Sabtu, 06 Mei 2017

Kudeta

Kudeta
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                          KOMPAS, 06 Mei 2017



                                                           
Tujuh tahun setelah kita merdeka, beberapa perwira TNI AD melancarkan coup de force di depan Istana Merdeka, 17 Oktober 1952. Pagi hari itu, ribuan orang datang dengan truk-truk militer dan memenuhi halaman depan Istana, menuntut Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Mereka dikawal ketat pasukan yang dengan sengaja mengarahkan moncong-moncong meriam ke Istana. Inilah upaya pertama TNI AD melancarkan gerakan ”mirip kudeta” yang kandas di tengah jalan.

Sebuah delegasi masuk ke Istana diterima Presiden Soekarno. Gerakan ini akumulasi dari kedongkolan TNI AD terhadap sipil yang dianggap tak berjuang selama perang kemerdekaan dan menolak supremasi sipil atas militer. Namun, pidato pendek Soekarno dengan mudah menaklukkan massa yang langsung ”balik kanan”. Esoknya, segenap kekuatan politik mengutuk manuver atas nama TNI AD itu dan menyatakan kesetiaan kepada Bung Karno.

Sudah beberapa bulan KSAD Kolonel AH Nasution dan rekan-rekannya merancang gerakan 17 Oktober 1952. Secara diam-diam, ia menyiapkan pasukan dari Divisi Siliwangi yang dipimpin Panglima Teritori III (Jawa Barat) Kolonel Alex Kawilarang. Pak Nas juga merasa ditikam dari belakang karena the seven samurai alias tujuh panglima teritori tidak kompak. Pejabat Panglima Teritori V (Brawijaya) Letkol Suwondho, misalnya, pada saat-saat terakhir mencabut dukungan terhadap Pak Nas.

Setelah itu, yang terjadi malahan ”kudeta internal” di kalangan TNI AD setelah beberapa perancang 17 Oktober 1952 malah dikudeta bawahannya sendiri. Contohnya, Panglima Teritori VII (Indonesia Timur) Kolonel Gatot Subroto didongkel kepala stafnya sendiri, Letkol Jacob Warouw. Seperti kata sebuah perumpamaan, old habits die hard, old soldiers just fade away. Setelah peristiwa 17 Oktober 1952 sampai pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta, hampir setiap tahun terdengar rumor kencang tentang kudeta terhadap Bung Karno.

Di rumahnya di Jakarta, sekitar Agustus 1956, Deputi KSAD Kolonel Zulkifli Lubis menawarkan kudeta ”model Mesir” kepada para koleganya. ”Bung Karno tak perlu dijatuhkan. Namun, kita paksa dia membubarkan parlemen sekaligus membentuk sebuah junta militer,” ujar Lubis. Lubis tidak pernah berhenti menghimpun kekuatan sampai akhirnya muncul spekulasi mengenai rencana kudeta persis pada hari ulang tahun TNI, 5 Oktober 1956. Apalagi, Bung Karno sedang berkunjung ke China.

Pak Nas, yang oleh Bung Karno dipulihkan kembali menjadi KSAD, dengan cepat memadamkan gerakan-gerakan pasukan pro-Lubis yang sebagian besar mencoba menguasai Jakarta dan Jawa Barat. Dua perwira pro-Lubis yang sukar dijinakkan adalah Komandan Resimen Ke-9 (Cirebon) Letkol Kemal Idris dan Komandan Resimen Ke-11 (Tasikmalaya) Mayor Suwarto.

Sejak masa itu, salah satu tradisi upaya kudeta TNI AD yang tetap dilestarikan sampai tahun 1998 adalah pemanfaatan kelompok-kelompok milisi sipil yang umumnya tidak terlatih. Jika pada masa 1999 ada Pamswakarsa, pada 1950-an ada Front Pemuda Sunda. Tidak mengherankan jika pemberontakan PRRI/Permesta diotaki oleh para pelaku peristiwa 17 Oktober 1952, seperti Panglima Teritori I (Sumatera Utara) Kolonel Mauluddin Simbolon. Lalu, di Sumatera Barat ada Kolonel Achmad Hussein dan di Sulawesi Utara ada Kolonel Vence Sumual.

Ciri penting lain dari fenomena upaya kudeta pada dekade 1950-an adalah tokoh-tokohnya itu-itu juga. Jika Pak Nas bersekutu dengan Kemal Idris pada peristiwa 17 Oktober 1952, lima tahun kemudian mereka ”pecah kongsi” sampai pasukan pendukung masing-masing saling tembak di Jakarta dan Bandung. Apa lacur.

Rumor tentang kudeta juga tidak pernah padam sejak Bung Karno memaklumatkan Demokrasi Terpimpin tahun 1959. Berdasarkan laporan tertulis Kedutaan Besar Amerika Serikat, rumor yang terdengar paling keras adalah kudeta yang terjadi 1 Januari 1960. Bung Karno akan digantikan oleh sebuah triumvirat yang dipimpin Wakil Perdana Menteri Adam Malik. Dan, Adam Malik pula yang ngotot agar Pak Nas bertindak cepat mengambil alih kepemimpinan nasional dari tangan Menpangad Letjen Soeharto pada hari-hari menjelang kejatuhan Bung Karno.

Waktu melancarkan kudeta 30 September 1965, Letkol Untung Sjamsuri mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok ”progresif-revolusioner” di dalam TNI. Ada dugaan kudeta ini konon merupakan upaya mendahului rencana kudeta Dewan Jenderal persis pada upacara hari ulang tahun TNI, 5 Oktober 1965. Pada saat upacara terdapat pasukan yang berdefile dengan peluru tajam untuk menembak Bung Karno di tribune kehormatan. Modus ini dipakai di Mesir terhadap Presiden Anwar Sadat yang tewas mengenaskan di tempat duduknya.

Surat Perintah 11 Maret 1966 dianggap sebagai ”kudeta merangkak” terhadap Bung Karno. Selama lebih dari 32 tahun berkuasa, Orde Baru bersih dari usaha kudeta. Namun, pada periode kerusuhan 13-15 Mei dan tak lama setelah Pak Harto lengser keprabon 21 Mei 1998, terdengar rumor tentang upaya kudeta yang gagal. Apa lacur.

Kudeta merupakan upaya mendongkel pemerintahan yang sah secara konstitusional oleh kelompok kecil elite politik—biasanya militer—untuk menggantikannya dengan pemerintahan baru yang dipimpin rezim sipil atau militer. Upaya kudeta memerlukan dalih atau pemicu, misalnya dengan merekayasa kerusuhan yang diharapkan meluas sehingga menimbulkan instabilitas yang meresahkan rakyat. Setelah itu, baru dilakukan langkah-langkah ”konstitusional” untuk mendelegitimasi pemerintahan yang sah.

TNI salah satu tulang punggung nasionalisme kita yang menjadi kekuatan politik yang senantiasa menjaga keutuhan NKRI, Pancasila, dan kebinekaan kita. Dalam konteks dewasa ini, mustahil TNI melancarkan kudeta karena pemerintahan terpilih secara demokratis dan telah terbukti bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Indonesia bukanlah negara gagal, tak ada dalih apa pun bagi terbentuknya junta atau rezim militer yang utuh atau yang semu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar