Selasa, 27 Maret 2018

Deregulasi dan Debirokratisasi Pendidikan Tinggi

Deregulasi dan Debirokratisasi Pendidikan Tinggi
Didi Achjari  ;   Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
                                                        KOMPAS, 27 Maret 2018



                                                           
Kehadiran Internet of Things (IoT) telah membawa disrupsi di segala bidang. Pendidikan tinggi, dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan perguruan tinggi adalah aktor utamanya, termasuk yang terkena dampaknya.

Pada pembukaan Konvensi Kampus XIV dan Temu Tahunan XX Forum Rektor Indonesia pada 15 Februari 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan, Presiden Joko Widodo menyampaikan dua isu strategis dalam upaya merespons era disrupsi.

Dua isu strategis

Isu pertama terkait dengan pemberian mandat kontribusi untuk tiap perguruan tinggi yang bisa berbeda: lokal, nasional, dan internasional. Suatu perguruan tinggi bisa diberi mandat kontribusi pengembangan potensi dan keunggulan lokal. Ada perguruan tinggi yang diberi mandat kontribusi secara nasional, misal memperluas akses pendidikan tinggi yang terjangkau dan menyiapkan tenaga kerja untuk industri. Selanjutnya, perguruan tinggi bisa diberi mandat untuk berkontribusi secara internasional. Ukuran kinerja yang bisa disematkan ke perguruan tinggi jenis ketiga ini adalah ranking dunia.

Mandat yang jelas bagi setiap perguruan tinggi sangat diperlukan. Adanya kejelasan tersebut akan bermanfaat untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek dan Dikti), misal dalam kebijakan pendanaan dan penetapan target kinerja yang lebih sesuai untuk tiap perguruan tinggi. Sebagai contoh, perguruan tinggi yang diberi peran untuk pemerataan akses pendidikan tinggi bisa diberi porsi anggaran beasiswa Bidik Misi lebih tinggi. Ukuran kinerjanya adalah proporsi mahasiswa dengan latar belakang ekonomi tidak mampu. Selain itu, kejelasan tersebut juga bermanfaat bagi perguruan tinggi agar fokus dalam melakukan alokasi sumber daya sesuai dengan mandat yang diberikan.

Cara memandang perguruan tinggi yang berbasis pada mandat kontribusinya bisa jadi akan memerlukan penyesuaian struktur kelembagaan di Kementerian Ristek dan Dikti. Hal yang sama juga untuk perguruan tinggi negeri (PTN) berbasis pada bentuk pengelolaan keuangannya, yaitu satuan kerja (satker), badan layanan umum (BLU), atau PTN badan hukum (PTN-BH). Struktur organisasi matriks adalah salah satu opsi.

Isu kedua, Presiden meminta Menteri Ristek dan Dikti berkoordinasi dengan kementerian lain untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Saat ini banyak prosedur administrasi, kebijakan, dan peraturan yang dijalani Kementerian Ristek dan Dikti ranahnya milik kementerian/lembaga (KL) lain.

Sebagai contoh, baru-baru ini muncul kegaduhan terkait terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian. Permendagri itu berpotensi memperlama proses administrasi penelitian bagi dosen dan mahasiswa. Walau akhirnya permendagri ini dicabut, hal itu menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih baik antarkementerian.

Pentingnya koordinasi

Koordinasi yang baik antara Kementerian Ristek dan Dikti dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) juga diharapkan bisa mengefisienkan laporan kinerja dosen. Saat ini dosen PNS harus membuat laporan kinerja yang isinya relatif sama, yaitu Laporan/Beban Kerja Dosen (LKD/BKD) dari Kementerian Ristek dan Dikti dan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dari Kementerian PAN dan RB. Dengan memanfaatkan sistem informasi yang terintegrasi di antara dua kementerian tersebut, diharapkan dosen cukup membuat satu laporan kinerja saja yang bisa diakses keduanya.

Untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi, bisa mengikuti dua langkah berikut. Pertama, mempertanyakan relevansi setiap prosedur/peraturan, baik di kementerian maupun internal PT. Jika tak relevan dan bahkan menghambat pencapaian tujuan lembaga/PT, harus berani merevisi atau menghapusnya.

Suatu prosedur/peraturan bisa tidak relevan lagi karena dipicu oleh perkembangan teknologi informasi atau karena asumsi awal munculnya prosedur/peraturan tidak terpenuhi. Sebagai contoh, perkuliahan secara daring (online) saat ini bisa dan sudah banyak digunakan. Penerapan perkuliahan daring memerlukan penyesuaian peraturan, misal tentang kehadiran fisik dosen.

Cara kerja dosen yang merupakan pekerja pengetahuan alias knowledge worker tentu berbeda dengan jenis pegawai (PNS) lain yang umumnya datang pagi, pulang petang. Sebagai knowledge worker, dosen bisa mengajar di kelas ataupun daring, membaca dan menulis di mana saja, berdiskusi dengan mahasiswa dan mitranya secara maya, melakukan pengabdian kepada masyarakat di daerah terpencil, serta meneliti di laboratorium atau di lapangan. Dengan demikian, peraturan terkait PNS yang sifatnya umum dan mendasarkan pada kehadiran fisik di kantor belum tentu relevan untuk jenis pekerjaan dosen.

Untuk mengidentifikasi relevansi suatu prosedur/kegiatan, beberapa pertanyaan berikut yang dimodifikasi dari Keen (1997) bisa digunakan. Apakah prosedur/kegiatan tersebut ciri khas atau identitas KL/PT? Jika tidak, lanjut ke pertanyaan berikut. Apakah prosedur/kegiatan tersebut sangat penting untuk mencapai target kinerja KL/PT? Jika tidak, lanjut ke pertanyaan berikut. Apakah prosedur/kegiatan tersebut mendukung prosedur (business process) lain?

Jika tidak, lanjut ke pertanyaan berikut. Apakah prosedur/kegiatan tersebut dilakukan karena untuk mematuhi peraturan/hukum yang berlaku? Jika jawabannya juga tidak, prosedur/kegiatan itu tak relevan lagi sehingga bisa ditinggalkan. Jika ada jawaban ya atas pertanyaan itu, maka prosedur/kegiatan itu masih relevan. Mengevaluasi relevansi setiap prosedur/kegiatan melalui empat pertanyaan di atas adalah penting sebelum melakukan deregulasi dan debirokratisasi.

Kedua, mengomunikasikan perlunya deregulasi dan debirokratisasi kepada pihak terkait. Dalam konteks PT, pimpinan PT perlu menyampaikan alasan perubahan prosedur/kegiatan kepada pemangku kepentingan, baik internal (mahasiwa, dosen, tenaga kependidikan, dekan, dan lain-lain) maupun eksternal (KL). Tentu saja reaksi atas perubahan tidak selalu positif.

Kendala peraturan

Resistensi atas rantai birokrasi yang terpangkas bisa terjadi di kementerian ataupun di dalam PT sendiri. Di tingkat KL, upaya untuk meyakinkan pihak yang mempunyai kewenangan agar melakukan deregulasi dan debirokratisasi juga belum tentu berhasil. Alasan ”klasik” yang terdengar adalah benturan dengan peraturan lain atau ketakutan kalau keputusannya dikriminalkan. Belajar dari maraknya ”kriminalisasi birokrasi”, konon ada yang berpendapat lebih baik tidak melakukan apa-apa daripada susah payah membuat terobosan baru, tetapi berujung pada menanggung risiko secara pribadi.

Respons positif ditunjukkan Kementerian Ristek dan Dikti yang melakukan deregulasi melalui Permenristek Nomor 257 Tahun 2017 yang menyatakan usulan program studi (prodi) tidak harus sesuai dengan nomenklatur yang ada. Permenristek itu memberi peluang PT untuk membuka prodi yang relevan dengan kebutuhan negara dan industri di masa mendatang. Hal ini tentu harus juga diikuti oleh institusi pemberi kerja, termasuk KL, agar bisa menerima lulusan yang berasal dari prodi baru yang ”kekinian”.

Sebagai penutup, gelombang disrupsi ini harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk mengkaji banyaknya peraturan yang membelit pendidikan tinggi. Kementerian Ristek dan Dikti yang sudah memulai deregulasi dan debirokratisasi diharapkan memperluas penerapannya serta mendorong PT melakukannya. KL lain juga diharapkan mendukung deregulasi dan debirokratisasi di pendidikan tinggi. Kata kuncinya adalah koordinasi dan kemauan untuk melepas ego sektoral. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar