Dahlan
dan Musuh Besarnya
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 20
April 2017
Di media ini
saya pernah menulis kolom tentang para pemimpin yang “gila”. Misalnya, ada
Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang saya sebut “Gila Taman”. Apa jadinya
Kota Surabaya yang panas tanpa taman-taman kota yang tertata apik?
Membosankan!
Lalu, ada
Jusuf SK, mantan Walikota Tarakan, Kalimantan Timur, yang saya sebut “Gila
Lampu dan Trotoar”. Selama memimpin Tarakan, Jusuf banyak membangun trotoar
yang dilengkapi dengan lampu-lampu penerangan jalan. Alhasil, pada malam hari
Tarakan menjadi terang benderang. Jusuf ingin Tarakan menjadi seperti
Singapura.
Ada Fadel
Muhammad, mantan Gubernur Gorontalo yang saya sebut “Gila Jagung”. Fadel,
dengan visinya, menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai lumbung dan sekaligus
eksportir jagung terbesar di Indonesia.
Semasa masih
menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo suka sekali blusukan. Maka, saya
menyebutnya “Gila Blusukan”. Setelah menjadi Presiden ke-7 RI pun Jokowi
belum sepenuhnya meninggalkan kebiasaannya untuk blusukan, meski tak sesering
dulu semasa dia masih menjadi gubernur.
Negara kita
memerlukan pemimpin yang “gila” seperti mereka. Bukan hanya pada level
walikota/bupati atau gubernur, tetapi bahkan lebih ke atas lagi. Misalnya,
setingkat menteri.
Bicara soal
ini, saya terkenang dengan seorang menteri. Namanya Dahlan Iskan. Dia
menjabat sebagai Menteri BUMN dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II di
bawah Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semasa menjabat, saya
menyebut Dahlan sebagai menteri yang “Gila Kerja”.
Sebutan ini
bukan semata-mata karena Dahlan memang suka sekali bekerja. Memang Dahlan
kerap sampai lupa waktu kalau sudah bekerja, sehingga kita bisa menyebutnya
gila kerja. Slogan ini kelak diadopsi oleh presiden Jokowi: kerja, kerja,
kerja!
Namun, lebih
dari itu gaya dan cara kerja Dahlan yang serba cepat kerap membuat bawahannya
pontang-panting. Persis seperti orang gila.
Mencari Terobosan
Sebagai
pengusaha, cara kerja Dahlan kerap dianggap melompat-lompat tergantung
kebutuhan karena terjadi sumbatan-sumbatan pembangunan. Belum selesai urusan
yang satu, dia sudah dipaksa pindah ke urusan yang lain. Seperti pengusaha
lainnya, mereka butuh manajer yang handal. Di birokrasi, manajer amat langka,
yang ada adalah birokrat yang sayangnya amat lamban.
Orang seperti
Pak Dahlan, dalam ilmu manajemen kita sebut sebagai penyandang helicopter
view. Mereka tak perlu masuk sampai ke urusan yang terlalu teknis dan detail.
Itu biar diurus oleh para eksekutifnya.
Para
pengusaha, kalau ada urusan yang macet, mereka suka mencari terobosan. Dahlan
juga begitu. Misalnya, sebagai Menteri BUMN, dia melihat jalur komunikasi
sesama CEO perusahaan plat merah ternyata macet. Mereka tak saling kenal satu
sama lain. Kalau sudah begini bagaimana BUMN mau bersinergi.
Guna menerobos
jalur yang macet ini Dahlan mengundang para CEO BUMN untuk rapat koordinasi
mingguan. Lokasinya digilir di kantor-kantor pusat BUMN dan rapatnya selalu
pagi hari, jam 07.00. Kalau minggu ini rapatnya di kantor pusat Garuda
Indonesia, minggu depannya pindah ke kantor BUMN lainnya lagi. Begitu
seterusnya. Dengan cara seperti ini akhirnya para CEO BUMN menjadi saling
kenal.
Lalu, karena
ketika itu yang sedang tren adalah BlackBerry, maka Dahlan pun menggagas grup
BBM untuk para CEO BUMN. Jadi, rapat-rapat atau pengambilan keputusan tak
harus dilakukan di ruang rapat. Cukup lewat grup BBM.
Alhasil,
sinergi mulai terbangun.
Negeri SOP
“Musuh besar” pengusaha gila kerja dan suka
kerja cepat adalah birokrasi yang lengkap dengan standard operating procedure
(SOP) yang rigid. Ini ibarat gas dengan rem. Kalau jalanan macet, gas dan rem
memang bisa dimainkan secara proporsional. Tapi, kalau jalanan tidak macet
dan rem-nya terus diinjak, kita pun jengkel.
Sayangnya,
kita lebih percaya integritas itu sebagai bagian dari rigidity, padahal dunia
sendiri sudah membangun konsep agility yang berkebalikan.
Dahlan, saya
kira, menghadapi situasi yang semacam ini. Kantornya, baik selama dia menjadi
Dirut PLN atau Kementerian BUMN, sama-sama berisi birokrat. Padahal, sebagai
entrepreneur, Dahlan perlu ditemani dengan intrapreneur (Anda paham bukan
bedanya entrepreneur dengan intrapreneur, bukan?)
Di luar itu
tentunya ada pertimbangan yang lebih besar, yakni kepentingan untuk
kemaslahatan masyarakat.
Pertimbangan
seperti inilah yang akhirnya bisa membuat Dahlan kena jerat dalam kasus
pembangunan 21 gardu induk listrik. Siapa pemimpin yang tahan mendengar rakyatnya
setiap hari mengeluh dengan listrik yang byar pet alias mati hidup. Maaf,
persisnya lebih banyak matinya ketimbang hidupnya. Sudah banyak yang
mempersulit, alamak, mafianya minta ampun.
Negeri kita
masih mendewa-dewakan SOP. Dalam banyak hal, ini celakanya, SOP kerap saling
kait mengait sejumlah aspek, termasuk kepentingan atau sakit hati. Misalnya,
SOP kerap digunakan untuk mencari-cari kesalahan. Alhasil, kerap hal yang
lebih besar dikalahkan oleh kepentingan yang lebih kecil.
Keberpihakan
semacam ini ternyata harganya bisa sangat mahal. Harga itulah yang kini harus
dibayar oleh Dahlan. Bukan hanya untuk kasus gardu induk, tetapi juga
kasus-kasus lainnya, seperti yang tengah ia hadapi di Jawa Timur.
Saya sama
sekali tidak percaya kalau Dahlan Iskan didakwa melakukan korupsi atau
memperkaya diri sendiri. Dia sudah kaya. Bahwa ia menabrak SOP, mungkin saja.
Tapi, kalau itu untuk kepentingan yang lebih besar, apa salahnya? Hidup di
negeri yang mendewa-dewakan SOP membuat kita sering tak bisa menjawab
pertanyaan tadi. Maka, jadilah kita hanya bisa mengurut dada. Kok bisa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar