Minggu, 10 Juli 2016

Lebaran Kebangsaan

Lebaran Kebangsaan

JJ Rizal ;  Sejarawan
                                               MEDIA INDONESIA, 05 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

LEBARAN ialah Indonesia dalam format yang kecil (Indonesia in a nutshell). Ini dinyatakan demi mengingat Indonesia sebagaimana Lebaran dapat dipahami dengan memandangnya sebagai sesuatu upaya mencapai nilai yang sama, yaitu nurani.

Jika membaca sejarah munculnya elite modern pendiri Indonesia, seperti karya Robert van Niel, betapa jelas frase bersifat terang yang merupakan arti dari kata nurani itu mendominasi pikiran mereka. Sebab itu, bukunya diberi Van Niel judul The Dawn of Indonesian Nationalism atau Fajar Nasionalisme Indonesia.

Pada 20 Mei 1908, berdiri Budi Utomo yang kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan organisasi itu menunjuk pengutamaan budi dengan menjaga batin atau nurani. Para tokohnya mengagumi Kartini sebagai orang pertama yang di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 rajin menggunakan kias terang sebagai lawan gelap. "Habis gelap terbitlah terang," kata Kartini. Ini kritik dia terhadap Ranggawarsita yang pada 1873 mendedahkan karena kejahatan kolonial tiada lagi cahaya nurani yang ada tinggal suatu zaman gelap.

Pengagungan nurani

Tulisan-tulisan Kartini menjadi ayat-ayat api yang membakar kaum terpelajar untuk membawa bangsa dari gelap kepada terang. Antara 1900 dan 1925, banyak pers yang tumbuh mengiringi gerakan politik modern elite baru itu dengan menggunakan nama matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya, dan api.

Soekarno sebagai sosok yang artikulasinya sangat besar dalam pembentukan Indonesia menyebut dirinya sebagai 'putra sang fajar'. Ini karena ia lahir dan tumbuh dewasa di zaman yang gandrung akan kias terang itu. Kemampuan politik Soekarno diasah di Bandung di bawah asuhan Tjipto Mangoenkoesoemo dari Indische Partij yang lambangnya cakra. Sebelumnya ia dikader Tjokroaminoto pendiri Sarikat Islam yang lambangnya bulan bintang.

Nama Sarekat Islam, satu-satunya partai politik yang berpengaruh besar dalam tahun belasan, menunjukkan aspek agama dan aspek kebangsaan.
Islam memang dianggap sama dengan pribumi oleh Belanda. Slam begitu mereka menyebutnya. Sampai di sini gerakan kebangsaan mengambil sumber nilai pencerahan Islam, juga Eropa, yang notabene sama, pengagungan nurani.

Jadi, pertimbangan pertama dan utama untuk bergerak bersama mengimajinasikan Indonesia ialah nurani. Murni dan terangnya hati nurani akan membisikkan apa yang baik dan buruk, yang benar dan palsu.
Manifestasinya, Indonesia ialah buah dari nasionalisme yang antitesis dari kolonialisme, suatu praktik manusia yang nuraninya kehilangan cahaya sehingga tidak bersifat terang. Ini karena kejahatan-kejahatan yang dilakukan membuat hatinya zhulm atau gelap, dan menjadikan mereka orang berdosa atau zalim, artinya melakukan kegelapan.

Soekarno sering mengutip Arnord Toynbee bahwa suatu bangsa dapat dipahami dengan memandangnya sebagai suatu siklus. Ia lahir tumbuh dan bukan tak mungkin dalam perjalanannya dari cita-cita sucinya yang dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945 terkotori oleh kejahatan.
Akhirnya kejahatan yang tak disadari menebal menuju kebangkrutan spiritual. Dalam konteks inilah, seperti manusia, negara pun memerlukan proses pembersihan diri. Negara perlu Lebaran kebangsaan sebagaimana pernah dilakukan pada masa revolusi ketika Belanda kembali, sementara elite Republik yang baru lahir terpecah dan berkonflik.

Hasil kreasi

Demikianlah lahir istilah halalbihalal yang khas Indonesia dan tak ada di kamus bahasa Arab. Juga minal aidin wal faidzin. Ada yang menyebut ini hasil kreasi Haji Agus Salim, ada juga yang bilang buatan AR Bassedan.
Namun, jelas Lebaran ialah peristiwa yang istimewa dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Saking istimewanya, orang Indonesia juga lebih senang menggunakan istilah sendiri daripada istilah dari dunia Arab sana, seperti kata puasa dan Lebaran ketimbang shaum dan Idul Fitri.

Memang Lebaran dan puasa dikatakan ialah suatu modifikasi dari perayaan tahunan zaman Hindu Majapahit yang disebut phalguna caitra dan hakikatnya acara pesta perayaan menghormati asal-muasal dan semua janji awal keberadaan. Saat itulah jejaring dari Majapahit berkumpul mengadakan rapat besar untuk meninjau ulang keberhasilan dan kegagalan kembali pada kesucian tujuan keberadaan.

Soekarno pernah bilang bahwa Indonesia ialah persambungan dari Majapahit. Banyak yang setuju dan banyak juga yang mencibir. Namun, terlepas dari itu, Indonesia mewariskan dan terus membentuk tradisi khas Lebaran, terutama dalam artian Lebaran yang paling sederhana, bersalaman bermaafan dan pesta pora. Namun, Lebaran kebangsaan lama terlupakan. ●

Transformasi Diri Idul Fitri

Transformasi Diri Idul Fitri

Asep Salahudin ;  Kolumnis; Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya Tasik;  Dosen LB Fakultas Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung
                                               MEDIA INDONESIA, 05 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TENTU saja bagi seorang muslim, hari Lebaran merupakan momen-momen menggetarkan, hari raya yang kedatangannya sangat ditunggu.
Tak ubahnya Natal bagi umat kristiani atau Nyepi bagi kalangan Hindu di Bali. Setelah satu bulan penuh berpuasa, kedatangan Idul Fitri seperti ulat yang keluar dari kepompong untuk menemukan suasana baru. Sang Nabi menyebut selepas puasa Ramadan itu seseorang menjadi suci.

Idul Fitri artinya kembali ke kesucian. Suci karena Ramadan telah membakar dosa dan kekhilafan. Lewat kuali Ramadan, kesalahan itu dihanguskan dan manusia dikembalikan ke titik nol, titik awal keberangkatan. Menginjak satu Syawal dengan keinsafan dan semangat baru yang kebaruan itu sepenuhnya diacukan pada jangkar kekuatan spiritual.

'Kebaruan' itu penting sebab suasana seperti ini biasanya yang dapat menyuntikkan harapan gemilang dalam meretas sejarah masa depan.
Kebaruan sebagai pandu untuk memutus sejarah kelam masa silam. Dalam konteks sosial kebangsaan, pemerintahan dan pejabat yang menawarkan sistem baru yang biasanya mendapatkan respons positif dari masyarakat. Sistem dan mentalitas lama biasanya diidentikkan dengan segala bentuk cela, cacat, dan kecurangan.

Maka kewajiban kita itu adalah merawat kesucian. Bagaimana spirit Ramadan terus-menerus mengawal kita agar tidak jatuh dan tersekap dalam tindakan yang dapat mengotori makna kesucian. Kesucian yang dapat menyelamatkan seseorang ketika kembali ke pangkuan Zat Yang Mahasuci, kepada Yang Kudus. Itu mengingatkan saya pada puisi Ajip Rosidi yang berjudul Hari Lebaran.

'Hari ini hari hati percaya/akan arti hidup dan mati yang cuma sempat/ Direnungkan setahun sekali. Sungguh besar maknanya/Jalan panjang menuju liang-lahat/Hari ini hari kesadaran akan tradisi/ Menyempatkan umat sejenak bersama-sama/Menghirup udara lega dalam kepungan derita/Sehari-hari yang bikin orang jauh-menjauhi/Hari ini hariku pertama 'kan menjalani/Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri/ Makin sepi terasing, lantaran mengerti/Kelengangan elang di langit tinggi'.

Menebarkan maaf

Di hari raya ini dengan lapang kita tebarkan maaf kepada sanak saudara dan handai tolan. Maka Idul Fitri sering juga disebut Lebaran, saling melubarakan, saling memaafkan. Sebab secara ontologis manusia ialah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan, permaafan menjadi pintu masuk mengurai kesalahan itu. Manusia bukan malaikat yang tidak pernah keliru, juga bukan setan yang selamanya tersesat. Manusia berada dalam dua pendulum, antara tarikan kebenaran dan godaan kesalahan. Antara mendekat ke malaikat atau jatuh dalam pelukan setan-kebinatangan.
Antara dunia terang dan terseret gelombang arus kegelapan.

Faalhamaha fujuraha wa taqwaha. Dalam diri manusia mengalir potensi fujur (negatif) dan potensi takwa (positif). Mana di antara keduanya yang lebih dominan? Di titik ini sesungguhnya hakikat 'jihad' itu harus diletakkan.
Jihad yang paling besar kata Sang Nabi bukan militansi mengacungkan pentungan dengan pekik Allahu Akbar sambil menganggap kafir mereka yang tak sama haluan pemahaman dan kepercayaannya, melainkan pertempuran dalam jiwa di antara kedua potensi itu. Ketika fujur yang menjadi kiblat, manusia bisa lebih setan ketimbang setan, bisa lebih nestapa daripada satwa. Sebaliknya, saat takwa yang menjadi landasan, manusia harkatnya dapat melampaui malaikat, naik ke takhta spiritual yang paling puncak.

Dengan air muka cerah penuh bahagia kita ulurkan tangan untuk bersalaman sambil mengucapkan permaafan lewat ungkapan minal aidin wal faizin taqabbalallahu minna waminkum. Tidak saja keluarga yang masih hidup yang dikunjungi untuk bersilaturahim, malah leluhur yang telah lama meninggal pun kita ziarahi dan doakan untuk keselamatannya di alam baka.

Dalam konteks budaya keindonesiaan, kunjungan demi silaturahim itu bisa jadi harus menempuh jarah ratusan kilometer dengan kemacetan yang sudah rutin, atau apa yang kita sebut dengan tradisi mudik itu. Ribuan pemudik bahkan lebih pada saat bersamaan rela berjejalan dan terpanggang di jalanan demi menuntaskan kerinduan purba ke kampung halaman, menyelesaikan kerinduan terhadap asal usul kulturalnya. 'Kampung halaman' sebagai tempat yang dituju interaksi simbolisnya tidak saja merujuk kepada makna geografis, tapi juga spiritual.

Di tangan kaum pemudik, seolah jarak itu dilipat. Bagi mereka tidak ada yang abadi kecuali kenangan terhadap 'kampung halaman'. Kenangan yang dalam fakta mentalnya tidak bisa dikuburkan walaupun telah lama mengembara menjadi bagian dari masyarakat urban. Sejauh apa pun mengembara, ujungnya tak lebih hanya proses kultural-psikologis menanam kenangan itu untuk minimal satu tahun sekali diekspresikan dalam katup wujud mudik yang heroik itu.

Mungkin secara sosiologis hanya di kepulauan Nusantara orang pulang kampung secara serentak bahkan negara harus ikut terlibat, ambil bagian menertibkan dengan sandi yang bertemali dengan makanan khas Lebaran; Operasi Ketupat! Mengapa ketupat? Bisa jadi ada benarnya apa yang dibilang Claude Levi Strauss, seorang antropolog berkebangsaan Prancis, bahwa 'makanan' itu tidak hanya berurusan dengan perut tapi dapat menjadi indeks kebudayaan yang lebih luas. Saya tidak tahu apakah atas kesadaran ini jajaran kepolisian mengambil ketupat sebagai simbol dalam mengelola lalu lintas di hari raya.

Dalam praktiknya, ternyata bukan sekadar pulang kampung, melainkan juga narasi yang diriwayatkannya kepada kaum kerabat dan para tetangga tentang kota yang ditumpanginya, sering kali menebarkan daya pikat kepada masyarakat yang masih berada di desa itu untuk ikut merantau mempertaruhkan nasibnya ke kota. Akhirnya lewat Lebaran kota mengepung desa dan selepas Lebaran desa mengepung kota.

Atmosfer religiositas

Harus diakui bahwa selama Ramadan biasanya indeks kesalehan seseorang meningkat. Tidak saja puasa yang dilakukan, tetapi juga segenap kebaikan ditunaikan dengan penuh keikhlasan. Zakat, sedekah, bangun malam, dan tadarusan menjadi bagian tidak terpisahkan dari hari-hari di Ramadan.

Bahkan selama bulan puasa, semua stasiun televisi pun menu acaranya menyesaikan dengan spirit Ramadan. Bukan saja kita 'dikepung' ceramah sebelum buka dan saat sahur, malah pembawa acara dan segenap artis pun yang biasanaya mengumbar aurat dan memanggungkan gaya hidup hedonistis, selama Ramadan mendadak menampilkan dirinya tak ubahnya 'santri' dan bahkan 'ustaz'. Lomba dai dan tahfidz Alquran dalam sepuluh tahun terakhir seolah menjadi menu wajib selama Ramadan.

Di beberapa tempat saking semangatnya berpuasa, Satpol PP pun merasa perlu menyisir warung-warung yang dipandang dapat mengganggu orang-orang yang berpuasa dengan berlindung di balik perda syariah. Negara tiba-tiba merasa memiliki kewajiban untuk mengurus ibadah seseorang yang sesungguhnya bersifat personal.

Namun, harus juga lekas dicatat, ritual yang dilakukan sering kali berhenti sebatas upacara. Selesai ritual ditunaikan, selesai pula urusannya. Di persimpangan inilah fenomena paradoksal itu mencuat. Satu Syawal seolah menjadi katup orang kembali ke habitat aslinya yang negatif. Nyaris Ramadan itu tak berdampak baik secara personal, kultural, terlebih sosial. Akhirnya, selamat berlebaran. ●

MOS, Momentum Menumbuhkan Sikap Positif Siswa

MOS, Momentum Menumbuhkan Sikap Positif Siswa

Nurul Lathiffah ;  Peminat Kajian Psikologi Pendidikan
                                               MEDIA INDONESIA, 04 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENJELANG bergulirnya tahun ajaran baru 2016/2017, dunia pendidikan mendapat angin segar dengan terbitnya regulasi baru mengenai masa orientasi siswa (MOS). Jika sejak dulu MOS identik dengan perpeloncoan yang mengandung muatan bullying, kekerasan fisik, ancaman, hukuman (punishment), dan hal tak nyaman lainnya, kini pengenalan terhadap sekolah baru harus dilaksanakan secara humanis. Kabar baik ini memberikan kelegaan bagi siswa, guru, dan para orangtua. Sebab, orientasi siswa yang mengeliminasi rasa takut siswa akan memberikan rasa aman. Bahkan, kebijakan ini dapat menutup buku catatan merah atas sederetan siswa baru yang menjadi korban dari `keganasan' MOS yang dilakukan senior atau orang lain di sekolah.

Harus diakui bahwa banyak siswa merasa keberatan dengan MOS konvensional yang padat dengan sejumlah tugas berat. Siswa baru yang semestinya beradaptasi dengan lingkungan belajar baru dan menemukan motivasi untuk melejitkan prestasi justru mendapat kesibukan yang pelik. Di antara penugasan klasik MOS yang (sejak dulu) penting untuk dihapus, misalnya, mengumpulkan ratusan merica dan mencari bahan-bahan yang `langka'. Jika siswa tak berhasil menemukannya, hukuman pun siap menanti. Di sisi lain, para senior juga seolah menjadi sosok otoriter.

Sayangnya, kultur negatif saat MOS seolah dimafhumi. Terkecuali siswa baru, banyak pihak abai terhadap MOS yang `menyiksa'. Konsekuensi logisnya, suburlah budaya MOS yang sarat dengan kekerasan, baik verbal, fisik, ataupun mental. Padahal, dampak MOS yang penuh nuansa kecemasan sangat signifikan. Dalam jangka pendek, siswa baru akan mendapat hambatan penyesuaian diri dan mengalami perasaan bersalah. 

Hal ini wajar sebab filosofi MOS yang banyak dianut sekolah ialah `menempa mental'. Sayangnya, penempaan mental dimaknai dengan sangat sempit, yakni dengan tindakan memarahi, menghukum, dan menyalahkan.

Dalam perspektif psikologi, sikap memarahi, menghukum, dan menyalahkan dapat menjadi sumber petaka bagi orang lain. Seseorang yang dihukum, dimarahi, dan disalahkan akan rentan memiliki perasaan bersalah yang luar biasa. Bahkan, kemarahan yang secara repetitif dapat menurunkan kepercayaan diri dan motivasi. Kemarahan akan menimbulkan luka. Kenyataan ini semakin menegaskan bahwa energi negatif pada MOS yang konvensional harus diubah menjadi energi positif. Alih-alih memberikan rasa sakit kepada siswa baru, MOS idealnya dapat menjadi penyembuh. Penyembuh bagi siswa atas derita emosi, mental, dan perilaku.

Poin pentingnya ialah tidak semua siswa masuk ke sekolah baru dalam keadaan baik-baik saja. Bisa saja, mereka anak yang lahir dari keluarga bermasalah dan tak memiliki gairah menuntut ilmu, kecuali demi formalitas belaka. Jika guru dan pengambil kebijakan di sekolah abai terhadap kondisi awal siswa baru, jangan heran jika di kemudian hari mereka menjadi sumber masalah di sekolah. Sebab, anak-anak dengan permasalahan intrapersonal yang tak selesai cenderung mela hirkan hubungan interpersonal yang buruk dengan orang lain. Pada titik inilah, MOS semestinya diselenggarakan dalam kerangka pengenalan dalam arti yang sebenarnya.

Dalam kegiatan orientasi siswa, pendekatan dari hati ke hati sangat diperlukan. Guru diharapkan memiliki kepekaan dan mampu menjalin kedekatan dengan siswa baru sehingga ketika dalam masa orientasi siswa ada beberapa anak didik yang belum bisa mengikuti peraturan dan ritme kegiatan, guru mesti lebih awas.

Di masa orientasi, guru perlu memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk melakukan pendekatan terhadap siswa, memperkenalkan kultur belajar, dan yang paling penting menyuntikkan semangat baru. Sekolah baru semestinya dapat menghadirkan iklim belajar yang lebih positif. MOS harus diubah, dari gaya konvensional menuju profesional. Sejak awal, guru perlu membangun nuansa kenyamanan. Dengan demikian, hambatan psikologis siswa dalam beradaptasi dengan orang-orang baru, lingkungan baru, dan budaya belajar dapat berjalan dengan optimal.

Ibarat membuka lembaran baru, para guru mesti mempersiapkan diri untuk menyambut siswa. Terlebih dahulu, guru perlu membangun kesiapan mental. Mereka harus meyakini akan kemampuan dalam mengajar dan mendidik siswa dengan baik. Di sisi lain, siswa juga perlu membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru tanpa dihantui rasa takut. Dalam mengenali siswa, ada baiknya guru juga memetakan potensi siswa.

Tantangan selanjutnya ialah mampukah guru bersikap apresiatif atas prestasi siswa? Di sisi lain, bukan hal yang mudah mendeteksi potensi siswa dengan prestasi yang belum tampak. Upaya ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sepanjang rentang waktu belajar, guru perlu cermat memperhatikan siswa. Meski demikian, satu hal yang harus diingat ialah setiap anak memiliki perbedaan individual yang unik sehingga guru tidak perlu membandingkan siswa satu dengan siswa lainnya. Kepercayaan dari pendidik bahwa semua siswa memiliki potensi dan dapat berprestasi dengan cara masing-masing merupakan starting point yang ideal untuk memulai tahun ajaran baru.

Tidak hanya kepada siswa, alangkah baiknya jika masa orientasi juga diikuti dengan pengenalan orangtua terhadap sekolah, guru, dan kultur belajar. Hal ini penting, sebab hubungan yang harmonis antara guru dan orangtua akan berdampak pada pengajaranpengasuhan yang seirama. Keberhasilan guru dalam menjalin kedekatan dengan siswa (sekaligus orangtua) di masa-masa awal tahun ajaran sangatlah penting. Sebab, suatu ketika jika anak mengalami permasalahan perilaku, keluarga menjadi partner bagi sekolah untuk mendukung penyelesaian masalah.

Betapa banyak kasus kenakalan siswa yang tak terpecahkan karena kegagalan komunikasi. Alhasil, siswa yang dinilai nakal pun semakin tidak menyadari kesalahannya, bahkan semakin berada dalam taraf keparahan yang serius. Padahal, penanganan terha dap anak-anak bermasalah hanya akan efektif jika sekolah akrab menjalin kerja sama dengan orangtua. 

Sekolah sangat perlu membangun kedekatan dengan siswa, sebagaimana orangtua menjalin kedekatan dengan anak kandungnya. Sebab, transformasi nilai-nilai kebajikan hanya akan efektif apabila dilakukan figur otoritas. Nah, dalam masa orientasi siswa, sekolah harus berhasil membangun diri sebagai figur otoritas bagi para siswa.

Kegagalan sekolah dalam mengenali siswa akan berdampak buruk pada proses belajar dan mengajar. Tidak sedikit guru yang ingin menyampaikan maksud baik justru ditanggapi negatif oleh siswa, demikian pula sebaliknya. Dalam jangka panjang, situasi itu dapat menyuburkan benih kebencian sehingga menyakitkan hubungan guru dengan siswa. Dunia pendidikan tak hanya memerlukan guru yang cerdas saja, tapi juga yang mau dan mampu memahami karakter siswa. Pemahaman yang baik terhadap karakter siswa dapat membimbing guru untuk dapat mengajar dan membimbing setiap siswa dengan metode yang paling tepat.

Pada muaranya, MOS harus menjadi momentum untuk memulai hubungan yang harmonis antara siswa baru, kakak kelas, guru, dan lingkungan sekolah. Sebab, tugas kependidikan yang diemban guru dan siswa tidaklah mudah. Tugas kependidikan untuk mencerdaskan siswa dan membentuk karakter positif hanya akan berhasil jika guru dan siswa mampu mengenal dan menjalin hubungan yang produktif. Untuk menuju hal itu, aktivitas MOS yang tak berkaitan dengan tujuan utama harus ditiadakan, diganti dengan kegiatan positif yang memupuk motivasi belajar, berprestasi, dan bersikap secara positif. ●

Teachers as Researcher

Teachers as Researcher

Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                               MEDIA INDONESIA, 04 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAK ada profesi yang paling mulia di muka bumi ini selain men jadi guru. Tak ada profesi yang paling melelahkan di muka bumi ini selain menjadi guru. Namun, tak akan mungkin kemuliaan dan kelelahan seorang guru bisa diperoleh tanpa sikap profesionalisme dalam diri mereka sendiri. Sikap terhadap profesi berarti adanya kesadaran yang permanen seperti dikatakan Jack Snowman, Rick McCown, Robert Biehler dkk dalam Psychology Applied to Teaching (2012), yaitu menjadi guru yang baik dan profesional itu setidaknya memiliki 3 alasan, yaitu (1) mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks dan membutuhkan pengetahuan yang luas; (2) praktik mengajar di dalam kelas harus selalu ditopang dan disegarkan hasil riset secara terus-menerus; serta (3) guru yang selalu updating dengan hasil-hasil riset, baik yang dibuat sendiri maupun dibacanya, akan menjadi guru yang lebih baik daripada lainnya.

Otoritas profesional

Otoritas profesional berasumsi bahwa proses pembelajaran merupakan suatu disiplin intelektual yang memerlukan pengembangan dalam suatu wadah yang baik. Dengan kata lain, jika guru mempunyai otoritas, guru akan mudah dikenali secara cepat dan mudah, baik oleh anak-didik maupun praktisi pendidikan. Di samping itu, otoritas profesional dapat menunjukkan jati diri guru, yaitu selain sebagai pembaca buku, juga sekaligus pembelajar bagi anak didik. Ketiadaan otoritas bagi seorang guru dapat diibaratkan seperti seorang dokter yang melakukan diagnosis tanpa pengetahuan tentang teori dan cara mendiagnosis pasien.

Salah satu syarat yang dibutuhkan untuk menumbuhkan otoritas profesional guru ialah bagaimana memahami untuk kemudian meninggalkan paradigma lama dalam melakukan pola pembelajaran. Lebih dari 15 tahun para guru di seluruh dunia terbuai dengan teori behaviorisme yang selalu berusaha mencoba mengubah tingkah laku. Secara intrinsik, proses belajar-mengajar dalam behaviorisme terlalu terpaku pada masalah-masalah yang kompleks dan tak terpecahkan, yaitu asumsi stimulus-respons terlalu menyederhanakan masalah pembelajaran yang semakin spesifik.

Pendekatan behavioristik juga sangat kurang menghargai kreativitas siswa karena model menghafal dan meng-copy masalah menjadi ciri lainnya dari model ini. Dalam dunia pendidikan yang sudah berkembang sedemikian pesat sekarang ini, otoritas guru yang didasarkan pada teori behaviorisme harus segera diubah ke dalam pendekatan functional-learning, sebuah pendekatan yang lebih menghargai kapasitas akademis guru dan siswa secara bersamaan.

Teori fungsional (functioning theory) berkembang dalam 20 tahun terakhir. Model ini mensyaratkan otoritas guru bergantung pada siapa yang mengajar.Dalam bahasa Jerome Bruner, model teori ini seperti fungsi seorang ibu yang berinteraksi dengan anaknya melalui akuisisi bahasa. (Bruner, “Learning the Mother Tongue, Human Nature”, September 1978). Artinya, teori ini melihat bahasa sebagai hasil dari interaksi seorang ibu atau guru ketika menggunakan bahasa sesuai dengan rasa bahasa yang berkembang dalam diri seorang anak.

Di dalam kelas, guru harus melihat penugasan dalam penulisan bukan sebagai tiruan tegas, melainkan sebagai situasi ketika penulisan mempunyai satu peran fungsional terhadap daya nalar dan daya tangkap seorang anak. Karena itu, dalam melakukan penilaian, seorang guru harus mengandalkan otoritas pikir dan rasa yang dimilikinya. Seorang guru dalam teori ini tak bisa sekehendak hati dan membabi buta hanya mengikuti aturan penilaian sepihak, tanpa mendiagnosis respons yang mencerminkan pengalaman siswa ketika mengerjakan suatu tugas. Namun, selama program pengembangan staf memperlakukan guru seolah-olah mereka ialah orang sakit yang memerlukan penanganan, guru akan bertindak seperti orang sakit. Selama guru diperlakukan sebagai orang yang tidak memiliki pikir, rasa, dan kepekaan sosial, mereka akan masuk ke kelas dan bertindak seolah-olah mereka tidak mengetahui apa pun.

Oleh karena itu, jika satu model fungsional dalam pola pembelajaran digunakan sebagai suatu pendekatan yang digunakan para guru di dalam kelas, guru dapat menunjukkan otoritasnya sebagai fasilitator sekaligus mediator pembelajaran yang baik dan bermutu. Masalahnya, bagaimana guru dapat mengidentifikasi bahwa mereka memiliki otoritas fungsional dalam mengajar? Jawabannya bergantung pada keinginan guru itu sendiri dan kebijakan yang akan dibuat pemerintah. Jika kebebasan dan kesempatan diberi wadah yang luas dalam lingkup sekolah dan kebijakan,
guru yang bisa sekaligus menjadi periset di bidangnya pasti akan terjadi.

Empat nilai

Keterampilan menjadi guru, jika diramu dan digabungkan dengan kemampuan melakukan riset kelas (action research) secara terus-menerus, dalam diri guru itu akan terbentuk etos profesionalisme yang selalu dinamis bergerak mengikuti perkembangan. Suzie Fitzhugh (2012) secara gamblang menjelaskan pengalamannya bahwa understanding and managing the teaching/learning process is a challenge for researchers and teachers because it is affected by numerous variables that interact with one another. Artinya, teknik mengamati dan observasi yang harus dikembangkan dalam proses belajar mengajar sangatlah penting.

Catatan lain yang juga penting untuk diingat semua guru yang menginginkan perubahan dalam perspektif dan cara mengajar yang lebih baik ialah menumbuhkan kesadaran mengajar ialah sebuah seni. Seni mengajar hanya bisa diaplikasikan secara sederhana jika seorang guru mampu memahami empat hal sekaligus. Pertama, mengajar itu memerlukan keyakinan dan kepercayaan serta memiliki tujuan yang jelas untuk dan dalam rangka memberikan anakanak masa depan yang lebih baik. Kedua, mengajar membutuhkan kematangan dan kedewasaan emosi yang stabil dalam rangka mengelola interaksi dengan siswa dan teman guru lainnya. Tanpa kematangan dan kedewasaan emosi yang cukup, sangat mustahil seorang guru bisa berkembang.

Ketiga, mengajar harus memiliki nilai yang positif, baik bagi guru maupun siswa, seperti keharusan untuk saling menghargai, terbuka, dan toleran, serta nilai-nilai keadaban manusia lainnya. Konteksnya ialah mengajar itu harus selalu diisi nilai-nilai kebaikan. Terakhir, keempat, dalam mengajar, seorang guru harus memiliki fleksibilitas, baik dari segi perencanaan maupun penggunaan alat, bahan, dan strategi pengajaran di dalam kelas. Yang dihadapi guru ialah anakanak yang memiliki keragaman talenta sehingga fleksibilitas jelas kebutuhan seorang guru yang profesional. ●

Mudik dan Menggeliatkan Ekonomi Daerah

Mudik dan Menggeliatkan Ekonomi Daerah

Enny Sri Hartati ;  Direktur Indef
                                               MEDIA INDONESIA, 04 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MUDIK Lebaran sering kali hanya dianggap sebagai ritual tahunan yang menyertai setiap perayaan hari raya Idul Fitri. Padahal jika dicermati peristiwa mudik Lebaran di Indonesia bisa dibilang cukup fenomenal. Bagaimana tidak? 

Pertama, mudik Lebaran melibatkan pergerakan jutaan penduduk di seluruh wilayah Indonesia, yang terjadi hampir serentak dengan pola yang searah. Utamanya pergerakan dari kota-kota besar menuju daerah-daerah perdesaan dan kota-kota kecil. Data Kementerian Perhubungan memperkirakan arus mudik tahun 2016 mencapai sekitar 30 juta orang.

Kedua, animo masyarakat yang melakukan mudik tidak terpengaruh kondisi apa pun, termasuk adanya perlambatan ekonomi. Bahkan mengabaikan tingginya biaya tiket perjalanan dan rela terjebak kemacetan panjang hanya untuk dapat mudik. Ketiga, sekalipun terjadi perkembangan era teknologi komunikasi, hasrat untuk bersilaturahim secara langsung melalui mudik tetap tinggi. Padahal, silaturahim tidak lagi hanya dapat dilakukan melalui telepon, e-mail bahkan dapat bertatap muka langsung melalui video call.

Keempat, kegiatan mudik juga disertai pergerakan ekonomi yang cukup besar. Pemerintah mewajibkan para pelaku usaha memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya minimal sebesar satu kali gaji. Jumlah pekerja sektor formal diperkirakan sekitar 47,5 juta orang. Jika diasumsikan rata-rata upah minimum sekitar Rp2 juta per bulan, setidaknya terdapat lebih dari Rp90 triliun yang juga terbawa oleh pergerakan para pemudik. Apalagi jika pemerintah tidak hanya mengeluarkan gaji ke13 (THR) namun juga mencairkan gaji ke-14. Melalui efek perputaran uang (velocity of money), tentu nilai riil perputaran uang dapat mencapai dua kali lipat dari nilai tersebut.

Artinya selama Idul Fitri terdapat perputaran uang tunai dan potensi transfer dana dari kota ke desa yang hampir mencapai Rp200 triliun.
Keempat, hal tersebut minimal cukup untuk merefleksikan bahwa tradisi mudik Lebaran tidak hanya berdimensi religius, juga sangat kental dengan dimensi sosial, budaya, juga pergerakan ekonomi masyarakat. Jika mampu dikapitalisasi dan dioptimalkan, tradisi mudik ini dapat menjadi momentum untuk menggerakkan ekonomi yang sangat besar. Adanya potensi peningkatan kemampuan belanja masyarakat ini mestinya mampu mendongkrak permintaan dan memacu produksi.

Sayangnya, tambahan amunisi belanja masyarakat dengan adanya THR selalu dihadang melambungnya harga kebutuhan pokok dan kenaikan tarif transportasi untuk pemenuhan kebutuhan mudik Lebaran. Akibatnya, momentum peningkatan permintaan yang sedianya memacu produksi tertiadakan oleh tingginya inflasi. Padahal, jika pemerintah mampu menstabilkan harga kebutuhan pokok, peningkatan daya beli masyarakat tentu akan menjadi daya dorong dalam memacu produksi secara nasional. 
Artinya, kapasitas produksi akan meningkat dan penciptaan lapangan kerja akan meluas sehingga dalam jangka berikutnya akan semakin memompa daya beli masyarakat.

Di samping menjadi momentum memacu produksi, tradisi mudik Lebaran juga dapat sebagai instrumen pemerataan kue pembangunan, perbaikan infrastruktur dan menggerus kesenjangan ekonomi antara kota dan desa. Seiring pergerakan pemudik, pendapatan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang terkonsentrasi di kota besar berpeluang tertransfer dan diredistribusi ke berbagai pelosok daerah.

Setidaknya terdapat empat ke giatan pemudik yang efektif menggerakkan potensi ekonomi daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertama, melalui kegiatan konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan selama pemudik berada di daerah. Mulai dari pemenuhan kebutuhan makanan dan minuman dan kebutuhan jasa transportasi. Wisata kuliner merupakan pengeluaran pemudik yang langsung tertransfer pada kegiatan ekonomi yang ada di daerah. Apalagi jika pelaku ekonomi daerah mempunyai berbagai kreativitas seperti industri makanan dan kerajinan yang dapat menjadi suvenir untuk dapat dibawa pulang pemudik ke kota. Kegiatan ini berpotensi menggerakkan potensi ekonomi daerah. Apalagi jika para pemudik juga dapat berperan sebagai agen promosi produk lokal. Tentu akan semakin mengembangkan area pemasaran produk daerah ke skala yang lebih luas.

Kedua, kegiatan penyaluran zakat, infak dan sedekah pemudik. Kegiatan ini tidak hanya sebatas menyalurkan zakat yang bersifat santunan kepada fakir miskin, tetapi juga dapat diperluas dengan penggalangan dana dari para pemudik yang telah sukses untuk memperbaiki berbagai infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan di desa.

Banyak daerah yang sukses mengembangkan potensi desa atas bantuan dan kreativitas penduduk yang sukses di kota. Ketersediaan infrastruktur dasar akan efektif mengembangkan nilai tambah berbagai potensi desa.
Ketiga, mengoptimalkan kegiatan wisata. Banyak daerah yang memiliki objek destinasi wisata yang menawan. Sayangnya, banyak pemerintah daerah yang kurang peduli dan kreatif untuk memberdayakan potensi wisata tersebut. Jika pemerintah daerah mampu mempersolek berbagai objek wisata daerah, itu dapat menyedot kunjungan para pemudik.

Tentu tidak hanya berdampak pada peningkatan restribusi dan pendapatan asli daerah (PAD). Namun, keberadaan objek wisata juga menggerakkan berbagai macam kegiatan ekonomi berbasis pariwisata yang memiliki memiliki multiplier effect bagi kegiatan ekonomi daerah.

Keempat kegiatan investasi di daerah, terutama mengembangkan industri perdesaan. Tujuannya agar perputaran uang di daerah tidak hanya berlangsung temporer dan menciptakan multiplier effect dalam jangka menengah panjang. Banyak potensi dan peluang investasi yang prospektif terbuka lebar di daerah pedesaan. Sektor pertanian salah satu sektor perdesaan yang memiliki daya tarik investasi dengan pengembalian investasi yang cukup menggiurkan. Salah satunya melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah lahan pertanian.

Lahan pertanian seharusnya tidak hanya dikelola melalui usaha tani secara tradisonal, tetapi juga ke pertanian modern. Misalnya dengan sistem pertanian organik untuk memenuhi kebutuhan beras untuk kalangan menengah ke atas yang tumbuh pesat. Begitu juga investasi untuk memperbaiki sistem logistik di sentrasentra produksi bahan pangan yang mudah rusak seperti sayur mayur dan buah-buahan. Tentu berita kelangkaan dan fluktuasi harga cabai tidak perlu lagi terjadi. Apalagi jika dapat dikembangkan dengan investasi industri perdesaan yang mengolah berbagai produk potensial di masing-masing desa tersebut. Maka slogan one village one product yang memiliki daya saing dapat segera terwujud.

Pilihan investasi juga dapat dilakukan di sektor peternakan. Jika ada investasi yang memadai untuk mengembangkan industri peternakan modern dan dikelola secara profesional, kebutuhan daging segar tidak perlu lagi harus tergantung impor. Jika populasi sapi dapat ditingkatkan secara signifi kan, target swasembada daging sapi tentu baru bisa terwujud. Di tengah harga daging sapi lokal yang jauh di atas harga daging sapi impor semestinya menjadi insentif ekonomi bagi industri peternakan di Indonesia. Di samping itu, tentu juga harus didorong masuknya investasi pada industri pakan ternak agar terdapat kompetisi yang sehat. Juga menghilangkan berbagai kemungkinan terjadinya praktik kartel.

Pada prinsipnya banyak potensi ekonomi daerah pedesaan yang dapat dikembangkan menjadi usaha-usaha yang produktif dan prospektif. Salah satu caranya ialah mendorong industrialisasi di perdesaan. Kuncinya dibutuhkan masuknya investasi dan ditangani tenaga kerja profesional dengan keahlian dan wawasan yang luas. Untuk itu perlu kolaborasi dengan putra-putra daerah yang telah berhasil mengembangkan usaha di kota. Jika keterbatasan sumber daya manuasi di daerah ini dibiarkan potensi besar daerah tentu selamanya akan terus terbengkalai.

Jika industrialisasi pedesaan ini mampu terus dikembangkan, lambat laun kesenjangan perekonomian desa dan kota segera dapat direduksi. Pada akhirnya arus urbanisasi desa ke kota juga dapat dikurangi. Bahkan desa akan menjadi basis pengembangan produksi untuk produk-produk dengan daya saing yang tinggi. ●

Budaya Mudik Lebaran

Budaya Mudik Lebaran

Komaruddin Hidayat ;  Guru Besar Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
                                               MEDIA INDONESIA, 02 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RASULULLAH mengingatkan umatnya, ibarat memacu kuda maka mendekati garis finis hendaknya larinya semakin kencang agar menjadi pemenang. Begitu pun dalam ibadah puasa Ramadan, di 10 hari terakhir hendaknya diperbanyak ibadah karena hari-hari itu justru akan menentukan kualitas dan keutuhan ibadah Ramadan. Namun, rupanya yang lebih heboh ialah agenda pulang mudik. Semoga saja mudik Lebaran pun akan tercatat sebagai ibadah.

Fenomena Lebaran telah berakar kuat dalam masyarakat dan ini akan tetap bertahan terus terlebih ketika urbanisasi juga semakin meningkat.
Pengamat asing mengatakan orang Indonesia, khususnya Jawa, they are very much attached to their lands. Masyarakat kita sangat terikat kuat dengan tanah air dan kampung halaman.

Itu terbukti, ketika keluarga yang mengalami rumah hancur terkena tanah longsor ditawari pindah tempat oleh pemerintah, mereka menolak pindah. Jadi, masyarakat Indonesia bukan bangsa yang senang berdiaspora. Mangan ora mangan asal ngumpul.

Tentu saja di kalangan generasi muda sudah mulai kendur ikatan etnik dan kedaerahan, mereka berkarier dan hidup di rantau. Namun, sangat jauh jika dibandingkan dengan masyarakat Tionghoa, Turki, India, dan Yahudi, yang tinggal dan membangun komunitas di luar negeri.

Dugaan saya, kata lebaran berasal dari bahasa Jawa, yang berarti seseorang sudah selesai menyelenggarakan sebuah hajatan. Itulah hajatan melaksanakan perintah puasa selama Ramadan. Dengan hadirnya Hari Lebaran, seseorang diajarkan untuk lebur, yaitu menyatu kembali dengan sesama hamba Tuhan, apa pun status sosialnya, setelah kembali ke fitrahnya.

Itu ditandai dengan diselenggarakannya acara halalbihalal di lingkungan perkantoran dan masyarakat, sebuah forum untuk saling memaafkan dan memperkukuh rajutan sosial.

Lebaran juga mendorong munculnya sikap luber, yaitu sikap filantropis, senang berbagi rezeki, mensyukuri anugerah Tuhan yang diterimanya selama ini. Karena itu, banyak keluarga muslim yang mengeluarkan zakat tahunan serta sedekah sehabis Ramadan, di luar zakat fitrah. Tradisi mudik pulang kampung juga menjadi medium untuk mengekspresikan rasa syukur setelah puasa sebulan yang di dalamnya terkandung semangat lebur dan luber.

Kreasi masyarakat

Tradisi yang memiliki dimensi keagamaan sulit hilang atau dihilangkan dari masyarakat, seperti di Bali tempat agama dan budaya telah menyatu. Di Indonesia, budaya Lebaran justru semakin meriah dan menguat karena dampak ekonomi dan sosialnya sangat positif bagi masyarakat dan negara.

Budaya Lebaran secara signifikan ikut memperkukuh kohesi sosial dan mendukung pemerataan ekonomi. Mobilitas warga yang sedemikian masif telah mendorong pembangunan infrastruktur dan menghidupkan bisnis transportasi nasional dengan segala turunannya. Tradisi pulang mudik yang awalnya hanya populer di kalangan masyarakat Jawa sekarang juga menular ke luar Jawa.

Festival yang telah mentradisi yang diciptakan negara ialah peringatan kemerdekaan 17 Agustus. Namun, dampak sosial ekonominya tidak sebesar dan seheboh Lebaran. Begitu pun pesta tahun baru. Gebyarnya hanya sesaat dan miskin aura keagamaannya. Namun, suasana Ramadan yang ditutup dengan Idul Fitri sangat kental aura religiositasnya.

Banyak orang yang mengeluarkan zakat dan sedekah pada bulan Ramadan sehingga ketika tiba Hari Lebaran suasana batin terasa lega. Masing-masing merasa saling memaafkan dan dimaafkan.

Suasana yang demikian ini bukan hasil rekayasa politik, melainkan benar-benar tumbuh dari bawah, keluar dari hati yang selalu ingin memperbaiki kualitas hidup dan merasakan nikmatnya kebersamaan, toleransi, dan kedamaian yang muncul dari penghayatan iman.

Konon sejarahnya, di Eropa hari libur Sabtu dan Minggu disebut holiday karena diinspirasi Bibel bahwa Tuhan istirahat mengurus dunia pada Sabtu. Karena itu, manusia juga istirahat dari kerja mengejar duniawi lalu diganti dengan acara ritual memuja Tuhan sehingga pada holy-day, hari suci, orang pergi ke gereja atau kuil untuk memuja Tuhan.

Namun, sekarang telah terjadi proses sekularisasi, nilai-nilai keagamaan justru hilang pada holiday, yang menonjol ialah pesta duniawi yang penuh hura-hura. Ketika saya jalan-jalan ke Eropa Timur masih terdapat sisa-sisa tradisi Kristen kuno. Ketika datang Sabtu dan Minggu, toko-toko tutup sekalipun banyak turis. Itu pengaruh metafora Bibel, bahwa Sabtu Tuhan pun istirahat sehingga manusia juga mesti istirahat lalu diganti dengan memperbanyak berdoa dan bekerja bakti, tidak mencari uang.

Dari sekian banyak tradisi, jika di dalamnya ada unsur keagamaan, biasanya itu akan mampu bertahan lama. Contoh yang fenomenal ialah masyarakat Hindu Bali, antara ritual keagamaan dan budaya telah menyatu, bahkan menjadi daya tarik turis yang mendatangkan devisa.

Bagi masyarakat Islam Indonesia, selama Ramadan juga berkembang tradisi berbuka bersama. ak Jusuf Kalla, wakil presiden, pernah berujar kepada saya, puasa itu hanya sebulan, tapi acara berbuka puasa bisa 50 kali, karena mesti menghadiri undangan acara buka bersama di berbagai tempat.

Ketika Lebaran tiba, yang paling utama dari segi agama ialah mendirikan salat Idul Fitri di lapangan atau masjid agung. Namun, yang membuat heboh ialah acara pulang mudik kumpul keluarga, dilanjutkan dengan silaturahim saling memaafkan dan menikmati hidangan Lebaran bersama tetangga dan sanak saudara.

Silaturahim itu juga diselenggarakan di perkantoran, biasanya pada minggu pertama masuk kerja, diikuti semua karyawan lintas agama.

Mengingat animo pulang mudik tetap tinggi, syukurlah pemerintah selalu berusaha meningkatkan kenyamanan dan keamanan acara mudik berupa perbaikan infrastruktur sehingga budaya Lebaran semakin terasa ramah dan menggembirakan. Orang bilang, kalau tidak mudik, Lebarannya serasa hanya separuh. ●