Jumat, 23 Maret 2018

Kegilaan Politik

Kegilaan Politik
Amir Syamsudin  ;   Mantan Menteri Hukum dan HAM RI
                                                        KOMPAS, 23 Maret 2018



                                                           
Menyambut tahun politik dengan 171 pemilihan kepala daerah di 2018 dan pemilu legislatif/pemilihan presiden di 2019, bangsa Indonesia dihadapkan kembali pada fenomena politik, hukum, dan moral yang menarik untuk dikaji. Fenomena politik dan hukum yang terjadi adalah tertangkap tangannya beberapa calon kepala daerah karena diduga melakukan korupsi yang berhubungan dengan pilkada. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menyebut beberapa calon kepala daerah lagi yang lain akan segera menjadi tersangka.

Dalam dengar pendapat sebelumnya antara Komisi III DPR dan Kepolisian dan Kejaksaan, sebenarnya telah disepakati untuk menunda penyelidikan atau penyidikan kasus-kasus yang menyangkut pasangan calon di pilkada, tetapi tampaknya KPK tidak sepakat karena hal itu dianggap bisa mengganggu proses penyidikan kasus korupsi. Apalagi kejahatan korupsi adalah kejahatan yang luar biasa yang justru masyarakat harus diberi tahu agar tidak memilih pasangan calon yang diduga keras melakukan kejahatan korupsi. Pro dan kontra kemudian muncul, bahwa tindakan dan pernyataan KPK dianggap dapat mengganggu demokrasi dan berpengaruh pada keterpilihan pasangan calon petahana yang menjadi obyek tindak pidana korupsi.

Libido kekuasaan

Dalam tulisan di Pos Kupang (28/2/2018), antropolog Dony Kleden menulis bahwa filsuf Nietzshe dan kebanyakan kaum pragmatis menyebut kekuasaan sebagai hasrat yang paling alami manusia (the original desire of people). Oleh karena itu, hasrat ini selalu dicari untuk dipenuhi dengan berbagai cara. Hasrat alami ini, jikalau tidak dikelola dengan baik, akan menjadi bagian dari hawa nafsu atau libido.

Libido kekuasaan, menurut Dony, terkadang cenderung amoral yang membuat orang jadi kasar dan beringas; menggadaikan diri dan kehilangan segalanya. Dalam konteks hasrat alami untuk berkuasa disandingkan dengan cara manusia memenuhi hasrat tersebut, sangat tepat apabila catatan politik hukum Kompas (24/2/2018) menyebut ada pergeseran ruang antara ”kewarasan” dan ”kegilaan” karena manusia mulai mengabaikan ”rasionalitas” sehingga menimbulkan kegilaan politik.

Dalam tahun politik saat ini, kita dapat menyaksikan hasrat alami manusia ini dilakoni dengan berbagai cara. Terlihat manusia waras bisa menjadi gila jika berurusan dengan kekuasaan. Keinginan untuk mengejar kekuasaan bisa membuat orang mengabaikan rasionalitas. Banyak orang maju ikut kontestasi pilkada dengan modal nekat akhirnya harus berutang sana-sini. Demikian pula petahana mau mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk harus mencuri uang rakyat.

Untuk memenangi sebuah kompetisi pilkada, tak jarang pasangan calon melakukan kekerasan verbal yang menyerang pesaingnya, memfitnah, membuat berita bohong, intimidasi, insinuasi, termasuk menggunakan orang gila untuk tujuan politik. Orang juga bisa membuat skenario, agenda tersembunyi, atau dalang politik untuk memenangi pilkada.

Kekuasaan dan moral

Kekuasaan dan moral, baik pengertian maupun hubungan di antara keduanya, merupakan diskursus yang terus diperbincangkan dari masa ke masa. Moralitas atau sifat moral adalah keseluruhan dari asas dan nilai yang berkenaan dengan hal yang dianggap baik dan buruk.

Kekuasaan dalam arti sempit adalah kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Mengutip Machiavelli, kekuasaan adalah strategi untuk mendapatkan legitimasi yang harus dipisahkan dari moral. Ini artinya urusan politik harus bisa dipisahkan dari moral. Dengan tujuan untuk kebaikan umum, kekuasaan dapat saja direbut atau dipertahankan dengan berbagai cara sekalipun harus berlawanan dengan moral.

Oleh karena itu, dapat dipahami jika tersangka kasus korupsi masih dapat ikut dalam pilkada. Sementara itu, Russel, Kant, sampai Franz Magnis-Suseno memosisikan moralitas sebagai landasan pijakan penguasa di dalam merealisasikan kekuasaan. Hal ini berarti hubungan moralitas dengan kekuasaan bukan sekadar strategi, melainkan merupakan kewajiban yang sudah semestinya dijalankan penguasa ataupun calon penguasa.

Dony Kleden menyebutkan kekuasaan semestinya tidak bisa dipisahkan dengan moral karena perburuan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara adalah tindakan yang amoral. Kalau libido kekuasaan menjadi cenderung amoral, bangsa Indonesia membutuhkan warga negara yang cerdas, kritis, dan tanggap yang siap berjibaku untuk memerangi libido kekuasaan yang demikian karena kekuasaan amoral merusak tatanan politik dan mematikan demokrasi.

Kami setuju dengan pendapat ini, bahwa sekalipun kekuasaan secara teoretis bersifat kosmis, tetapi dalam perburuan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari moral. Tertangkapnya beberapa pasangan calon kepala daerah oleh KPK karena diduga melakukan tindak pidana korupsi untuk pembiayaan pilkada bukan saja sebagai peristiwa hukum, melainkan juga peristiwa moral.

Sekalipun undang-undang pilkada sebagai produk politik memperbolehkan seorang tersangka kasus korupsi untuk tetap mengikuti pilkada, bahkan pasangan calon masih diberi kesempatan untuk melakukan kampanye meminta dukungan masyarakat, dari sisi moral korupsi tetaplah kejahatan yang amoral. Kami berpendapat para tersangka kasus korupsi semestinya dihentikan dari kegiatan politiknya. Masyarakat menjadi tidak waras jika masih mau memilih pasangan calon yang menjadi tersangka kasus korupsi atau tindak pidana berat lainnya.

Jalan keluar moral

Ada beberapa pertanyaan yang menjadi perhatian kita terkait dengan pasangan calon yang diselidiki/disidik KPK atau yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi saat pilkada. Pertanyaannya: (1) bagaimana jika penyelidikan/penyidikan kasus hukum digunakan untuk kepentingan politik sesaat, (2) bagaimana tanggung jawab moral politik bagi masyarakat ketika salah memilih calon yang ternyata kemudian menjadi tersangka kasus korupsi sebelum atau sesudah proses pilkada?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah dengan memberikan surat bebas korupsi dari KPK. Para pasangan calon sebelum mengikuti pilkada harus memenuhi syarat bebas korupsi tidak hanya dari pengadilan, tetapi juga dari KPK.

Para pasangan calon yang sedang diperiksa oleh KPK dalam tahap selidik/sidik harus dinyatakan tidak memenuhi syarat. Hal ini dengan sendirinya selain membantu parpol untuk tidak salah rekrut para pasangan calon pilkada, juga membuat persyaratan menjadi lebih ketat dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dengan melakukan hal ini, kecurigaan masyarakat akan lembaga hukum seperti Kepolisian/Kejaksaan ataupun KPK yang ikut bermain politik di pilkada menjadi sirna.

Dengan demikian, tidak ada lagi pasangan calon yang akan ditetapkan sebagai tersangka pada saat sedang mengikuti pilkada. Tidak ada lagi kecurigaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) ataupun kriminalisasi. Adapun penetapan tersangka korupsi dan kejahatan berat lainnya pada saat proses pilkada hanya kepada pasangan calon yang tertangkap tangan untuk kejahatan korupsi, narkoba, dan kejahatan berat lainnya.

Manusia akhirnya memang terbukti menjadi tidak waras dan tidak rasional apabila berurusan dengan kekuasaan. Menyebarkan kebohongan (hoaks) adalah bentuk dari kegilaan media, menyebarkan kebencian adalah  kegilaan sosial, dan selalu menyalahkan orang lain adalah bagian dari kegilaan politik. Semua ini dilakoni oleh masyarakat dalam jebakan skizofrenia yang selalu menyalahkan orang lain, ikut-ikutan, dan membeo. Bahkan para pengamat politik saat ini terjebak dalam penyakit yang sama, selalu mudah mencela tanpa memberikan solusi.

Politik hukum kita jelas masih memisahkan moral dari kekuasaan sehingga ke depannya kita harus berani mengubah paradigma bahwa kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari moral. Kekuasaan tanpa moral akan menimbulkan tirani. Demikian juga perburuan kekuasaan tanpa lindungan moral akan menciptakan manusia tidak waras dan menimbulkan kegilaan politik. ●

1 komentar: