar biasa selama ini. Selain itu, unsur militer dianggap sebagai biang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam sejarah Indonesia masa Orde Baru. Padahal, semua institusi berpeluang sama melakukan pelanggaran HAM jika aparatnya tidak profesional dalam melaksanakan tugas.

Pelibatan TNI dalam memerangi (bukan hanya menanggulangi) terorisme adalah hal yang tidak bisa dihindari. Secara teoretis, tipologi kelompok dan jaringan teroris yang berbasis teritorial dan yang berbasis nonteritorial memaksa sistem kekuasaan membagi tugas manajerial secara proporsional.

Dua tipe teroris

Secara teoretis (Al Chaidar: 2015), dilihat dari analisis spasial, terdapat dua tipe teroris: (1) teroris tanzhim dan (2) teroris tamkin. Jaringan kelompok teroris tanzhim adalah organisasi ideologis yang sangat dinamis, berpindah-pindah tempat dan melakukan serangan di lokasi yang jauh dari tempat asalnya. Jaringan kelompok teroris tamkin adalah organisasi ideologis statis yang secara milenarian yakin dan terikat pada lokasi tertentu. Kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah, adalah kelompok teroris tamkin yang bergerak secara teritorial dan mengundang banyak teroris dari luar negeri dan teroris domestik untuk berkiprah dalam kejahatan yang mereka pandang mulia ini.

Kelompok teroris tanzhim adalah unit bergerak yang sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sangat mobile dan dinamis, serta memiliki kemampuan  teknikal yang luar biasa. Kelompok teroris tamkin adalah unit statis dan bersifat sentralistik dan tinggal di area tertentu secara shifting-occupancy. Kelompok teroris tamkin berusaha menguasai satu daerah basis di darat, laut, atau udara.

Di darat, kelompok ini terkadang mirip peladang berpindah di hutan-hutan dan wilayah terpencil. Kelompok tamkin darat ini biasanya sangat banyak di wilayah-wilayah yang tak terjamah oleh manajemen pemerintahan sipil. Hanya militerlah yang mampu menguasai tiap jengkal wilayah yang dipersepsikan sebagai ”wilayah tak bertuan” ini. Di wilayah tak berhukum inilah teroris tamkin menanam bibit separatisme ideologis secara tersembunyi.

Di laut, kelompok tamkin ini menguasai wilayah matra laut dari beberapa rute perairan. Banyaknya pembajakan kapal-kapal dagang dan turis di wilayah perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi mengindikasikan kehadiran kelompok teroris tamkin yang hanya akan efektif jika ditangani oleh militer. Terorisme maritim, seperti di Laut Sulu dan Laut Sulawesi, semakin hari semakin berkembang dan mulai meluaskan wilayah operasinya ke Selat Malaka, Laut Timor, Laut Banda, dan wilayah perairan Papua.

Kerja sama institusional

Bagaimanapun, tidak ada satu lembaga pun yang bisa memonopoli penanganan terorisme hingga tuntas. Dibutuhkan kerja sama institusional untuk bisa mengamankan wilayah dan rakyat dari kejahatan luar biasa ini. Jika penanganan kejahatan korupsi, paedofilia, dan narkoba saja tidak bisa dimonopoli oleh kepolisian, tugas memerangi dan menanggulangi terorisme haruslah dibagi. Kerja sama institusional kunci penyelesaian berbagai kejahatan di mana pun.

Jika manajemen dipandang sebagai seni mendelegasikan otoritas, otoritas tugas antiteror yang selama ini dimonopoli haruslah didelegasikan ke berbagai lembaga lain yang memiliki sumber daya dan jaringan yang selama ini dianggap idle. Pertimbangan manajerial ini haruslah menjadi landasan berpikir yang utama dalam melibatkan TNI menangani terorisme.

Pelibatan TNI berdampak tak hanya pada kekhawatiran pelanggaran HAM dan implikasi yuridis lain, terutama pada hukum acara pidana yang harus diubah-suaikan. Tentunya aparat TNI yang terlibat dalam pengejaran/penangkapan teroris harus bisa hadir di pengadilan sipil dengan menanggalkan atribut korps militernya. Peluang untuk pelanggaran HAM haruslah disikapi secara arif dengan menggunakan hukum humaniter yang keras melalui pengadilan militer.

Tak satu pun kejahatan sempurna yang bisa disembunyikan kecuali dalam perang. Pola pikir TNI sekarang dalam menghadapi situasi di wilayah perang dengan di wilayah damai tentu beda dengan militer masa Orde Baru. Mengkhawatirkan pelanggaran HAM yang bakal dilakukan tentara dalam menangani terorisme sangat irasional. Keberhasilan TNI mengejar dan menangkap teroris Santoso di Poso adalah bukti betapa kekuatan yang selama ini idle ternyata sangat efektif dan sangat menghormati hak-hak tawanan teroris. ●

1 komentar: