Selasa, 28 Februari 2017

Ahlan Wa Sahlan Malik Salman

Ahlan Wa Sahlan Malik Salman
Abdul Mu'ti  ;    Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
                                               KORAN SINDO, 28 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

1 Maret 2017 Raja Salman, kepala negara Arab Saudi, akan tiba di Indonesia dalam rangkaian kunjungan di negara-negara Asia antara lain Malaysia, Jepang, China, dan Malawi.

Kunjungan ini bukan sekadar balasan atas kunjungan Presiden Joko Widodo tahun lalu, tetapi merupakan kunjungan bersejarah setelah Raja Faisal yang melawat ke Indonesia pada 1970. Kunjungan ini juga sangat kolosal, karena Sang Raja membawa 10 menteri kabinet dan 1.500 rombongan yang terdiri atas para pangeran, keluarga kerajaan, pebisnis, pejabat negara, dan tokoh penting lainnya. Sang Raja seolah sedang berusaha ”menaklukkan” Indonesia, tidak sekadar pelesiran menikmati kemolekan Pulau Dewata.

Makna Strategis

Bagi Indonesia, kunjungan Raja Salman memiliki tiga makna strategis. Pertama, secara politik Kerajaan Saudi tidak lagi memandang Indonesia sebelah mata. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, politik yang stabil, dan kelas menengah yang kuat, peranan politik Indonesia dalam percaturan politik global cukup signifikan. Konsistensi Indonesia melaksanakan politik luar negeri yang bebas-aktif memungkinkan negeri Pancasila ini menjalin persahabatan dengan semua negara muslim.

Indonesia memiliki hubungan baik dengan Iran dan Turki yang bersaing dengan Saudi dalam kepemimpinan dunia Islam. Penyelenggaraan pertemuan luar biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta adalah bukti kekuatan posisi politik Indonesia di negara-negara muslim.

Bahkan dalam penyelesaian politik di ASEAN seperti Moro (Filipina), Pattani (Thailand), dan Rohingya (Myanmar), peranan Indonesia sebagai mediator dan juru runding lebih dipercaya dan diterima oleh ketiga negara dibandingkan dengan Saudi dan Malaysia yang dinilai berpihak pada ”pemberontak”. Peran serta masyarakat madani Indonesia sebagai second track diplomacy turut memperkuat rajutan jaringan kelompok moderat muslim Asia Tenggara.

Kedua, secara ekonomi Saudi melihat Indonesia memiliki kondisi ekonomi dan pertumbuhan yang baik. Indonesia berpotensi menjadi salah satu raksasa ekonomi. Dengan jumlah penduduk lebihdari 250 juta jiwa, Saudi melihat peluang besar memasarkan minyak di Indonesia. Sekitar satu dasawarsa Indonesia menjadi pengimpor minyak. Pemerintah Indonesia sudah membuka pintu bagi Saudi untuk membangun dua kilang minyak.
Dengan jumlah jamaah haji dan umrah terbesar di dunia, Indonesia memberikan sumbangan besar mengisi pundi-pundi devisa nonminyak Saudi.

Ketiga, secara keagamaan Indonesia memiliki ikatan keagamaan yang kuat dengan Saudi. Pertautan umat Islam Indonesia dengan Saudi terjalin sejak awal perkembangan Islam. Menurut sebagian sejarawan, Islam masuk ke Indonesia pada abad ketujuh. Saat pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, sejumlah sahabat Rasulullah menginjakkan kaki di daratan Sumatera. Hampir semua pendiri gerakan Islam seperti KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asyari (NU) pernah menuntut ilmu di Tanah Suci. Jejaring ulama Nusantara dengan Saudi terbangun cukup kuat dari abad ke-16 hingga saat ini.

Banyak alumni perguruan tinggi Saudi yang menjadi tokoh intelektual dan politik serta menjadi pendukung dan pendakwah paham Salafi. Walau demikian, pengaruh Salafisme tidaklah cukup kuat. Mayoritas alumni ma’had dan perguruan tinggi Saudi tetap menjadi pengikut Mazhab Syafii, bahkan sebagian mereka sangat vokal dan kritis terhadap paham agama dan kebijakan politik Saudi.

Negosiasi Politik dan Ekonomi

Pemerintah Indonesia hendaknya memanfaatkan momentum kunjungan Raja Salman untuk melakukan negosiasi bisnis dan politik. Pemerintah Indonesia harus mampu meyakinkan Raja Salman dan rakyat Saudi bahwa bangsa Indonesia bukanlah orang ”ajam” yang bodoh dan ”mamluk”, budak yang miskin.

Dalam kaitan hal tersebut, pemerintah Indonesia dapat melakukan negosiasi bisnis dan bargaining politik. Pertama, terkait dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) khususnya tenaga kerja wanita (TKW). Selama berpuluh tahun masalah TKI menjadi batu kerikil hubungan Indonesia dengan Saudi. Masalah kekerasan fisik dan seksual serta pelanggaran hak asasi manusia seakan tidak tersentuh hukum. Di antara penyebabnya adalah masih adanya sebagian masyarakat Saudi yang memandang para TKI/TKW sebagai budak dengan pemahaman literal ayat-ayat Alquran dan pengalaman kultural jahiliah tentang budak. Kontrak kerja dimaknai sebagai transaksi yang membolehkan mereka mempekerjakan, menggauli, dan memperjualbelikan TKI.

Sebab lainnya karena para TKI menempatkan dirinya dalam posisi inferior, subordinat, dan job seeker yang menggantungkan dirinya kepada para majikan dan agen. Rendahnya pendidikan dan keterampilan serta lemahnya kemampuan berbahasa, komunikasi, dan pemahaman budaya membuat mereka sering dinistai. Keadaan menjadi lebih buruk karena Pemerintah tidak terlibat dalam kontrak kerja antara TKI, agen, dan majikan. TKI seperti sekawanan domba yang dilepas di hutan rimba yang dikuasai singa dan serigala.

Sebagai negara yang meratifikasi Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, Konvensi Jenewa, dan antiperbudakan modern, Presiden Jokowi perlu menyampaikan sikap Indonesia mengenai nasib warga negaranya dan pembelaan HAM. Masyarakat Saudi sesungguhnya mulai bergantung pada TKI, terutama sejak moratorium pembantu rumah tangga.

Karena alasan agama, budaya, dan kinerja TKI memiliki nilai lebih yang tidak tergantikan oleh tenaga kerja dari India, Filipina, dan negara-negara Afrika.

Dalam rangka mengatasi masalah pengangguran di dalam negeri dan mengentaskan kemiskinan, pemerintah Indonesia dapat melakukan negosiasi masalah TKI dengan hanya mengirimkan tenaga kerja profesional yang memiliki kontrak kerja yang kuat dan penggajian yang wajar.

Kedua, secara politik Indonesia dapat melakukan negosiasi politik dalam penyelesaian berbagai masalah konflik Timur Tengah dan pemberantasan terorisme. Ada kabar yang menyebutkan pemerintah Saudi berusaha melobi Indonesia untuk bergabung dengan Koalisi Negara-Negara Muslim Antiterorisme yang dibentuk dan dipimpin Arab Saudi. Jika dugaan itu benar, pemerintah Indonesia tidak perlu mengubah sikap politik yang telah diambil selama ini. Sesuai Konstitusi Indonesia, mengembangkan politik luar negeri yang bebas-aktif untuk kepentingan nasional. Koalisi tersebut bukan di bawah PBB sehingga Indonesia tidak terikat. Yang lebih penting, sesuai ajaran Alquran, jika dua kelompok muslim berperang maka harus ada pihak yang menjadi penengah dan pendamai. Dengan bersikap netral, Indonesia bisa diterima berbagai pihak yang berkonflik.

Indonesia dan Arab Saudi sama-sama memiliki masalah terorisme.  Berbagai aksi terorisme terjadi di Indonesia dan Saudi. Ada analisis yang menyebutkan bahwa terorisme bertali-temali dengan Wahabisme yang berpusat di Arab Saudi. Pandangan tersebut tentu sangat merugikan citra Saudi. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada kaitan langsung antara Wahabisme dan terorisme. Persepsi bahwa terorisme berakar pada agama dan Wahabi sebagai agen harus dikoreksi. Karena itu, Saudi dan Indonesia dapat bekerja sama bagaimana menanggulangi dan memberantas terorisme melalui pendekatan keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan.

Ada pihak-pihak tertentu yang sangat khawatir dengan kunjungan Raja Salman. Secara psikologis, kunjungan Raja Saudi bisa memperkuat kelompok muslim ”garis keras” yang merupakan jaringan Salafi di Indonesia. Spekulasi tersebut akan terbantah jika selama kunjungan di Indonesia, Raja Salman mengagendakan pertemuan dan mendengar masukan sebanyak mungkin organisasi Islam.

Sudah seharusnya pemerintah dan rakyat Indonesia menyambut dan melayani Raja Salman dengan spirit persahabatan, perdamaian, saling menghormati, dan kerja sama saling menguntungkan. Sebagaimana sabda Nabi, menghormati tamu adalah ciri manusia yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Mari kita sambut tamu negara dengan sebaik- baiknya. Marhaban, ahlan wa sahlan Malik Salman.

Seputar Ambang Batas Pilpres

Seputar Ambang Batas Pilpres
Janedjri M Gaffar  ;    Doktor Ilmu Hukum, Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
                                               KORAN SINDO, 28 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah membahas pilihan sistem proporsional terbuka atau tertutup di tulisan bulan lalu, saat ini penulis hendak membahas isu lain yang mengemuka dalam pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang sampai saat ini masih dibahas DPR dan pemerintah.

Isu tersebut adalah ambang batas perolehan suara partai politik dalam pemilu DPR atau kursi yang diperoleh di DPR yang harus dipenuhi sebagai salah satu persyaratan untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara singkat disebut sebagai ambang batas pilpres (presidential treshold).

Keberadaan ambang batas pilpres diatur dalam UU Pilpres yaitu memperoleh 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu DPR. Di dalam UUD 1945 memang tidak diatur tentang ambang batas ini. Namun, ambang batas yang telah digunakan sejak Pemilu 2004 ini didalilkan sebagai turunan dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memuat politik hukum mengarah pada sistem kepartaian sederhana.

Frasa ”pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik...” dimaknai sebagai kehendak agar terjadi penggabungan partai politik sehingga jumlah partai politik tidak terlalu banyak. Ada beberapa instrumen guna mencapai multipartai sederhana antara lain melalui pengaturan pembentukan partai politik, persyaratan mengikuti pemilu, electoral threshold,dan parliamentary threshold.

Dengandemikian, kedudukan ambang batas pilpres sebagai salah satu instrumen untuk mencapai politik hukum UUD 1945, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu, dua pendapat yang mengemuka terkait ambang batas pilpres adalah menghilangkan atau tetap menggunakan.

Pendapat yang menghendaki menghilangkan ambang batas pilpres mendalilkan hal itu sebagai konsekuensi putusan MK yang memutus pemilu serentak. Sedangkan yang mempertahankan ambang batas pilpres mendalilkan bahwa masalah ini kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

Putusan MK

Persoalan ambang batas pilpres memang menjadi salah satu materi permohonan pengujian undang-undang dalam perkara Nomor 14/ PUU-XI/2013, yaitu Pasal 9 UU Nomor 48 Tahun 2008. Dalam perkara tersebut, MK mengklasifikasikan permohonan perkara tersebut menjadi dua.

Pertama, terkait dengan penyelenggaraan pilpres setelah pemilihan umum anggota DPR (Pasal 3 ayat [5] UU Pilpres). Kedua, ketentuan yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pengajuan pasangan calon (Pasal 9, Pasal 12 ayat [1] dan ayat [2], Pasal 14 ayat [2], dan Pasal 112 UU Pilpres). Putusan MK memberikan pertimbangan lebih pada persoalan pertama, yaitu waktu penyelenggaraan pilpres.

MK mengabulkan permohonan pemohon bahwa pilpres secara konstitusional harus diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berdasarkan pertimbangan yang meliputi empat aspek, yaitu kaitan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

Untuk persoalan kedua, tentang tata cara dan persyaratan pengajuan pasangan calon, MK membagi menjadi dua. Terkait dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres,

MK menilai merupakan prosedur lanjutan dari penyelenggaraan pemilu serentak sehingga seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres menjadi pertimbangan pula terhadap pasal-pasal tersebut sehingga permohonan pemohon beralasan menurut hukum.

Di dalam amar putusan pun dinyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal itu berbeda dengan keberadaan Pasal 9 UU Pilpres yang menjadi dasar hukum ambang batas pilpres.

Pertimbangan hukum putusan MK menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pilpres merupakan kewenangan pembentuk UU dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945. Di dalam amar putusan pun tidak disebutkan Pasal 9 UU Pilpres sebagai bagian dari permohonan yang dikabulkan sehingga dengan sendirinya masuk dalam kategori permohonan yang ditolak sebagaimana dimaksud dalamangkatigaamar putusan. Karena itu, ketentuan ambang batas pilpres tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan masih memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pilihan Kebijakan Hukum

Pertimbangan hukum putusan MK dengan jelas menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pilpres adalah kewenangan pembentuk UU. Artinya, MK menyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Pertimbangan ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa ambang batas pilpres harus tetap ada karena merupakan perintah UUD 1945.

Di sisi lain, putusan MK juga tidak dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi untuk menyatakan bahwa ambang batas harus dihapuskan sebagai konsekuensidari pemiluserentak. Jika MK menghendaki demikian, pasti pertimbangan hukum terhadap Pasal 9 UU Pilpres akan dijadikan satu dengan ketentuan lain terkait dengan tata cara pengajuan calon dan pasti pula masuk di dalam amar putusan.

Ambang batas pilpres dapat dihilangkan dan dapat pula dipertahankan. Inisepenuhnya kewenangan pembentuk undangundang yang tentu saja harus mempertimbangkan aspek positif dan negatif dalam konteks sistem ketatanegaraan dan sistem politik berdasarkan UUD 1945 sehingga tidak semata-mata ditentukanolehkepentinganpraktis partai politik yang ada saat ini.

Jika hendak menghapuskan ambang batas pilpres, tentu harus dipertimbangkan risiko ketidakberhasilan pembentukan sistem multipartai sederhana. Setiap partai politik memiliki kecenderungan untuk mengajukan pasangan calon sendiri, tidak saja berharap kemungkinan akan berhasil memenangi pilpres, tetapi juga menjadi strategi untuk menarik dukungan pemilih untuk pemilu legislatif karena sentimen positif dari pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung.

Tentu diperlukan instrumen pengganti untuk penyederhanaan parpol. Hal ini juga membawa konsekuensi banyak pasangan calon yang akan menjadi peserta pilpres yang tentu saja berpengaruh terhadap kerumitan serta efisiensi pilpres itu sendiri. Jika mempertahankan ada ambang batas pilpres, persoalan yang harus dijawab utamanya adalah dari legitimasi perolehan kursi atau suara pemilu lima tahun sebelumnya yang dipertanyakan untuk sebagai persyaratan pada pemilu setelahnya karena belum tentu mencermin pilihan rakyat.

Selain itu, penggunaan ambang batas pilpres dengan pemilu serentak juga harus memperhatikan partai politik baru yang dengan sendirinya akan kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden karena belum mengikuti pemilu sebelumnya.

Apa pun pilihannya, kita berharap hal itu merupakan hasil dari pembahasan yang mempertimbangkan kepentingan konsolidasi ketatanegaraan nasional sesuai sistem yang dianut oleh UUD 1945. Kita juga berharap kebijakan hukum yang dipilih dapat diterapkan dan berlaku dalam waktu yang relatif lebih lama sehingga berdampak positif bagi sistem pemilu dan sistem kepartaian nasional.

Pancasila dan Hikmah Pilkada

Pancasila dan Hikmah Pilkada
Sudjito  ;    Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2012-2015
                                               KORAN SINDO, 28 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak baru saja usai. Betapapun daerah-daerah tertentu masih berlanjut ke putaran kedua, dari quick count telah dapat diketahui gambaran umum, siapa pemenangnya.

Panasnya suhu politik menjelang hari H pilkada, kini mulai mereda. Dengan harapharap cemas, pasangan calon maupun pemilih menunggu hasil akhir perhitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum. Saya kurang sreg dengan sistem pilkada ini. Selain karena rawan perpecahan, begitu mahal ongkos sosial (social cost) maupun ongkos finansial (financial cost) pesta demokrasi ini.

Sumber daya alam melimpah-ruah, dan berbagai proyek-proyek strategis, digadaikan kepada cukong- cukong demi tercukupinya biaya pilkada. Rakyat digusur dan digeser dengan alasanalasan irasional. Ketidakadilan sosial menjadi realitas masif, tanpa ada tanda-tanda penegakan hukum konsisten, berwawasan kebangsaan.

Keberpihakan aparat penegak hukum melalui ”permainan hukum” berlangsung semakin nekat. Benarkah realitas politik ”hitam- buram” ini cobaan, ujian, atau laknat bernegara? Bila kita mampu membaca sejarah kebangsaan dan kehidupan umatumat terdahulu dengan optik Pancasila, banyak hikmah-hikmah dapat diambil untuk bahan pendewasaan diri sehingga tidak tersandung kedua kali, sekaligus dapat dirajut kebersatuan bangsa.

Untuk diketahui, nilai-nilai Pancasila ada di Bumi Pertiwi ini sejak ratusan tahun silam. Karena kelalaian oknum-oknum penguasa terdahulu, demi takhta, nilai-nilai Pancasila dicampakkan. Demi kemenangan dalam perang saudara, dilibatkanlah kekuatan eksternal untuk membantu.

Melalui intervensi politik, ketika perang saudara usai dan dimenangkan, janji politik perlu dilunasi dengan penyerahan bagian- bagian wilayah kerajaan. Dominasi dan hegemoni politik berlanjut pada dekonstruksi hukumdibidangsumberdaya alam, kependudukan, dan sebagainya. Akibatitu, kedaulatannegara tergadaikan pada bangsa asing melalui kolonialisasi.

Oleh penjajah, nilai-nilai Pancasila yang telah mengakar pada agama-agama, adat-istiadat, dan budaya mulai ditenggelamkan dan digantikan nilainilai asing berkarakter individual-liberalistik. Para founding fathers, sebagai negarawan-negarawan generasi emas, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lainnya, ”sesak nafasnya, tertusuk hatinya” melihat realitas penjajahan itu.

Berbagai upaya dilakukan untuk pembebasan diri–di ranah politik, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan sebagainya–mulai dilakukan perjuangan terorganisasi. Nilai- nilai Pancasila–berkarakter komunalistik-religius, yang terbenam sedemikian dalam di dasar samudera–diangkat ke permukaan, disosialisasikan sebagai way of life, dan dirumuskan sebagai philosophischegroundslag.

Sejak saat itu, Pancasila mestinya dijadikan sumber inspirasi, fondasi, dan paradigma demokrasi, termasuk mendesain dan melaksanakan pilkada. Sistem pilkada pada era formasi ini bila dicermati seksama, banyak kemiripannya dengan sistem pengelolaan kekuasaan pada era awal penjajahan dan jauh dari Pancasila.

Itulah, saya tidak sreg dan mengajak bangsa ini bersikap kritis agar penjajahan oleh bangsa asing tidak terulang. Caranya bagaimana? Cara termudah adalah ber-Pancasila melalui pengamalan ajaran-ajaran agama secara tulus dan tidak sekali-kali ingkar terhadapnya. Bagi umat Islam, ada ajaran penuh hikmah bersumber hadits Rasulullah SAW.

Seorang sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Dijawabnya: ”Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sesudah mereka secara berurutan berdasarkan tingkat kesalehannya. Seseorang akan diberikan ujian sesuai dengan kadar agamanya.

Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun.” (HR Bukhari). Direntang pada persoalan pilkada, hadits di atas sejatinya menunjukkan bahwa pilkada merupakan ujian untuk penguatan jiwa kebangsaan.

Bagi pemerintah dan kepolisian serta penyelenggara, jadilah penguasa adil berjiwa kebangsaan, jauhi keperpihakan kepada salah satu kontestan. Bagi pemilih, bersikaplah cerdas, bersabarlah, dan terimalah dengan keikhlasan apa pun hasilnya. ”Menang aja umuk, kalah aja ngamuk ”, kata orang Jawa. Tidak perlu fitnahmemfitnah, menyebar hoax, ataupun bersikap berlebihan.

Tafakuri dan temukan hikmah dari apa pun yang terjadi. Dalam rangka ber-Pancasila melalui ajaran agama, kita ambil hikmah hadits Rasulullah SAW lainnya. Beliau pernah bercerita tentang pertemuan seorang laki-laki dengan seekor anjing pada sebuah sumur. Kisah perjumpaan dimulai ketika tenggorokan lelaki tersebut betul-betul kering.

Ia terus melangkah sepanjang perjalanan hingga ditemukan sebuah sumur. Ia terjun dan meminum air di dalamnya. Tenggorokan kembali basah, tenaganya sedikit bertambah. Saat keluar dari sumur, ia terperanjat. Di hadapannya berdiri seekor anjing dengan muka memelas. Nafasnya terengah-engah.

Lidahnya menjulur-julur. Anjing itu kehausan. Laki-laki tersebut menyadari bahwa anjing sekarat itu tak mungkin turun ke dalam sumur karena tindakannya bisa mencelakakannya. Seketika ia terjun kembali ke dalam sumur. Sepatunya dipenuhi air, dan naik lagi dengan beban dan tingkat kesulitan bertambah.

Lelaki itu bahagia bisa berbagi air dengan anjing. Apa selanjutnya yang terjadi pada lelaki itu? Rasulullah berkata, ”Allah berterima kasih kepadanya, mengampuni dosa-dosanya, lantas memasukkannya ke surga.” Indonesia akan menjadi surga dunia bila dalam pilkada semua pihak mampu berperilaku welas asih kepada sesama.

Status haram dan najis pada anjing tak boleh berbanding lurus dengan saling menghinakan dalam pilkada. Pilkada melibatkan interaksi antarmanusia, makhluk yang martabatnya lebih tinggi dari anjing. Kalau kepada anjing kita dapat menebar welas asih, pilkada perlu diterjemahkan sebagai aktivitas politik berbasis Pancasila. Wallahualam.

Imagologi Politik Raja Salman

Imagologi Politik Raja Salman
Asep Salahudin  ;    Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
                                           MEDIA INDONESIA, 28 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TENTU saja setiap tamu harus dihormati. Ini bukan hanya ajaran Islam, melainkan juga ajaran setiap agama bahkan juga kearifan lokal menyampaikan pesan yang sama. Apalagi tamu negara. Kedatangannya bukan hanya mewakili negara itu, melainkan juga melekat interaksi simbolis dengan makna yang luas. Di belakangnya terhampar kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Menjadi menarik ketika yang datang itu ialah Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud. Dalam seminggu terakhir, isu kedatangannya menjadi berita utama banyak koran, dipercakapkan media sosial secara gempita. Tidak sedikit ulasan bermunculan dikaitkan baik dengan urusan investasi ataupun sentimen keagamaan yang memang dalam dua bulan terakhir ini mengalami ‘kebangkitan’.

Ada bebarapa catatan penafsiran tentang kedatangan Raja Salman mengapa mendapatkan perhatian luas dari masyarakat. Pertama, kunjungannya ke Indonesia melibatkan rombongan yang banyak, yaitu membawa 1.500 orang, 10 menteri, dan 25 pangeran. Dari pihak Indonesia, pasukan TNI dan Polri telah menyiapkan 1.000 pasukan gabungan untuk mengamankan sang raja. Pengamanan itu terdiri dari 2/3 kekuatan Polresta Bogor dan Polda Jawa Barat serta anggota TNI.

Kunjungan dengan jumlah rombongan besar dan pengamanan ketat ini saja sudah mengundang perhatian. Raja Salman dalam hal ini seolah mengingatkan kita betapa konsep diri seorang ‘raja’ kehadir­annya tidak bisa melepaskan diri dari ‘pengawal’. Kekuatan raja itu justru terletak dari kesetiaan para pengawal dan lingkaran dalamnya yang taklid kepada sosoknya. Apalagi Arab Saudi dikenal sebagai negara yang nyaris tidak tersentuh tsunami ‘musim semi Arab’. Negara yang kaya dari hasil minyak dengan mengoperasikan sistem monarki yang tertutup, otoriter, dan sama sekali tidak memberikan peluang bagi munculnya kekuatan oposisi. Semua berada dalam kontrol negara (raja).

Ingatan sejarah

Kedua, kedatangan Raja Salman merupakan kunjungan pertama Raja Arab Saudi semenjak 47 tahun terakhir setelah Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud. Seperti disampikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, “Tentu kan itu pertamanya membalas kunjungan presiden Indonesia yang sudah berkali-kali, barangkali presiden Indonesia sudah 25 kali ke Arab Saudi.”
Raja Faisal dalam ingatan banyak negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim, tercatat sebagai raja yang menerapkan sistem islami, tidak suka hura-hura, dan memiliki perhatian besar terhadap perkembangan dunia Islam, ilmu pengetahuan, dan pentingnya kerja sama di antara negara-negara Islam.

Faisal lahir pada 1906 dan anak ketiga Raja ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman as-Saud, pendiri negara monarki Arab Saudi. Beliau keturunan Bani Tamim dan memiliki talian kekeluargaan dengan suku terkuat, Bani Quraish. Raja Faisal banyak berjasa terhadap negara Arab. Dia dipandang sebagai penyelamat keuangan negara, melakukan modernisasi pendidikan, menggelorakan pan-Islamisme, antikomunis, dan sangat mendukung kemerdekaan Palestina. Dampaknya pascakedatangan Raja Faisal, Presiden Soeharto seolah mendapatkan energi untuk juga melakukan kecaman keras kepada Israel. Secara terbuka bangsa Indonesia memberikan dukungan penuh terhadap negara-negara Arab melawan agresi Israel.

Tidak mengherankan kalau Raja Faisal juga mendapat sambutan meriah dari rakyat Indonesia yang sedang meniti babak baru kehidupan negara setelah terlepas dari rezim Orde Lama. Presiden Soeharto menerima rombongan Raja Faisal bin Abdulaziz langsung pada 10 Juni 1970 di Bandara Internasional Kemayoran. Seperti disampaikan Salim Segaf al-Jufrie bahwa kunjungan Raja Faisal membuka babak baru hubungan kedua negara. Hubungan kedua negara dimulai pada 1950 setelah pembukaan Kedubes RI di Jeddah.

Kebangkitan kaum puritan

Ketiga, apakah kedatangan Raja Salman berkaitan dengan konstelasi politik Tanah Air yang akhir-akhir ini, minimal dicitrakan dengan aksi 212 dan seterusnya, melambangkan tentang kebangkitan kaum puritan yang sering kali secara sederhana dihubungkan dengan wahabisme yang berpusat di Arab Saudi?

Tentu pertanyaan ini menarik ditelaah. Mungkin bagi kelompok puritan, kedatangan Raja Salman seolah menjadi oksigen baru yang memompakan spirit perjuangannya. Kedatang­annya dari tanah kelahiran nabi seakan memberikan dukungan moral kepada kaum fundamentalis, apalagi dalam pikiran yang mengendap dalam isi kepala mereka konstruksi Arab Saudi (Islam) selalu diperhadapkan dengan Tiongkok yang dipandang komunis.

Bagi saya, kalau membaca dari kacamata pemerintahan kedua negara, kedatangan Raja Salman tidak ada hubungannya dengan urusan pilgub DKI Jakarta atau politik Islam yang diartikulasikan dalam bentuk arak-arakan. Kedatangannya murni adalah urusan ekonomi. Seperti disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, “Ada proyek lain yang akan ditandatangani kurang lebih sebesar US$1 miliar. Presiden berharap investasi Arab Saudi tembus mencapai US$25 miliar.” Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat sepanjang 2016 Arab Saudi hanya merealisasikan investasi sebesar US$900 juta. Sementara itu, Singapura saja mencatatkan angka investasi US$9,17 miliar sebagai negara penanam modal terbesar.

Tapi baiklah. Bangsa kita memang termasuk masyarakat dengan tingkat syahwat politik tinggi. Sayang politik yang dikembangkan sering kali ngawur, di luar konteks dan cenderung pada titik tertentu melambangkan sikap rendah diri ketika menghadapi bangsa lain. Inilah yang saya sebut sebagai politik imagologi. Politik dangkal yang lebih mengedepankan fantasi ketimbang esensi, lebih mendahulukan khayalan daripada fakta di lapangan. Politik partisan yang berhenti sebatas karnaval dan propaganda ideologis.

Jurgen Habermas menyebut imagologi sebagai pemiskinan politik (impoverishment of politics) yang hanya berujung pada penciptaan ruang publik palsu (pseudo-public sphere). Dalam ruang publik seperti ini, yang ada bukan kekuatan hujah melainkan sengaknya hujatan, serbamanipulatif, dan penuh kebencian.

Penguatan Hubungan Indonesia-Timur Tengah

Penguatan Hubungan Indonesia-Timur Tengah
Ibnu Burdah  ;    Koordinator S-2 dan S-3 Kajian Timur Tengah
Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
                                           MEDIA INDONESIA, 28 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RAJA Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud direncanakan berkunjung ke Indonesia pada 1-9 Maret. Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, kedatangan Raja Salman disertai rombongan besar, termasuk sejumlah pangeran dan keluarga kerajaan, puluhan menteri, dan pejabat tinggi, serta pengusaha. Kunjungan itu sungguh bermakna mengingat sudah hampir setengah abad tak ada satu pun raja Saudi datang ke Indonesia. Dalam konteks ini, pembicaraan tentang penguatan hubungan Indonesia dengan Timur Tengah secara umum penting diperbincangkan lagi.

Selama ini, hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah secara umum termasuk Arab Saudi berjalan baik-baik saja. Hubungan itu terutama diikat keislaman. Mayoritas penduduk Indonesia ialah muslim dan mayoritas penduduk negara-negara Arab, kecuali Libanon dan Israel, juga muslim. Hubungan itu telah berjalan sangat lama bahkan jauh sebelum ‘konsep’ Indonesia itu ada. Hingga kini, hubungan itu terpelihara dengan baik. Hubungan itu historis dan mendalam, bahkan sering dibumbui emosi yang kuat dan berlebihan.

Namun, dalam dan kuatnya hubungan itu belum melahirkan kerja sama produktif yang bermanfaat luas bagi kedua pihak. Indonesia hingga sekarang menekankan hubungan ‘produktifnya’ dengan lingkar ASEAN dan Pasifik. Tiongkok menjadi ‘kiblat’ baru kerja sama Indonesia. Sementara itu, negara-negara Timteng juga mengarahkan kerja sama strategis mereka dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Dengan kata lain, hubung­an Indonesia-Timteng sangatlah miskin produktivitas kendati telah berlangsung lama, penuh semangat, dan penuh bumbu basa-basi ‘persaudaraan’.

Praksis keislaman

Hubungan lama yang dilandasi semangat keagamaan kerap kali menciptakan ketimpang­an hubung­an di antara kedua pihak. Timteng bagaimanapun ialah asal usul Islam. Karena itu, tak aneh juga jika orang sana, khususnya Arab, merasa lebih muslim dan memiliki Islam jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia, kendati praksis keislaman mereka juga biasa-biasa saja. Pikiran sebagian besar orang Indonesia barangkali juga memperkuat itu, mengidentikkan Arab dengan Islam kendati keduanya tidaklah sama.

Karena itu, dalam konteks keislaman selama ini, Arab memersepsikan dirinya bahkan juga dipersepsikan sebagian bangsa kita sebagai center. Sementara itu, kita, bangsa Indonesia, dipersepsikan orang Arab, bahkan memersepsikan diri, sebagai pinggiran. Sikap yang muncul dari pandangan ini mudah ditebak, yang satu superior dan yang lain inferior. Celakanya, ketimpangan hubung­an itu kemudian masih diperparah lagi dengan eksplorasi minyak yang membawa kemakmuran seperti tanpa batas bagi sejumlah negara Arab. Tiba-tiba negara-negara itu berlimpah kemakmuran, bahkan seperti kebingungan mencari tempat menabung dan menginvestasikan uang. Mereka memiliki modal begitu melimpah sementara kita sangat memerlukan modal. Hubungan ‘klasik’ yang sudah timpang itu dalam beberapa dekade terakhir ini semakin bertambah timpang.

Itu pun masih diperparah image yang terbentuk dari pergaulan mereka dengan para tenaga kerja kita di sana. Kebetulan atau tidak, sebagian besar tenaga kerja kita di sana memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang pas-pasan. Banyak di antara para pekerja kita ialah pekerja rumah tangga atau buruh di sektor lain. Fakta itu semakin memperparah persepsi mereka tentang bangsa Indonesia. Penulis merasakan benar hal itu saat tinggal beberapa lama di beberapa negara Arab. Persepsi center-pinggiran kemudian berkembang menjadi persepsi lebih menjijikkan, yaitu relasi ‘bos-jongos’.

Langkah taktis

Oleh karena itu, diperlukan upaya serius, sungguh-sungguh, sistematis, dan melibatkan banyak pihak untuk menyetarakan dan memperkuat produktivitas hubungan kedua pihak. Pertama, pencarian landasan. Kenyataan hubungan Indonesia-Timteng dilandasi semangat keislaman ialah fakta. Itu tak bisa ditolak. Namun, sebagai bangsa dengan penduduk mayoritas muslim, Indonesia perlu menunjukkan citra keislaman yang berkelas dengan menunjukkan prestasi kita yang tak (baca: belum) dimiliki mereka. Di antaranya ialah keberhasilan dalam penyandingan Islam dan demokrasi di dalam praktik bernegara.

Politik luar negeri Indonesia idealnya mencitrakan postur diri sebagai negara muslim moderat dengan demokrasi yang kuat. Kita ialah negara muslim demokrasi terbesar. Kenyataannya memang demikian, landing demokrasi kita jauh lebih indah jika dibandingkan dengan landing negara Arab mana pun. Kita juga landing jauh lebih awal, setidaknya 13 tahun lebih awal. Selama ini, citra itu kurang tampak dari Indonesia dalam pergaulannya di forum internasional, khususnya dengan negara-negara Arab. Landasan keislaman demikian yang perlu ditegaskan di samping landasan pelaksanaan prinsip dan pemenuhan kepentingan sebagaimana lazimnya hubung­an antarnegara.

Kedua, masyarakat Timteng itu secara umum ditandai dengan ciri paternalistisnya yang kuat. Oleh karena itu, pembangunan hubungan itu akan sangat efektif jika dilakukan dari atas. Membangun kesan baik di mata para pucuk pemimpin negara di sana ialah langkah sangat penting dan tak bisa ditunda-tunda. Itu hanya bisa dilakukan jika pemimpin tertinggi negeri ini mau melakukan kunjungan ke negara mereka atau sebaliknya seperti sekarang ini. Bagi mereka, kunjungan Presiden Jokowi ke sejumlah negara Timur Tengah pada September 2015 ialah kehormatan dan penghargaan. Jadi, presiden harus blusukan tak hanya ke Doha, Riyadh, dan Abu Dabi, tetapi juga ke Kairo, Rabat, Ankara, Teheran, dan lain-lain untuk membangun hubungan yang personal dengan para pemimpin di sana. Keberhasilan itu akan sangat berarti bagi perluasan, intensifikasi, dan peningkatan produktivitas kerja sama dengan mereka.

Ketiga, pada level diplomasi publik. Hubungan itu perlu diperluas dan diintensifkan dengan melibatkan seluas dan sebanyak mungkin aktor dari masyarakat dalam banyak bidang. Jalur diplomasi publik itu sangatlah luas. Kunjungan Raja Salman dengan rombongan besar ini diharapkan bisa menjadi titik tolak baru dalam membangun hubungan Indonesia-Timur Tengah yang lebih kuat, produktif dan se­tara. Wallahu a’lam.

Scopus, ISI-Thomson, dan Predator

Scopus, ISI-Thomson, dan Predator
Terry Mart  ;    Dosen Fisika FMIPA UI;  Anggota AIPI
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 mewajibkan seorang profesor dalam tiga tahun menghasilkan satu karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi, atau tiga karya ilmiah di jurnal internasional, serta menulis satu buku. Jika tidak, maka tunjangan kehormatan akan dihentikan. Hal yang mirip, tetapi lebih lunak, juga diberlakukan kepada dosen dengan jabatan lektor kepala. Untuk bidang-bidang tertentu, karya ilmiah tersebut dapat diganti paten atau karya monumental.

Peraturan baru ini memicu pelbagai diskusi. Tampaknya masalah penulisan buku jarang diributkan, yang sering diributkan adalah menulis di jurnal internasional bereputasi. Penyebabnya jelas, definisi jurnal internasional bereputasi sangat robust (kokoh) dan harus terindeks oleh basis data Scopus.

Satu dekade lalu saya mengkritik penggunaan faktor dampak (impact factor) salah satu produk pengindeks ISI-Thomson (Counting Papers, Symmetry 2006). Beberapa tahun kemudian merebak isu jurnal predator, jurnal abal-abal yang dieksploitasi untuk keuntungan finansial bagi si pembuat (Kompas, 2/4/2013).

Kemudahan pembuatan jurnal predator dipicu oleh pesatnya perkembangan internet dan munculnya sistem jurnal open access. Jumlah penerbit jurnal predator pun meledak, hampir mencapai 1.000 penerbit pada akhir 2016. Bayangkan berapa banyak jumlah jurnal predator jika setiap penerbit rata-rata menghasilkan 100 jurnal!

Indeks Scopus

Belakangan Dirjen Dikti menggunakan pengindeks Scopus sebagai acuan jurnal internasional bereputasi. Dengan bantuan Scopus, para pembuat kebijakan, panitia penilai kepangkatan, serta pemberi insentif publikasi sangat terfasilitasi. Penggunaan Scopus mungkin merupakan jalan tengah, mengingat ISI-Thomson sangat ketat sehingga hanya jurnal-jurnal papan atas yang terindeks. Hampir seluruh jurnal yang diindeks ISI-Thomson juga diindeks oleh Scopus. Meski demikian, Scopus memiliki beberapa kelemahan.

Misalnya, Scopus adalah bagian dari Elsevier, penerbit ribuan jurnal ilmiah yang berpusat di Belanda. Scopus juga progresif memasukkan jurnal ke dalam basis data mereka sehingga cukup banyak jurnal kurang pantas dan predator ikut terindeks.

Baru-baru ini kita dihebohkan dengan lenyapnya blog Jeffrey Beall yang memuat kriteria, daftar jurnal, dan penerbit predator. Belum ada penjelasan mengapa laman tersebut tiba-tiba hilang.

Yang jelas jurnal abal-abal akan terus bertambah dan definisi jurnal predator akan tergerus. Pemerintah dan akademisi akan direpotkan dengan makalah abal-abal yang diklaim terbit di jurnal internasional.

Tentu saja jalan keluar yang mudah adalah kembali ke Scopus atau mulai menggunakan basis data ISI-Thomson.

Menarik untuk diamati bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sangat antisipatif menghadapi kerunyaman ini. Jauh sebelum lenyapnya blog Jeffrey Beall, LIPI sudah mengusulkan jurnal internasional yang dapat dinilai dibagi dalam lima peringkat, yaitu jurnal dengan peringkat Q1 hingga Q4 versi ISI-Thomson, sementara di peringkat kelima adalah jurnal yang hanya terdaftar di Scopus dengan terbitan perdana sebelum 2003.

Definisi LIPI dapat saja diadopsi untuk perguruan tinggi (PT). Namun, atmosfer PT yang egaliter mungkin sulit menerima ini. Dibutuhkan definisi baru yang bebas Scopus, ISI-Thomson, dan sekaligus jurnal predator.

Definisi yang lebih hakiki

Apa tujuan paling hakiki dari publikasi karya ilmiah? Jawaban sederhana tapi operasional adalah guna memberi tahu kepada kolega sebidang bahwa si penulis karya ilmiah telah mendapatkan satu temuan penting dari penelitiannya. Dalam banyak kasus, hanya kolega yang penelitiannya sama atau mirip saja yang dapat benar-benar paham. Di sini mulai terasa pentingnya eksistensi komunitas peneliti sebidang dalam memajukan ilmu mereka.

Sebagai peneliti yang baik, seorang dosen tentu mengenal komunitas bidang ilmunya di tingkat nasional ataupun internasional. Sebab, dari waktu ke waktu, ia harus selalu meng-update diri dengan rutin membaca karya-karya ilmiah di bidangnya. Tentu saja masalah apakah ia dikenal atau terkenal di komunitas dapat dianggap pertanyaan sekunder karena sangat bergantung pada produk penelitiannya. Jadi, dosen tadi tahu persis siapa yang aktif atau bahkan leading (memimpin dan menjadi acuan) dalam bidangnya di tingkat nasional ataupun internasional.

Boleh dikatakan, tidak ada yang tahu persis kontribusi seorang ilmuwan kecuali komunitasnya. Mereka yang leading di komunitas tentu saja merupakan pakar bidang tersebut.

Dengan demikian, jurnal internasional bereputasi untuk satu bidang ilmu adalah jurnal tempat para pakar internasional bidang tersebut memublikasikan karya ilmiahnya. Analog untuk jurnal nasional bereputasi. Definisi ini perlu diperjelas ke tingkat yang lebih operasional.

Hampir setiap bidang ilmu memiliki organisasi atau asosiasi bidang ilmu. Karena mereka yang aktif meneliti umumnya menjadi anggota asosiasi tersebut, asosiasi suatu bidang ilmu berperan penting dalam mengarahkan pengembangan bidang tersebut.

Hampir semua asosiasi menerbitkan jurnal ilmiah yang menjadi rujukan anggotanya. Dengan demikian, jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh asosiasi bidang ilmu yang sudah mapan dan menjadi rujukan peneliti dunia dapat dipakai sebagai jurnal internasional bereputasi primer karena di sanalah para pakar bidang tersebut berkiprah.

Umumnya, negara-negara maju memiliki asosiasi seperti ini. American Chemical Society, American Geophysical Union, dan American Medical Association adalah contoh asosiasi dari Amerika. Dari belahan lain ada Japan Physical Society dan European Physical Society.

Bagaimana dengan jurnal-jurnal dari penerbit komersial, seperti Elsevier, Springer, dan Wiley? Di sini kita membutuhkan definisi jurnal internasional bereputasi sekunder.

Apakah jurnal-jurnal tersebut juga dirujuk atau menjadi tempat publikasi para pakar internasional di atas? Jika jawabnya ya, maka jurnal-jurnal komersial ini haruslah sering dirujuk oleh jurnal internasional bereputasi primer. Dengan definisi yang lebih operasional, jurnal-jurnal tersebut haruslah sering ditemukan pada daftar acuan (referensi) jurnal internasional bereputasi primer. Idealnya, dengan definisi di atas, kita dapat menciptakan sistem pengindeksan sendiri, bebas dari Scopus dan Thomson.

Seorang kolega dari bidang filsafat bercerita bahwa mereka lebih memilih menulis buku ketimbang menulis di jurnal ilmiah. Ketika di kampus kami diluncurkan program dosen inti penelitian, terlihat bahwa peneliti di bidang sains, teknologi, dan kedokteran lebih memilih jurnal ilmiah sebagai tempat publikasi, sementara untuk bidang lain penulisan buku menjadi favorit.

Jadi, mungkin lebih baik kewajiban menulis di jurnal dan buku dalam peraturan di atas diganti dengan jurnal atau buku.