Selasa, 31 Januari 2017

Rekonsiliasi Kebangsaan

Rekonsiliasi Kebangsaan
Farouk Muhammad  ;  Wakil Ketua DPD RI
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sepanjang tahun 2016 terjadi berbagai peristiwa yang sesungguhnya menguji rasa dan semangat kebangsaan kita, mulai dari bencana alam hingga bencana sosial. Tepatlah kiranya jika 2016 menjadi tahun refleksi bencana bagi bangsa Indonesia. Refleksi ini diharapkan dapat mengokohkan rasa dan semangat kebangsaan kita di tahun 2017 dan seterusnya sehingga tidak saja mampu menyelesaikan berbagai masalah internal, tetapi juga menghadapi tantangan dan ancaman eksternal dan meraih kemajuan bagi Indonesia. Dalam artikel singkat ini, penulis mengulas faktor-faktor yang memengaruhi tumbuh- kembangnya semangat kebangsaan serta menekankan pentingnya rekonsiliasi semangat itu melihat berbagai peristiwa yang terjadi selama 2016 lalu.

Bencana alam yang datang silih berganti selama 2016 menyebabkan kerugian materi dan nonmateri yang besar. Sejumlah wilayah bahkan mengalami kerusakan parah dengan korban jiwa yang cukup besar, antara lain gempa bumi di Aceh dan banjir bandang di Bima, Nusa Tenggara Barat. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tahun 2016 mencatatkan rekor baru jumlah kejadian bencana—sejak 2002—dengan 2.342 kejadian, meningkat 35 persen dari tahun 2015 (1.732 kejadian). Tentu catatan ini harus mendorong seluruh warga bangsa untuk mawas diri dan lebih dari itu membutuhkan solidaritas kebangsaan yang semakin kuat guna membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.

Seiring dengan tingginya bencana alam sepanjang 2016 itu, Indonesia juga menghadapi bencana sosial yang serius, berupa menguatnya kekhawatiran dan kecemasan masyarakat atas sejumlah isu (terorisme, narkoba, bangkitnya komunisme, masifnya tenaga kerja asing) serta terjadinya perbedaan persepsi yang tajam di masyarakat dalam memaknai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa.

Faktor kebangsaan

Semangat kebangsaan tidak berada dalam ruang hampa. Ia dipengaruhi banyak faktor: kondisi ekonomi, sosial, politik, hukum, dan keamanan. Kemampuan negara (pemerintah) untuk menjaga dan menghadirkan stabilitas atas faktor-faktor itu memengaruhi tumbuhnya semangat kebangsaan di kalangan rakyat. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang sulit (kemiskinan, pengangguran, disparitas), sosial politik yang tidak kondusif (otoriter/represif, intoleran, konfliktual), hukum yang tidak tegas dan berkeadilan, serta keamanan yang rentan (kecemasan, rasa tidak aman dan tidak nyaman) menjadikan semangat kebangsaan memudar atau bahkan menjadi ancaman bagi kebangsaan itu sendiri.

Jika kita evaluasi kondisi ekonomi selama dua tahun ini, memang masih menampakkan pertumbuhan yang relatif aman, dalam artian di tengahekonomi dunia yang kurang baik masih bisa menjaga pertumbuhan pada angka 5,02 persen. Meski kita juga tidak menutup mata bahwa secara kualitas pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dan masih jauh dari pemenuhan target pertumbuhan 7 persen seperti dijanjikan Jokowi-Kalla sampai tahun 2019.

Bahkan, jika kita telisik kualitas pertumbuhannya, kita akan mendapati realitas yang tidak terlalu menggembirakan. Angka kemiskinan dan pengangguran justru bertambah. Sementara rasio gini juga tidak banyak berubah (tetap tinggi). Berdasarkan dataBadan Pusat Statistik (BPS) pada awal Februari 2016, jumlah orang miskin naik dari 27,73 juta jiwa (10,96 persen jumlah penduduk) pada September 2014 menjadi 28,51 juta (11,13 persen) pada September 2015.

Padahal, Nawacita Presiden Jokowi yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menargetkan angka kemiskinan sebesar 9-10 persen, tetapi pencapaian angka kemiskinan masih lebih besar dari yang ditargetkan. Realisasi angka kemiskinan hingga Maret 2016 sudah menurun menjadi 10,86 persen (28,01 juta jiwa) dibandingkan dengan angka kemiskinan pada 2014 dan 2015, tetapi jumlah penduduk miskinnya (28,01 juta jiwa) masih lebih besar daripada jumlah penduduk miskin tahun 2014 (27,73 juta jiwa).

Pada periode yang sama, angka rasio gini gabungan antara perkotaan dan pedesaan sedikit menurun dari 0,414 menjadi 0,402. Angka tersebut masih tinggi karena masih berada di atas 0,40. Angka ini menggambarkan tingkat ketimpangan yang cukup parah antara penduduk kaya dan penduduk miskin.Selaras dengan data BPS tersebut, Bank Dunia tahun 2015 melansir laporan berjudul ”Indonesia’s Rising Divide” yang memaparkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia semakin melebar dan bergerak cepat.

Dari segi kekayaan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang terkaya tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50 persen lagi diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias 247,5 juta jiwa. Angka ini menjadi dilema tersendiri, sudah bisa dipastikan angka 1 persen orang terkaya di Indonesia tidak ada yang mewakili kepentingan masyarakat. Bahkan sebaliknya, angka 99 persen penduduk yang hanya menguasai 50 persen kekayaan sudah bisa dipastikan dari kalangan masyarakat kebanyakan.

Begitu pula dengan angka pengangguran, berdasarkan data BPS pada triwulan III tahun 2016, angka pengangguran terbuka masih sekitar 7,02 juta orang (5,5 persen). Persentase tingkat pengangguran terbuka selama dua tahun terakhir juga masih belum mencapai target RPJMN. Target tingkat pengangguran terbuka pada RPJMN 2015-2019 sebesar 5,0-5,3 persen. Lebih memprihatinkan lagi, angkatingkat elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah 107.206 tenaga kerja dalam setiap 1 persen pertumbuhan, angka tersebut belum sebanding pada tahun 2004, di mana setiap 1 persen pertumbuhan mampu menyerap 400.000 tenaga kerja.

Artinya, kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah selama ini ternyata belum berdampak terhadap pembukaan lapangan kerja secara masif. Apalagi nanti dengan adanya kebijakan pelonggaran masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia, hal itu akan semakin mempersempit ruang lingkup tenaga kerja lokal.

Sementara itu, kondisi politik dirasakan masih terfragmentasi pada kepentingan sesaat ketimbang kepentingan nasional. Elite politik dinilai masih terjebak dalam kontestasi kepentingan pragmatis/oportunis. Kekuasaan tidak sedikit yang disalahgunakan untuk kepentingan kelompoknya, bersikap represif dan anti kritik, sehingga publik semakin jemu dan yang lebih berbahaya kehilangan panutan/keteladanan pemimpin. Kondisi ini bisa mendorong perilaku masyarakat yang semaunya sendiri (tidak taat aturan dan acuh tak acuh), entoh para elite, juga berperilaku semaunya sendiri. Apabila hal ini diikuti oleh kondisi penegakan hukum yang inkonsisten, politicking, tidak supremasi hukum, tebang pilih, ”tajam ke atas tumpul ke bawah”, lengkap sudah prasyarat hilangnya kepercayaan (distrust) kepada elite dan aparat pemerintah.

Pada lanskap keamanan, ancaman terorisme seolah tak berkesudahan dan menghantui kehidupan masyarakat. Sudah banyak (tertuduh) pelaku teror yang ditangkap, tetapi ancaman tak kunjung berhenti sehingga meninggalkan tanya soal efektivitas pemberantasan terorisme dan upaya deradikalisasi.

Isu kebangkitan kembali paham/ideologi komunisme merupakan ancaman terhadap ideologi negara. Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) masih berlaku. Oleh sebab itu, segala hal yang berbau paham komunis merupakan hal terlarang. Tentu isu ini harus direspons sigap oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dengan mendorong masyarakat melaporkan indikasi bangkitnya ideologi ini dan menyerahkan pada proses hukum, bukan dengan main hakim sendiri.

Selanjutnya, isu masifnya TKA dipersepsi mengancam kemandirian ekonomi, apalagi dihadapkan pada serapan tenaga kerja dalam negeri yang rendah yang menyebabkan tingginya pengangguran/kemiskinan. Hal ini perlu respons yang bijak dari pemerintah karena bisa berdampak pada stabilitas sosial, kecemburuan di masyarakat, bahkan konflik fisik. Terlebih ditemukan maraknya pelanggaran hukum imigrasi dalam kasus ini (TKA ilegal). Kebijakan pelonggaran investasi dan arus orang (bebas visa 169 negara) hendaknya dievaluasi secara komprehensif sehingga meminimalkan ekses negatif dan kontraproduktif bagi kedaulatan dan kemandirian (ekonomi) negara.

Kita semua berharap pemerintah hadir dan menjawab kekhawatiran dan kecemasan atas berbagai isu di atas dengan data yang akurat dan komunikasi yang tepat kepada masyarakat sehingga bisa dipahami agar tak makin eskalatif dan kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun jika isu itu nyata terjadi agar pemerintah bisa mengambil langkah-langkah tepat dan terukur sehingga rakyat merasakan kehadiran dan keseriusan negara merespons ancaman ideologi dan kedaulatan Indonesia.

Jika pemerintah tidak aware dan tidak sensitif terhadap hal itu, dikhawatirkan bisa mengarah pada kondisi disorganisasi yang pada gilirannya menyebabkan krisis sosial politik. Akibatnya, semangat kebangsaan bukan hanya sulit ditumbuhkan, melainkan juga akan mengalami destruksi yang mengkhawatirkan.

Tidak boleh dilupakan, ada satu peristiwa besar yang terjadi di pengujung 2016, yaitu aksi demonstrasi rakyat (khususnya umat Islam) dengan jumlah peserta yang sangat besar dalam skala aksi yang luas di sejumlah daerah. Saat ini berkembang satu kondisi kebangsaan yang seolah terbelah (terfragmentasi) dan disharmoni yang jika dibiarkan terus terjadi tentu kontraproduktif bagi masa depan kebangsaan kita.

Momentum konsolidasi

Semua rentetan peristiwa berikut refleksi kondisi kebangsaan itu menguji kita bersama sebagai warga bangsa, apakah kita mampu melewati ujian itu dan mengambil pelajaran untuk memperkuat kebangsaan atau kita justru larut dalam perpecahan, larut dalam sikap pragmatis dan oportunis, lebih mementingkan ego pribadi/kelompok daripada kepentingan bangsa. Tahun 2017 harus kita songsong dengan optimisme. Segenap pihak, terutama elite Republik, harus menampakkan jiwa kepemimpinan dan kenegarawanan.

Pemimpin harus berdiri di antara seluruh rakyatnya, menjadi pemersatu sekaligus inspirator bagi semangat kebangsaan. Jangan mempertuankan kepentingan pragmatis dan oportunis dalam menjalankan kekuasaan yang diamanahkan. Tunjukkan etika luhur dalam praktik politik ketatanegaraan.

Kita perlu satu momentum untuk merekonsiliasikan semangat kebangsaan dari seluruh rakyat dan kita berharap inisiatif tersebut lahir dari para pemimpin, baik formal maupun informal, di semua level negara. Rekonsiliasi semangat kebangsaan ini harus dimulai dengan semangat persatuan bukan permusuhan, semangat penghormatan bukan penistaan, semangat kebinekaan bukan penyeragaman, semangat tenggang rasa bukan kebencian. Jangan terus mempertajam pertentangan isu Bhinneka Tunggal Ika, intoleran, dan lain-lain yang sesungguhnya hanya terbentuk dari kesalahmaknaan yang membuat perbedaan persepsi.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, proses sosial berikutnya adalah terjadinya disorganisasi bahkan disintegrasi yang di-”bakar” oleh konflik horizontal. Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah membangun kebersamaan menghadapi ancaman eksternal (narkoba, Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS, terorisme, tenaga kerja asing, komunisme, dan lain-lain). Ingat, kita merdeka dan bersatu sangat dipicu oleh semangat melawan penjajahan.

Sejalan dengan itu semua, kita berharap komitmen negara untuk menghadirkan ekonomi yang berkualitas dalam pemerataan, pengentasan warga dari kemiskinan, pengangguran, dan disparitas. Negara harus menjamin penegakan hukum yang berkeadilan, rasa aman dan nyaman, serta kebijakan pemerintah yang obyektif dan profesional terhadap kepentingan publik sehingga rakyat memiliki kepercayaan kepada negara, merasa dilindungi dan dilayani, sebaliknya tidak merasa didiskriminasikan dan/atau dimarjinalkan secara struktural. Hanya dengan cara itulah rekonsiliasi semangat kebangsaan dapat terwujud dengan baik. Semoga! ●

Pancasila dalam Musik

Pancasila dalam Musik
Yudi Latif  ;  Anggota Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Semua kekusutan dan kekisruhan yang mewarnai kehidupan negeri boleh jadi karena kita tidak cukup menerima olah batin. Demokrasi dirayakan dengan pesta jorjoran, miskin substansi dan refleksi; budaya dipadati tontonan ingar-bingar, kurang tuntunan etis dan estetis; agama diekspresikan dalam kerumunan dan kebisingan, miskin perenungan dan penghayatan.

Ruang publik disesaki sampah ucapan dengan menyisakan sedikit kerendahan hati untuk diam-mendengar. Untuk penjernihan, kita harus keluar dari kegaduhan menuju kesunyian. Jalaluddin Rumi berkata, ”Hening adalah lautan. Ucapan adalah sungai. Saat lautan mencarimu, jangan melangkah memasuki sungai. Dengarkanlah lautan.”

Kalaupun harus memasuki sungai, masukilah aliran sungai suara yang bening; tempat orang menemukan air jernih yang bisa digunakan untuk membersihkan diri. Bahasa musik yang sanggup menembus batas-batas ego-mental dengan kemampuannya menyentuh kedalaman hati bisa digunakan sebagai sarana olah batin. Manakala kita sulit dipertemukan dalam ucapan verbal, musik bisa digunakan sebagai sarana sambung rasa.

Di tengah krisis kebangsaan, kita patut mengapresiasi inisiatif sejumlah musisi yang menawarkan cara pengucapan berbeda. Bukan ucapan verbal yang memancing cekcok tafsir dan pertikaian, melainkan ucapan nada yang menyentuh perasaan yang membawa segala perbedaan menuju persatuan Indonesia. Seruan persatuan nasionalnya akan lebih kuat jika tagline-nya bukan ”Satu Indonesiaku”, melainkan ”Satu Indonesia Kita”; seraya menyertakan musisi yang lebih inklusif, termasuk penyanyi dengan busana bernuansa keagamaan yang khas (semacam berhijab).

Sosialisasi nilai Pancasila lewat musik bisa menjadi alternatif dari kecenderungan yang terlalu menekankan dimensi kognitif-normatif dengan pendekatan intelektualistis yang kering. Kekuatan suatu ideologi bukan hanya terletak pada kebernasan dan relevansi ide-idenya, melainkan juga pada kapasitasnya untuk memberikan inspirasi dan membangkitkan gairah (passion) untuk bertindak.

Kita memerlukan proses pembudayaan Pancasila secara holistik. Pengajaran Pancasila tidak sekadar menawarkan butir-butir kode moralitas untuk dihafalkan (logos), tetapi juga harus disajikan kreatif agar bisa menyentuh penghayatan emotif (pathos), yang mendorong tekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai moral itu dalam kehidupan nyata (ethos). Kita memerlukan pendekatan interaktif antara dimensi kognitif-saintifik, ekspresif-estetik, dan praktis-moral. Ketiga dimensi itu bernilai setara sehingga kehilangan salah satunya berisiko kesenjangan dalam praksis Pancasila, seperti ketidakbersambungan antara pikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakan (konatif).

Musik bisa didayagunakan sebagai medium ekspresif-estetik untuk mengembangkan penghayatan emotif terhadap Pancasila. Musik bisa menumbuhkan suasana kejiwaan untuk mengasah kepekaan afektif dalam menghayati nilai-nilai Pancasila. Menurut riset neuro-science, jenis lirik dan musik tertentu dapat merangsang perkembangan otak, khususnya otak kanan, yang memperkuat daya kreativitas dan afinitas sosial untuk siap bergotong royong.

Arti penting musik juga lebih terasa dalam konteks masyarakat demokratis yang bersifat ekspresif. Dalam ruang kebebasan berekspresi dan apresiasi, musik bisa menjadi pilihan atraktif untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan, terlebih dalam kehadiran lapis besar generasi X-Y-Z yang lebih terpapar dengan medium kreatif. Fakta mayoritas penduduk Indonesia berusia muda, dan mayoritas mereka menyukai musik, menjadikan musik sebagai medium efektif untuk sosialisasi. Perkembangan terakhir, musik Indonesia juga telah menjadi ”tuan rumah” di negeri sendiri, seperti diindikasikan makin meluasnya pangsa pasar lagu-lagu domestik. Singkat kata, kita harus sungguh-sungguh mempertimbangkan besarnya potensi musik bagi proses emansipasi dan transformasi bangsa dengan melibatkan musisi dalam proses diseminasi nilai-nilai Pancasila.

Upaya sosialisasi Pancasila melalui gerakan kebudayaan penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Padahal, transformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya. Dalam gerakan sosial-budaya, musik bisa dijadikan wahana representasi habitus Indonesia berbasis Pancasila. Habitus dalam pengertian Pierre Bourdieu (1977) adalah skemata pengalaman dan persepsi bersifat kolektif yang mengandung ekspresi-subyektif identitas tertentu dan juga sebagai sarana-sarana obyektif bagi proses naturalisasi dan afirmasi identitas tertentu. Dengan kata lain, musik bisa mengekspresikan nilai-nilai Pancasila yang tumbuh di bumi Indonesia, dan pada saat bersama berfungsi sebagai prinsip penganjur dan penyemai nilai-nilai Pancasila bagi rakyat Indonesia.

Ambil contoh permainan angklung. Setiap orang pada dasarnya memainkan satu nada (menjadi diri sendiri), tetapi dengan kesadaran penuh untuk memberikan kesempatan berbunyi bagi nada lain. Dalam suatu ensambel di bawah kepemimpinan seorang dirigen, satuan-satuan ekspresi pribadi itu bisa dipertautkan menjadi harmoni kolektif. Permainan angklung dapat merefleksikan sekaligus membentuk kepribadian Indonesia.

Dengan melibatkan para musisi, penggiat, dan penikmat musik lintas etnis-keagamaan dan mengambil jarak dari pertarungan politik praktis dalam masyarakat, gerakan Pancasila dalam musik juga bertindak sebagai medan perjumpaan bagi artikulasi kepentingan umum dari kemajemukan bangsa. Suatu kekuatan artikulasi kepentingan secara estetik, tanpa jalur kekerasan. ●

TNI, Perang Proksi, dan Demokrasi

TNI, Perang Proksi, dan Demokrasi
M Alfan Alfian  ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta; Anggota Lembaga Pengkajian MPR RI
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tentara Nasional Indonesia telah menggelar rapat pimpinan nasional yang pembukaannya diawali oleh arahan Presiden Joko Widodo.  Pada kesempatan itu, Presiden, antara lain, menekankan agar jajaran TNI dan Polri bergerak cepat mengantisipasi berbagai perubahan yang kini terjadi secara masif akibat kecanggihan teknologi. Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun menyinggung kesiapan TNI menghadapi tantangan global ke depan.

Gatot menggarisbawahi, kompetisi global berpotensi menjadi konspirasi global untuk memperebutkan sumber-sumber daya penting dari pangan hingga energi.Diingatkannya, jika kompetisi jadi konspirasi, hal tersebut merupakan ”ancaman luar biasa”. Menurut dia, kebijakan Presiden Joko Widodo yang memanfaatkan kondisi geografis maritim Indonesia dengan membuat jalan tol laut bisa menjadi solusi.

Terdapat benang merah penting dari dua pernyataan tersebut. Kata-kata kuncinya adalah kompetisi dan antisipasi perubahan. Kompetisi terkait perkembangan global dan kebutuhan Indonesia untuk tidak saja eksis, tapi juga mampu mengelola segenap sumber daya di era perubahan yang serba cepat ini. Sementara antisipasi perubahan jelas memerlukan perhatian dan kinerja profesional semua entitas yang menggeluti bidangnya.

Terkait hal tersebut, dalam konteks TNI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan nasional, apa yang sering disampaikan Gatot Nurmantyo terkait bahaya perang proksi relevan adanya. Panglima membedakan perang asimetris, hibrida, dan proksi. Perang asimetris terkait konteks perbedaan mencolok pihak-pihak berperang dari segi ”kekuatan militernya”. Perang hibrida mengombinasikan perang asimetris dengan perang informasi. Sementara perang proksi pada hakikatnya konfrontasi dua kekuatan besar dengan memanfaatkan pemain-pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi langsung.

Panglima TNI menggarisbawahi, melalui perang proksi, ”tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan non state actors dari jauh”. Melalui pengertian demikian, sudah tepat manakala panglima mengingatkan bahaya perang proksi. Indonesia, bagaimanapun, berpotensi dijadikan ajang perang proksi pihak luar.

Salah satu bentuk perang proksi yang sering diilustrasikan panglima, selain gerakan separatis, demonstrasi massa, dan peredaran narkoba, adalah bentrok antarkelompok. Sebagai pengamat politik, saya merasakan adanya gejala meningkatnya potensi bentrok antarkelompok dewasa ini. Hal tersebut terkait masalah politik dalam maknanya yang luas.

Perkembangan politik kita, di level parlemen dan pemerintahan, sesungguhnya sudah mencapai suatu titik keseimbangan (ekuilibrium). Tetapi, suhu politik masih bisa memanas justru karena secara anomali datang dari ranah konfliktual antaraktor non-negara. Banyaknya aktor non-negara sebagai kelompok kepentingan, bahkan penekan, menaikkan potensi konflik eskalatif apabila tak terkelola elegan dan efektif. Mereka pun potensial dimanfaatkan sebagai aktor-aktor perang proksi.

Demokrasi permusyawaratan

Dalam konteks ini, wajar manakala diingatkan agar jangan sampai Indonesia jadi seperti Timur Tengah, khususnya Suriah, sebagai ajang perang proksi. Gambarannya jelas: instabilitas dan kekacauan terus terjadi. Semua nyaris destruktif, dan rakyatlah yang paling menderita hidup dalam sebuah negara gagal yang tercabik-cabik perang.

TNI merupakan bagian integral dari manajemen kebangsaan demokratis yang berbasis Pancasila. Di tengah suasana kebangsaan yang semakin ditandai oleh membesarnya potensi benturan antarkelompok, diperlukan langkah elegan dan konvergensif (menyatu) ke arah titik temu dan penguatan konsensus kebangsaan, bukan penguatan dimensi divergensif (perpecahan) dan memperbanyak titik tengkar yang kontraproduktif.

Semua harus dikembalikan ke Pancasila sebagai titik temu, common denominator berbagai unsur bangsa. Dalam perspektif sosiologi politik, Pancasila mengandung dimensi konvergensi, bukan divergensi. Namun, merujuk pengalaman sejarah, Pancasila sering kali dijadikan tameng kekuatan-kekuatan politik untuk mengklaim pihaknya lebih Pancasilais, dan menjadikannya alat pukul politik. Kalau itu yang terjadi, praktik kekuasaan otoriterlah yang leluasa. Pancasila sebagai titik temu kebangsaan efektif manakala yang mengemuka adalah implementasi demokratis sila keempat (permusyawaratan atau deliberasi).

Pancasila hendaknya diposisikan sebagai ”ideologi terbuka”, bukan ideologi statis, tertutup, dan menolak gagasan-gagasan baru sesuai semangat zaman. Semua hal dapat didialogkan dan dimusyawarahkan secara elegan untuk mencari titik temu, konsensus kebangsaan dalam bingkai Pancasila. Demokrasi sila keempat menekankan musyawarah dalam semangat mencari dan dilandasi ”hikmat kebijaksanaan”. Semangatnya menuju titik temu, bukan titik tengkar.

Karena itu, diperlukan sikap tenggang rasa, meninggalkan paradigma menang-kalah secara subyektif menurut kelompok masing-masing. Egoisme kelompok atau komunalisme harus ditepikan. Yang dikedepankan seharusnya obyektivikasi, yang mengutamakan kejujuran obyektif, bukan klaim yang apriori. Ragam ucapan, penyikapan, dan tindakan yang berkonsekuensi pada penajaman konflik dan suasana konfrontatif perlu diakhiri. Hal semacam ini penting guna menjauhkan Indonesia dari perang proksi, sebagaimana yang selalu diingatkan panglima.

Manajemen kebangsaan

Negara harus mampu hadir sebagai pengelola utama kebangsaan kita karena negara memiliki segenap peranti memadai dan cara yang absah untuk melakukannya. Dengan kata lain, manajemen kebangsaan perlu peran negara, tetapi bukan dalam konteks menghegemoni segala hal tanpa menyisakan ruang bagi publik berpendapat secara bertanggung jawab. Negara harus menciptakan iklim kondusif bagi demokrasi, kendatipun—dalam pengertian Max Weber—negara adalah entitas absah pengguna kekerasan. Pendekatan represif tentu bukan pilihan dan sangat tak populer dalam demokrasi, kendati sering kali negara menghadapi situasi yang dilematis.

Di zaman mengecambahnya hoax atau kabar bohong dewasa ini, manajemen kebangsaan yang demokratis dan partisipatif tentu bukan tugas ringan. Namun, negara, dalam hal ini termasuk TNI, perlu mendorong suatu prosestabayun (cek-ricek) dan dialog mendalam di tengah cuitan-cuitan sepintas lalu, tergesa-gesa, dan serba permukaan. Ini semua perlu kesabaran, sikap inklusif, imparsial, obyektif, dan etis semua pihak.

Panglima TNI telah memosisikan sebagai juru ingat melalui ceramah-ceramahnya tentang bahaya perang proksi agar bangsa ini tak mudah dipecah. Potensi perang proksi, terutama ditandai menajamnya konflik potensial antarkelompok di Indonesia yang majemuk, ini perlu ditangkal melalui implementasi demokrasi permusyawaratan Pancasila sebagai paradigma manajemen konflik kebangsaan. Saya rasa, hal ini selaras dengan semangat dan inti gagasan yang disampaikan panglima di banyak kesempatan. ●

Perlambatan Pemberantasan Korupsi

Perlambatan Pemberantasan Korupsi
Reza Syawawi  ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Transparency International kembali merilis Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) 2016. Hasilnya, Indonesia memperoleh skor 37 dan menempati peringkat ke-90 dari 176 negara yang dinilai.  Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2015), skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya mengalami kenaikan 1 poin. Skor ini juga masih di bawah rerata global di angka 43. Bahkan, di kawasan Asia Pasifik, skor Indonesia masih jauh tertinggal. Kondisi ini mengisyaratkan terjadinya perlambatan terhadap kinerja pemberantasan korupsi di semua lini. Padahal, ketika terjadi transisi politik tahun 2014 menuju tahun 2015, skor CPI cukup baik karena mengalami kenaikan yang konsisten hingga 2 poin.

Ada perbedaan yang cukup signifikan bagaimana rezim pemerintahan sebelumnya (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan rezim Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) dalam melihat CPI. Jika merujuk pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, capaian CPI tidak lagi menjadi salah satu acuan bagi pemerintah untuk mengukur kinerja pemberantasan korupsi.

Secara politik, ini tentu saja menjadi pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Namun, CPI dari sisi global tetap patut diperhitungkan sebagai salah satu masukan bagi Indonesia.

Prioritas

Selama lebih dari dua tahun di bawah pemerintahan Jokowi-Kalla, situasi politik hukum pemberantasan korupsi memang mengalami situasi dilematis. Tahun 2015, semua pihak menyaksikan bagaimana terjadi pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sementara Presiden dinilai lambat dalam mengambil keputusan.

Di sisi lain, Presiden memang lebih terlihat memfokuskan pada konteks perbaikan di sektor bisnis (ekonomi). Ada banyak paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan untuk memberikan kemudahan bagi pebisnis, termasuk kebijakan pengampunan pajak.

Sayangnya, privilese yang diberikan ini tidak diimbangi dengan mengeluarkan kebijakan yang memastikan sistem integritas berlaku bagi sektor bisnis/swasta. Sebab, problem integritas (korupsi) di sektor publik juga dipicu oleh masifnya perilaku pebisnis yang korup.

Dengan demikian, perbaikan di sektor publik akan mengalami tantangan yang cukup besar karena tidak berimbang dari sisi supply side. Hal ini setidaknya terkonfirmasi dari data KPK terkait jumlah pelaku korupsi dalam kurun waktu 2004-2016 yang didominasi oleh sektor swasta.

Maka, ke depan, pemerintah perlu menetapkan satu kebijakan khusus yang digunakan sebagai standar dalam menilai integritas sektor swasta, termasuk bagi perusahaan negara (BUMN/ BUMD). KPK dalam hal ini tentu perlu membantu pemerintah untuk menetapkan standar ini dalam konteks pencegahan korupsi sehingga kebijakan ini diharapkan mampu mengakselerasi perbaikan di sektor publik.

Sektor hukum

Banyak pihak yang menilai Presiden tidak menempatkan sektor hukum sebagai prioritas. Padahal, perbaikan di sektor hukum, khususnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi, menjadi salah satu penyokong indeks persepsi korupsi. Perbaikan di sektor ekonomi akan mengalami hambatan jika kondisi penegakan hukum justru menimbulkan ketidakpastian.

Apabila ditelisik ke belakang, Presiden baru mengeluarkan paket reformasi hukum ketika usia pemerintahan sudah akan memasuki tahun ketiga (Oktober 2016). Sebut saja pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016. Namun, alih-alih bicara soal efektivitas, yang terjadi justru menjamurnya pembentukan satuan tugas semacam ini di lembaga-lembaga negara dan pemerintah daerah.

Tak berselang lama, pada November 2016, Presiden kembali mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017. Terakhir, pada awal tahun 2017, Presiden menelurkan paket reformasi hukum jilid kedua yang memfokuskan pada 3 (tiga) hal, yaitu penataan regulasi, bantuan hukum bagi masyarakat, dan pengembangan polisi masyarakat.

Ketiga paket kebijakan hukum di atas tentu bertujuan memberikan stimulus bagi perbaikan di sektor hukum, khususnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Namun, karena faktor waktu, kebijakan ini belum berkontribusi pada peningkatan indeks persepsi korupsi. Hal inilah yang sebetulnya memengaruhi terjadinya perlambatan terhadap kinerja pemberantasan korupsi.

Ke depan, Presiden perlu lebih sensitif terhadap isu-isu strategis yang terkait dengan hukum dan pemberantasan korupsi, bukan hanya berkutat pada sektor ekonomi belaka. Sebab, percepatan pembangunan di sektor ekonomi akan lebih mudah dicapai jika sistem hukumnya sudah mampu memitigasi terjadinya praktik korupsi. ●

Indonesia dalam Pusaran Politik Internasional

Indonesia dalam Pusaran Politik Internasional
Yuddy Chrisnandi  ;  Guru Besar Universitas Nasional Jakarta;
Tim Ahli Wakil Presiden Republik Indonesia; Menteri PAN-RB 2014-2016
                                                      KOMPAS, 30 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pelantikan Donald Trump pada 20 Januari lalu membuat banyak pihak berpikir ulang tentang demokrasi. Saya pribadi menyimpulkan bahwa demokrasi selalu menyisakan peristiwa yang tak terduga. Trump ”si kontroversial” justru memenangi pertandingan dan sekarang memimpin sebuah negara dengan kekuatan terbesar di dunia, Amerika Serikat.

Bumbu kemenangan Trump menghiasi berita utama (headline) media dalam dan luar negeri selama lebih kurang dua bulan ke belakang. Misalnya, kemenangan Trump yang dicurigai ada campur tangan pasukan siber (cyber army) dari Rusia, prediksi kebijakan Trump kepada negara-negara Islam, atau pro-kontra kebijakan dalam negeri Trump yang memicu demo warga AS akhir- akhir ini.

Seperti sejarah-sejarah terdahulu, American effect akan menyebar ke seluruh dunia. Saya juga menduga hal yang sama. Apa yang terjadi di AS akan memberikan dampak pada situasi global. Linier dengan hal itu, bagi saya, dunia dalam kendali demokrasi akan selalu beradaptasi dengan perkembangan masyarakat. Lalu, apa yang menjadi tantangan dunia ke depan?

Secara umum, dunia saat ini dihadapkan pada berbagai ancaman global, sepertiterorisme dan radikalisme, konflik di Timur Tengah, perubahan iklim, persoalan imigran, perdagangan manusia, keamanan siber, serta kerusakan lingkungan.

Periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo baru separuh jalan. Ada banyak hal yang telah dilakukan Presiden Jokowi sejak Oktober 2014. Sebagai mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), saya merangkai sekaligus mengikuti perkembangan itu, paling tidak, sampai dengan kuartal pertama 2016.

Data Bank Dunia mencatat, peringkat kemudahan berbisnis kita naik dari posisi ke-114 pada 2014 ke posisi ke-106 pada 2015, lalu terakhir pada 2016 posisi ke-91 dari 189 negara. Menurut saya, ini capaian yang signifikan. Saya mencatat, terobosan kebijakan, seperti menghapus ribuan regulasi dan aturan bermasalah yang menghambat proses investasi, menerbitkan sederet paket kebijakan ekonomi, dan restrukturisasi kementerian/lembaga, terbukti memperoleh hasil meski belum maksimal.

Saya masih ingat, dalam satu rapat kabinet, Presiden mengharapkan kemudahan berusaha di Indonesia mencapai posisi ke-40 dunia. Pertumbuhan ekonomi kita selalu pada angka yang tidak begitu mengecewakan, di atas 5 persen dalam tiga tahun terakhir. Tidak semua negara dapat mencapai angka tersebut. Lihat saja Malaysia, tetangga terdekat kita, pertumbuhan ekonomi mereka terus turun sejak kuartal pertama tahun 2015 yang sebesar 5,9 persen menjadi 4,9 persen pada kuartal kedua 2016.

Di sisi lain, kondisi politik dalam negeri juga relatif terkendali meski ada riak-riak yang menyebabkan situasi politik memanas, baik itu akibat ekses publik maupun pergumulan elite politik. Presiden Jokowi dan jajaran kabinet mampu mengatasi dengan mulus. Kondisi ekonomi dan politik kita secara makro masih layak menjadi dasar melesatnya kita di pergaulan internasional. Dapur kita kuat, rumah tangga kita masih on the track.

Selepas menjabat Menteri PAN-RB, saya diminta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menjadi Staf Ahli Wapres. Pada September lalu, saya berkesempatan mendampingi Wapres pada acara Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-71 di New York, AS. Dalam salah satu sesi debat umum, Wapres Jusuf Kalla menyampaikan pidatonya yang menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs).

Ada dua hal penting yang menjadi fokus pidato itu, yaitu komitmen nasional perlu dibarengi dengan kerja sama internasional yang kokoh serta terjaganya perdamaian dan keamanan yang memungkinkan pembangunan dapat berjalan. Dua hal pokok itu menjadi kunci untuk menyongsong era baru hubungan internasional dalam wadah SDGs yang dicanangkan PBB hingga tahun 2030.

Komitmen nasional kita tidak perlu dipertanyakan lagi. Negara kita terus berbenah dari tahun ke tahun. Pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, peningkatan mutu pendidikan, dan pembangunan infrastruktur adalah bentuk komitmen kita sebagai negara yang berdikari.

Kita juga tidak lupa, hidup pada era globalisasi, bahwa kemandirian Indonesia juga ditopang oleh kerja sama internasional yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, negara kita juga aktif dalam menjaga perdamaian dunia, baik dengan cara aktivitas langsung maupun jalan diplomatik yang sesuai dengan amanat undang-undang.

Kita yang membuat jalan, mereka yang mengikuti

Indonesia perlu menunjukkan perannya sebagai negara demokratis-Muslim terbesar di dunia. Sudah bukan saatnya kita mengekor, kita layak menjadi inisiator. Saya menggarisbawahi ada tiga hal yang dapat menjadi fokus kita. Pertama, isu radikalisme. Saya ambil contoh kasus Rohingya. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar itu sepertinya hanya menjadi isu kelas dua. Padahal, mereka adalah tetangga dekat kita.

Saya berpendapat, Indonesia perlu membuat terobosan diplomasi internasional agar seluruh mata tertuju ke sana. Presiden Jokowi harus bicara dan menginisiasi sebuah gerakan internasional agar ada intervensi dunia untuk menyelamatkan ratusan ribu nyawa di Rohingya.

Kedua, isu pekerja internasional. Data Kemenakertrans menyebutkan, jumlah TKI kita 214.620 orang di seluruh dunia. Itu data yang tercatat. Dugaan saya, ada banyak yang tidak tercatat. Jika kita bandingkan, itu hampir 50 persen dari total populasi negara Brunei.

Terkait kenyataan tersebut, Indonesia perlu menjadi pelopor dari semua negara untuk membuat terobosan baru di bidang kebijakan pekerja migran(tenaga kerja asing). Tujuannya jelas, untuk melindungi mereka dari kejahatan kemanusiaan, perdagangan manusia, misalnya.

Saya membayangkan ada sebuah platform yang dapat diakses semua orang melalui internet yang mengatur, mengawasi, menerima aduan, dan memberikan pendampingan bagi mereka pekerja internasional yang mengalami kesulitan. Regulatornya bisa saja bukan antarnegara, melainkan organisasi semacam Organisasi Buruh Internasional (ILO). Ini perlu ratifikasi banyak negara, perlu usaha yang masif, dan serius. Kita, negara Indonesia, dapat menginisiasinya. Misalnya, dimulai dengan kerja sama antara Indonesia dan Malaysia.

Ketiga, isu imigran. Indonesia memang tidak termasuk dalam Konvensi 1951 yang mengatur regulasi internasional terkait imigran, tetapi Indonesia tetap memberikan bantuan yang bersifat kemanusiaan kepada para imigran yang membutuhkan.

Saat ini, jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia hampir mencapai 14.000 orang. Kita adalah negara yang mapan secara ekonomi dan politik sehingga mampu untuk berperan aktif dalam penanganan imigran. Seperti kata pepatah, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Ikut aktif dan menginisiasi perlindungan terhadap imigran adalah hal yang benar dan sesuai filosofi UU kita, yaitu memanusiakan manusia. Demi kemanusiaan, seyogianya Indonesia terus berkomitmen terhadap hal tersebut.

Pemikiran di atas adalah pengejawantahan dari kepercayaan diri kita sebagai negara yang mapan dan demokratis. Tak seharusnya kita rendah diri, sudah saatnya kita percaya diri. Sebagai bangsa besar, bangsa Indonesia. ●

Menenun Semangat Kebangsaan

Menenun Semangat Kebangsaan
Fathorrahman Ghufron;  Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga;
Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta
                                                      KOMPAS, 30 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada sebuah kegelisahan yang selalu menggeliat dalam benak kita manakala mencermati fenomena radikalisme yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Mengapa radikalisme kerap kali berujung kekerasan? Apakah kekerasan sudah menjadi sebuah habitus utama yang memang ditakdirkan oleh pelaku radikalisme untuk mengekspresikan segala macam pikiran dan perilakunya? Dan, ketika pelaku radikalisme banyak didominasi oleh kelompok keagamaan tertentu, apakah naluri keberagamaan mereka memang dibaluti oleh ajaran kekerasan yang diyakini sebagai khitahnya?

Beberapa pertanyaan di atas merupakan cermin analitik yang banyak dikupas oleh berbagai kalangan yang secara khusus mengkaji dan meneliti fenomena radikalisme yang banyak disertai kekerasan. Tulisan Mark Juergensmeyer, ”Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama” jadi salah satu kajian empiris perihal radikalisme yang begitu masif dimanfaatkan sekelompok orang sebagai ekspresi tindak kekerasan.

Apalagi ketika naluri keberagamaan yang radikalistik beririsan dengan semangat fundamentalisme untuk menegakkan paham keagamaan secara subyektif yang didominasi oleh ciri berpikir yang absolut, non-dialogis, apologetik-defensif, dan pengklaim kebenaran. Maka, yang bermunculan adalah sikap kefanatikan yang mewujud dalam bentuk perasaan sentimen dan penyesatan terhadap serangkaian perbedaan yang ada.

Atas dasar potret radikalisme yang begitu durjana, kita pun bertanya-tanya, bagaimana cara efektif untuk menangkal dan mengatasi radikalisme tersebut? Apalagi, berdasarkan hasil survei INFID dan jaringan Gusdurian di sejumlah kota di Indonesia, 88,2 persen penduduk Indonesia menolak tindakan radikalisme yang berbasis agama. Lalu, adakah jalan lain yang bisa dijadikan panduan etis dan landasan etos untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan kita, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah rahmatan lil alamin?

Meneguhkan Pancasila

Tulisan Donny Gahral Adian berjudul ”Radikalisme dan Pancasila” (Kompas, 14/1) menjadi catatan menarik untuk direfleksikan bersama: bahwa untuk menangkal radikalisme bisa melalui Pancasila yang didasari oleh semangat kolektivitas, yaitu lima sila yang terkandung dalam Pancasila sejatinya mencerminkan ide-ide kolektivitas. Ketika kita berketuhanan, maka kita harus memelihara solidaritas antarmanusia pula.
Pandangan Donny Gahral Adian ini memberikan wawasan lebih kepada kita bahwa dalam meneguhkan Pancasila, Pancasila harus diawali dengan cara kita membangun sebuah pola pikir yang menyeluruh terhadap lima sila yang termuat di dalamnya.

Semisal, ketika kita memahami dan menghayati sila pertama, kita tidak bisa menafikan dan menegasi keberadaan manusia lainnya—yang basis ontologisnya termaktub dalam sila kedua— yang memiliki sistem kepercayaan yang berbeda. Sebab, jika itu yang dilakukan, sila ketiga yang menyerukan spirit persatuan tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik.

Demikian halnya sila keempat yang menyerukan spirit kehikmatan melalui mekanisme permusyawaratan dan atau perwakilan, tidak akan bisa berjalan dengan baik jika di antara kita masih memahami sila pertama secara sektoral dan parsial. Apalagi ketika kita akan membincangkan ihwal keadilan sosial, yang bisa meliputi semua rakyat Indonesia, maka sangat mustahil untuk membangun iklim kesetaraannya.

Dengan demikian, semangat kolektivitas yang menghubungkan antara satu sila dan sila yang lain di dalam meneguhkan Pancasila menjadi modalitas keterjalinan antara satu sikap dan sikap yang lain untuk mewujudkan pelibatan empatik dalam perilaku kita.

Kita tidak lagi mempersoalkan perbedaan keyakinan, perbedaan ras, perbedaan ideologi dalam menenun semangat kebangsaan, dan menyikapi persoalan keindonesiaan. Akan tetapi, yang patut disadari, kita adalah sesama manusia yang senasib sepenanggungan, yang lazimnya harus peduli bersama terhadap tegaknya kedamaian negara ini. Oleh karena itu, dalam meneguhkan Pancasila, perlu memerhatikan ikatan bersama dengan perasaan kolektif bahwa kehidupan yang damai akan tercipta jika antara satu dan yang lain sama-sama berempati secara lintas batas.

Nilai-nilai ”rahmatan lil alamin”

Dengan menempatkan ide-ide kolektivitas dalam meneguhkan Pancasila dan disertai dengan sikap pelibatan secara empatik antara satu dan yang lain, maka seiring dengan waktu Pancasila akan menjadi pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang dapat memberikan suatu pedoman mengenai nilai kehidupan yang mengedepankan kedamaian bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Secara sosiologis, konsep dasar rahmatan lil alamin menegaskan berbagai nilai keluhuran perihal bagaimana menyemaikan kesadaran etik yang mengedepankan prinsip-prinsip toleransi (tasamuh), moderasi (tawasuth), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul) dalam kehidupan. Dalam kaitan ini, beberapa prinsip ini menjadi modalitas yang dapat mempertemukan semua elemen bangsa yang terdiri atas berbagai latar belakang. Sebab, sejatinya, merujuk pada pemikiran Muhammad Fethullah Gulen dalam buku ”Islam Rahmatan Lil ’Alamien: Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia” bahwa kerahmatan adalah kebutuhan dasar yang dirindukan oleh setiap orang.

Dengan kerahmatan, setiap orang bisa mengekspresikan dirinya di berbagai arena tempat ia berada. Seorang pelaku usaha merasa nyaman menjalin perdagangannya, seorang pejabat merasa tenteram menjalankan tugas kekuasaannya, seorang pendidik merasa bebas mentransformasikan pengetahuannya, dan siapa pun yang memiliki profesi yang berbeda-beda akan merasakan keteduhan dalam menjalankan tugasnya.

Dalam kaitan ini, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang diyakini sebagai ideologi bangsa, baik dalam lingkup pengetahuan (kognitif) maupun ajaran nilai (afektif dan psiko- motorik), dapat dijadikan sebagai ruang alternatif untuk menyemaikan nilai-nilai rahmatan lil alamin.Di saat wajah agama diekspresikan secara radikalistik oleh sekelompok orang, dan yang terjadi setiap pemeluk agama sibuk mempertarungkan ”atas nama Tuhan” untuk menebar pengaruh sosialnya, maka Pancasila perlu dihadirkan sebagai jalan kerahmatan yang dapat mengarahkan semua elemen masyarakat kepada sikap saling mengasihi dan menghargai.

Melalui landasan prinsipil, seperti toleransi, moderasi, keseimbangan, dan keadilan, nilai-nilai kerahmatan bisa dijadikan landasan filosofi Pancasila dalam membangun negara yang damai, aman, dan sentosa. Dan, ketika situasi kehidupan sejuk ini yang ditonjolkan, maka Indonesia bersama Pancasila-nya akan menjadi kiblat perdamaian yang akan dirujuk oleh dunia.