Sabtu, 24 Maret 2018

Cadar dan Cara Berislam Indonesia

Cadar dan Cara Berislam Indonesia
Masduri  ;   Dosen Filsafat dan Pancasila pada Program Studi Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
                                               KORAN JAKARTA, 23 Maret 2018



                                                           
Cadar belakangan ramai dibincangkan terutama setelah beberapa kampus Islam negeri melarang mahasiswi mengenakan pakaian khas bangsa Arab tersebut. Ada kecurigaan yang tak biasa terhadap pengguna cadar. Kedekatan terhadap ideologi radikalisme menjadi stigma yang sulit terhindarkan. Ini mengingat memang banyak keluarga teroris yang ada di Indonesia mengenakan cadar.

Kenyataan ini tentu tidak sederhana. Sebagai penutup muka, cadar memiliki makna tak sebatas pakaian. Ini lebih jauh menggambarkan ideologi yang menancap dalam pikiran dan keyakinan. Dalam perdebatan panjang mengenai cadar di Indonesia, tak sedikit yang menyebut, dia sesungguhnya kebudayaan bangsa Arab, bukan ajaran Islam.

Kita bisa melihat model pakaian putri ulama besar di Indonesia. Misalnya, putri Gus Dur, Yenny Wahid, kerap mengenakan kerudung khas tradisi Jawa, sedangkan putri Quraish Shihab, Najwa Shihab, justru kerap kali tidak mengenakan penutup kepala. Model berpakaian kedua putri ulama tersebut menggambarkan cara pandang ayahnya, sebagai ulama yang membaca visi besar keislaman dan lokalitas keindonesiaan.

Umumnya, muslimah di Indonesia menggunakan jilbab, penutup kepala yang melingkari bagian belakang dan samping (tidak bagian depan seperti cadar). Apa pun bentuk pakaiannya, cadar, jilbab, kerudung, dan atau bahkan tidak menggunakan penutup kepala, semuanya menggambarkan nalar ideologis masing-masing.

Pakaian, nyatanya tak sebatas mode, yang mengikuti tren pasar. Pakaian berkembang tetap menyesuaikan dengan kendali ideologi. Ada batas-batas yang terus diperhatikan, meski perkembangan model pakaian menggeliat sedemikian rupa. Sebab itulah, belakangan berkembang beragam model jilbab.

Tak Biasa

Sesungguhnya yang membuat kita sulit menerima cadar, terutama bagi mereka yang menolak, adalah ketidakbiasaan menjumpai perempuan bercadar. Kenyataan ini membuat kita seperti terasing dari akar-akar kebudayaan berkaitan dengan cara berpakaian perempuan Indonesia. Kondisi ini oleh Kalvero Oberg (1954) disebut sebagai kejutaan budaya (cultural shock).

Tak bisa ditolak, cadar adalah impor kebudayaan Arab. Dia dikembangkan perempuan muslimah Indonesia. Meski, dalam kenyataannya, cadar justru dianggap sebagai ajaran Islam yang implikasi teologisnya adalah kewajiban. Makna kewajiban di sini, tentu tak sederhana. Sebab dalam bagian lain melahirkan konsekuensi ‘dosa’ mereka yang mengingkari.

Dalam ruang komunal berbangsa-bernegera, kita bisa berdalih bahwa penggunaan cadar adalah hak masing-masing orang. Dalih lain, konstitusi menjamin kebebasan berekspresi dan negara tak boleh mengendalikan ruang privat warga. Hanya, cadar sebagai penutup muka, secara sosiologis berimplikasi pada cara pandang orang-orang sekitar.

Kendati kita bisa menyebut cadar tak selama lekat dengan kelompok fundamentalis-radikalis, setiap kita melihat pengguna cadar, secara naluriyah bayangan selalu melahirkan stigma kurang baik. Ini mulai dari anggapan konservatif, findamentalis, radikalis, teroris, dan seabrek stigma yang kurang elok lain.

Berkembangnya stigma kurang baik terhadap penggunan cadar dilatari berbagai kenyataan. Salah satunya, istri-istri teroris di Indonesia penggunan cadar. Kemudian, kelompok yang anti-Indonesia banyak menggunanakan cadar. Maka, dalam batas-batas yang lain, cadar di Indonesia tidak lebih dekat dengan ajaran Islam seperti di negara-negara Arab-Islam. Dia lebih dekat dengan tradisi kelompok Islam fundamentalis yang anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-NKRI, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika.

Pelarangan cadar di kampus Islam negeri, sesungguhnya berkaca pada latar belakang tersebut. Tak ada kehendak pemimpin kampus, apalagi dari mereka yang memliki jabatan akdemik sebagai guru besar, untuk memaksa dan mengekang gaya berpakaian para mahasiswi. Sebagai akademisi, mereka tentu sangat paham tentang demokrasi dan kebebasan personal atas cara berpakaian.

Mereka hanya tak ingin ada mahasiswinya terjebak pada ideologi Islam fundamentalis-radikalis yang anti-Indonesia, sebagai konsep final negara-bangsa, yang harus diperhatankan bersama. Maka, sangat salah, andai kalau kampus negeri membiarkan berkembang biaknya ideologi anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-NKRI, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika.

UIN, IAIN, dan STAIN sebagai kampus Islam negeri harus mengawal berkembangnya Islam inklusif yang menumbuhkan semangat beragama dan bernegara secara berkesinambungan. Kampus Islam negeri harus mampu meneguhkan ideogi Islam yang mengindonesia. Ini sutau cara pandang keagamaan yang mampu menghadirkan kesadaran secara utuh bahwa Indonesia adalah tanah dan rumah bersama tempat bersujud kepada Tuhan. Indonesia harus dijaga terus agar mampu menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinan  tiap-tiap pribadi.

Tanpa Indonesia (sebagai negara merdeka yang diakui dunia) kita tak memiliki tanah tempat bersujud kepada Tuhan. Berislam dan berindonesia adalah kewajiban bagi setiap muslim yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Inilah cara kita bersyukur kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar