Selasa, 27 Maret 2018

Adu Kuat Lembaga Penerimaan Pajak (LPP)

Adu Kuat Lembaga Penerimaan Pajak (LPP)
Fuad Bawazier  ;   Mantan Dirjen Pajak
                                                     REPUBLIKA, 26 Maret 2018



                                                           
Mengacu kepada Rancangan Undang undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang telah di sampaikan Presiden Jokowi ke DPR pada 4 Mei 2016, semestinya UU KUP 2016 yg baru ini sudah berlaku efektif sejak 1 Januari 2017 dan Lembaga Penerimaan Pajak (LPP), sebuah lembaga baru yang menggantikan Direktorat Jenderal Pajak, sudah mulai beroperasi efektif paling lambat 1 Januari 2018. Kenyataannya sampai hari ini RUU KUP 2016 itu masih mengendap di DPR.

Sebenarnya apa yang terjadi di balik ini? Karena sebetulnya ide atau gagasan pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan sudah ada sejak era Presiden Megawati seperti tertuang dalam Surat Menteri PAN No.B/59/M.PAN/I/2004 yang intinya sesuai arahan Presiden Megawati perlu dibentuknya sebuah badan mandiri untuk pemungutan pendapatan negara.

Semasa Presiden SBY, kembali Kementerian PAN mengusulkan pemisahan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai dan Direktorat Penerimaan Migas dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) menjadi satu lembaga yang langsung di bawah Presiden sesuai dengan Memo No. 291/M.D.II/11/2004  tanggal 11 Nopember 2004 dari Deputi II kepada Menteri PAN.

Kini di era Presiden Jokowi gagasan ini lebih jelas karena sudah resmi tertuang dalam RUU KUP yang dikirim Presiden Jokowi ke DPR.  Penulis mencoba untuk menguraikan dan menganalisa issue ini secara kronologis karena soal pajak yang kini masih ditangani Ditjen Pajak adalah urusan hidup matinya APBN.

Pertimbangannya adalah karena:

1. LPP ini adalah salah satu upaya yang bisa di harapkan untuk menaikkan tax ratio dan menolong penerimaan negara dari pajak yang dalam 10 tahun terakhir ini terseok seok.

2. Memperbaiki efektivitas organisasi atau instansi yang bertanggung jawab dalam penerimaan pajak mengingat Ditjen Pajak adalah satu satunya unit eselon I yang mempunyai pegawai hampir 40ribu dengan 53 unit eselon II, 577 unit eselon III dan 4363 unit eselon IV, melebihi 50% dari keseluruhan pegawai Kementerian Keuangan. Beban besar ini terlalu berat untuk dipikul sebuah organisasi selevel hanya direktorat jenderal.

3. Pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu juga agar tidak semua kewenangan berada di satu tangan, yaitu agar ada pemisahan unit yang mengelola pemasukan uang negara dengan unit yang membelanjakan uang negara (pesan Presiden Jokowi).

4. Bahwa reformasi pajak yang dilaksanakan sejak 2006 baru menyentuh aspek regulasi dan reorganisasi internal direktorat jenderal pajak tetapi belum kepada kelembagaannya.

Sejak awal menjabat Presiden Jokowi menegaskan bahwa para menteri hanya akan menjalankan visi, misi, dan program utama presiden sehingga tidak ada visi dan misi menteri dalam Kabinet Kerja.

“Tugas kita semuanya jelas menjalankan visi misi dan program utama presiden. Tidak ada lagi yang namanya visi dan misi menteri karena yang ada hanyalah program operasional menteri,” katanya saat memberikan arahan dalam Sidang Kabinet di Kantor Presiden, sebagaimana dikutip Bisnis.com edisi 27 Oktober 2014. Presiden menegaskan para menteri Kabinet Kerja harus bekerja sesuai dengan garis lurus berdasarkan arahan presiden yang disampaikan secara tertutup.

Penegasan serupa kembali diulang saat Presiden Joko Widodo melantik 12 menteri dan kepala BKPM pada 27 Juli 2016. Seperti dikutip Kompas.com, Presiden meminta para menterinya bekerja padu. Kabinet, kata Kepala Negara, harus solid, kompak dan saling mendukung.

Jokowi kembali menekankan bahwa tidak ada visi-misi menteri. Yang ada, kata beliau, adalah visi-misi Presiden dan Wakil Presiden. "Semua kementerian dan lembaga harus satu garis lurus dengan visi misi saat ini," katanya saat membuka rapat paripurna kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7/2016).

Nawa Cita

Saat maju sebagai calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengusung sejumlah Visi Misi yang diberi lebel Nawa Cita. Salah satu visi misi di bidang ekonomi adalah penguatan kapasitas fiscal:

Kami berkomitmen untuk membangun penguatan kapasitas fiscal negara melalui:

(1) Sinkronisasi antara perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran;  evaluasi kinerja kenaikan penerimaan pajak seiring dengan kenaikan potensinya (seperti pertumbuhan PDB), dan (2) merancang ulang lembaga pemungutan pajak berikut peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur perpajakan. 3. Melakukan desain ulang arsitektur fiscal Indonesia.

Setelah resmi menjabat presiden, Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 sebagai implementasi  Nawacita. Dalam klausul penerimaan negara dan redesain arsitektur fiskal, Perpres tersebut menyatakan: Pemerintah berkehendak merancang ulang lembaga pemungutan pajak  berikut peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur perpajakan (poin 8 nomor 3). Dalam jangka menengah, pengumpulan penerimaan negara termasuk pajak akan dilakukan suatu lembaga khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden namun tetap berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan.

Presiden bergerak cepat. Kementerian Keuangan yang saat itu di bawah kendali Bambang S. Brojonegoro segera menyiapkan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) untuk mewadahi rencana pemerintah membentuk lembaga (baru) penerimaan Pajak.

Presiden pada 4 Mei 2016 menyampaikan surat No. R-28/Pres/05/2016 kepada pimpinan DPR sebagai pengantar atas RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyatakan penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh Lembaga yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Tidak hanya itu, melalui Surat Menteri Sekretaris Negara No. B-395 tertanggal 11 Mei 2016 yang ditujukan kepada Menteri Keuangan;  Menteri Hukum dan HAM; dan  Menteri PAN-RB disebutkan: “Presiden meminta kepada para Menteri untuk mempertahankan dan memperjuangkan materi yang ada di dalam RUU. Jika ada usulan perubahan dari DPR, Menteri harus berkonsultasi kepada Presiden.” Sikap yang tegas sesuai dengan UUD 1945 bahwa pembentukan undang undang adalah kewenangan  DPR dan Presiden (bukan menteri).

Sikap Sri Mulyani

Dua bulan setelah RUU tersebut di tangan DPR, Presiden Jokowi menggeser Bambang Brojo menjadi Kepala Bappenas dan masuklah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Pembahasan RUU KUP pun jalan di tempat. Nampaknya Sri Mulyani keberatan Ditjen Pajak berdiri otonom sebagai Lembaga yang bertanggung jawab langsung ke Presiden. Sikap tersebut terekam dalam sejumlah pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik.

Ketidaksetujuan Menteri Keuangan (SMI) terhadap Lembaga atau Badan Penerimaan Pajak yang terpisah dari Kementerian Keuangan, bukan sekadar wacana. Menteri Keuangan kemudian membentuk Tim Reformasi Pajak yang diketuai Suryo Utomo (Staf Ahli Menkeu bidang Kapatuhan Pajak). Pembentukan Tim Reformasi Pajak tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 885/KMK.03/2016 qq KMK No. 928/KMK.03/2016.

Salah satu tugas Tim (Diktum 9) adalah melakukan evaluasi/kajian terhadap RUU yang telah disusun untuk memastikan apakah kebijakan yang tertuang dalam RUU tersebut sudah memadai. Meski tidak menyebut secara langsung RUU mana yang perlu dilakukan evaluasi atau kajian, namun dapat disimpulkan yang dimaksud adalah RUU KUP. Sebab RUU inilah satu-satunya yang ada di tangan DPR setelah RUU Pengampunan Pajak disetujui parlemen.

Sikap Sri Mulyani yang berseberangan dengan Presiden bukan kali ini saja. Pada tahun 2006, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan kabinet SBY melalui Suratnya No. S-224/MK.01/2006 tertanggal 31 Mei 2006 kepada Pimpinan DPR praktis membatalkan RUU KUP yang telah disampaikan Presiden SBY kepada DPR dengan Surat No.R-67/Pres/8/2005 tgl 31 Agustus 2005, semasa Menteri  Keuangan Jusuf Anwar.

Artinya, Tanpa seizin Presiden SBY, Menkeu Sri Mulyani mengajukan sendiri RUU KUP lain (dengan istilah PENYEMPURNAAN) langsung kepada Pimpinan DPR. Jelas langkah SMI ini menyalahi aturan kenegaraan dan menimbulkan kehebohan politik karena baru pertama kali terjadi dalam sejarah surat Presiden dianulir menterinya. RUU KUP versi Sri Mulyani itu akhirnya dibatalkan atas perintah tegas Presiden SBY pada 28 Agustus 2006. Pembatalan itu dilaksanakan melalui surat Menkeu Sri Mulyani kpd Pimpinan DPR dengan No. S-370/MK.01/2006 yang menarik kembali surat No.S-224/MK.01/2006.

Kini pembahasan RUU KUP 2016 nyaris mangkrak.  Sudah beberapa masa sidang DPR berlalu, namun RUU KUP tidak kunjung mendapat perhatian baik dari DPR maupun dari wakil pemerintah. Konon kemacetannya karena ada rencana pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu. Bahkan setahu kami belum ada satu pun Fraksi di DPR yang menyusun DIM (daftar inventaris masalah).

Janji Politik

Pemisahan otoritas pajak dari kementerian keuangan dan berada langsung di bawah presiden sudah menjadi cita-cita Joko Widodo sejak awal dirinya ditunjuk menjadi calon presiden PDIP pada April 2014.

Sebagaimana dikutip tempo.co edisi 22 April 2014, Joko Widodo mengusulkan pajak menjadi kementerian sendiri yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. "Pajak itu harus jadi badan sendiri atau kementerian sendiri, langsung di bawah presiden," ujarnya di Balai Kota, Selasa, 22 April 2014.

Dia menyebut prinsip manajemen, tidak mungkin pendapatan dan pengeluaran diatur satu lembaga yang sama. "Dalam manajemen, enggak mungkin yang namanya pendapatan, penerimaan itu sama dengan pengeluaran, di dalam satu kotak kementerian. Yang ngeluarin sendiri, yang nerima sendiri. Kamu dapat pemasukan uang, kemudian kamu juga yang mengeluarkan uang. Hmm.. Saya mau tanya."

Langkah Joko Widodo dalam menunaikan janjinya untuk mewujudkan tata kelola pajak yang mandiri dengan menempatkan langsung di bawah presiden sebenarnya sudah dilakukan sampai dengan penyerahan naskah RUU KUP ke DPR. Sayangnya tidak ada tindak lanjutnya yang nyata untuk mewujudkannya menjadi undang undang.

Kini tergantung Presiden, apakah niatan tersebut benar-benar ingin diwujudkan atau mau menarik kembali RUU KUP 2016 tsb? Sebenarnya dalam periode ini masih cukup waktu bagi Presiden Jokowi jika masih serius dan konsisten dengan gagasan membentuk sebuah lembaga baru sebagai pengganti Ditjen Pajak. Pertanyaan ini cukup relevan mengingat

Agustus tahun 2018 ini, Joko Widodo hampir pasti mendaftar kembali untuk pemilihan presiden periode ke dua. Apakah dalam Visi Misi Nawa Cita II yang akan disodorkan ke rakyat nanti masih ada  janji untuk memisahkan Ditjen Pajak menjadi kementerian atau lembaga sendiri ? Atau menunggu sampai mendapatkan dukungan Menteri Keuangan?

Hanya Presiden Jokowi yang bisa menjawabnya. ●

1 komentar: