Rabu, 31 Desember 2014

“Lalu” dan Tahun Baru

                                           “Lalu” dan Tahun Baru

Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat
KOMPAS,  31 Desember 2014

                                                                                                                       


PERGANTIAN tahun selalu mendatangkan harapan sekaligus menyisipkan kecemasan. Membersitkan pengalaman silam sekaligus menghamparkan jejak yang akan dilewati dengan banyak kemungkinan.

Ini juga mungkin yang menjadi alasan utama pada malam pergantian tahun orang berkumpul, berdoa, dan atau menyalakan kembang api dengan bayangan langit pada tahun 2015 memayungi dengan semburat cahaya. Bisa jadi hari Natal, bahkan juga tahun ini beriringan dengan maulid Nabi Muhammad SAW, menjadi sangat berimpitan dengan Tahun Baru dengan sebuah imaji kelahiran sang Yesus itu menjadi pertanda kelahiran kembali kita, baik sebagai personal, sosial, maupun kebangsaan, menuju kehidupan yang lebih damai.

Dalam idiom kelahiran tergambarkan suasana semangat baru. Tak ubahnya bayi yang lahir dari rahim sang bunda: disambut kehidupan penuh suka dan tangisan sebagai lambang keceriaan. Tak ada bayi yang kehadirannya ditampik. Ia datang bahkan jauh-jauh hari telah dinanti setelah sang bunda menyimpannya di perut selama sembilan bulan.

Setelah lahir, lekaslah diberi nama terindah. Lengkap dengan hajatan yang berisi doa, rajah, dan mantra. Nyaris tidak hanya orangtua yang ikut bahagia, bahkan juga keluarga dan tetangga. Dalam tradisi Islam, dibacakannya puisi-puisi marhaba. Anta syamsyun anta badrun anta nurun fauqa nuri. Engkau mentari, engkau rembulan, engkau cahaya di atas cahaya.

Bayi Indonesia

Dalam konteks kebangsaan, tentu saja bayi itu bernama Indonesia, yang hari ini telah menginjak usia 69 tahun. Diksi lain dengan terang menahbiskannya lewat kata berjenis kelamin hawa: ibu pertiwi. Disemai manusia pergerakan lewat pena dan senjata. Dan, puncaknya akta kelahiran itu tertanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur dan kebetulan Soekarno-Hatta dipercaya sebagai bidannya.

Kepada manusia, pergerakan kita banyak berutang budi. Mereka tidak hanya telah berjuang, tetapi juga menjadikan perjuangan itu sebagai bagian tugas suci kebangsaan. Kalau sudah berbicara ”bangsa”, apa pun ditanggalkan, termasuk sentimen agama dan etnisitas.

Seandainya mereka berbeda pilihan ideologi, ideologi yang mereka kukuhi itu bukan sekadar kendaraan untuk meraih kursi kekuasaan, tetapi justru sebagai alat untuk mempercepat Indonesia menemukan adabnya. Mempercepat bagaimana kemerdekaan itu dapat diartikulasikan dalam maknanya yang hakiki.

Maka, menjadi tidak aneh kalau kita membaca hikayat manusia pergerakan yang tergambarkan adalah potret manusia-manusia Indonesia yang sudah menyatu dengan bahasa, tanah air, dan tumpah darahnya. Ketika berbicara tentang keindonesiaan, yang muncul bukan puak dan institusi keagamaan, melainkan semangat kebangsaan yang berwatak inklusif, kosmopolit, dan menjunjung tinggi keragaman. Maka, misalnya, dengan sangat mudah Mohammad Hatta menerima usulan dari Indonesia bagian timur untuk mengganti sila ”Ketuhanan yang Maha Esa” tanpa disertai ”tujuh kata” di belakangnya. Wahid Hasyim, Teuku Hasan, Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman, dan lainnya dengan legawa menerimanya.

Soekarno tidak kemudian murka ketika usulan sila-sila Pancasila tidak diterima di sidang BPUPKI  pada 1 Juni 1945. Padahal, kalau kita renungkan, sila Pancasila yang diusung Soekarno sangat visioner. Menating tentang kebangsaan Indonesia, internasionalisme, atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, dan kesejahteraan sosial serta ketuhanan yang berkebudayaan. Pantas kalau Russel menyebutnya Great Thinker in The East.

Padahal, bayi bernama Indonesia itu lahir sangat tidak lazim sebagaimana konsep kebangsaan pada negara-negara Barat. Keindonesiaan, seperti tesis Anderson, dibangun tidak di atas tanah dan air yang konkret dan homogen, tetapi justru di atas bentangan imaji tentang persatuan dan kesatuan dengan suku yang berjumlah ratusan, bahasa ribuan, serta agama dan kepercayaan yang tak tepermanai. Dibangun di atas hamparan kesamaan nasib: ketertindasan.

Entah rajah apa yang dirapalkan manusia pergerakan sehingga mereka bisa mempersatukan keragaman tersebut. Dapat melakukan konsolidasi fantasi nasionalisme.

Bahkan, menjadi sulit mencari tautan logisnya ketika lambang Garuda yang dianggit dari kitab Sutasoma abad ke-14 masa kejayaan Majapahit bisa kemudian diimani sebagai ”kalimatun sawa”. Bagaimana lagu kebangsaan Indonesia Raya yang pertama kali dikumandangkan saat Sumpah Pemuda bisa menjadi perekat seluruh anak bangsa dalam kesatuan cita-cita berbangsa. Bagaimana dokter Wahidin, Cipto Mangunkusumo, dan Gunawan melakukan pembangkangan kepada Hindia Belanda demi memburu mimpi abstrak ”kebangkitan nasional”.

Bagaimana pula seorang KH Hasyim Asy’ari pada peristiwa November 1945 lewat resolusi jihadnya bisa mengeluarkan fatwa bahwa mengusir kaum penjajah adalah bagian dari jihad fi sabilillah dan kematiannya dianggap martir (syahid). Bagaimana seorang Bung Tomo atas nasihat Hadartusy Syekh, teriakan Allahu Akbar-nya mampu membakar masyarakat Surabaya sehingga mereka tak kenal gentar menerjang kolonial yang hendak mencengkeramkan kembali kuasa penjajahannya di Nusantara.

Bagi saya, salah satu kelebihan manusia pergerakan itu mereka menjadikan politik sebagai rute meraih kemuliaan. Alhasil, mereka benar-benar masuk dalam palung pengalaman politik keutamaan. Balai deliberatif dibuka lebar-lebar dan mereka kemudian mempercakapkan keindonesiaan dalam maqam kesetaraan dan nalar menjulang dengan tidak menghilangkan sikap lapang dalam mengapresiasi berbagai perbedaan.

Kemuliaan tidak diletakkan pada militansi memaksakan keinginan, tetapi pada keluhuran pekerti. Maka, misalnya, menjadi tidak ada masalah seandainya mereka datang ke Gedung Konstituante berjalan kaki, jas yang robek, dan atau pakaian lusuh.

Asketisme politik menjadi pilihan hidupnya. Di titik ini kita membaca Soekarno yang tidak pernah memburu benda; Tan Malaka yang tidak memiliki alamat rumah tinggal; Hatta yang sederhana tetapi tegas ketika bersikap harus bersimpang jalan dengan Soekarno; Sjahrir yang lebih mengedepankan kekuatan pikir ketimbang berkompromi dengan keadaan; Wahid Hasyim yang tidak kehilangan spirit kejuhudan; Juanda dan Johannes Leimena yang lurus dan tekun bekerja; Otto Iskandar Dinata bahkan tidak ditemukan makamnya karena dibunuh dalam sebuah sengketa yang sampai hari ini belum jelas apa motif di baliknya.

”Demos” dan ”kratos”

Tentu saja itu adalah cerita silam. Narasi nostalgis yang seharusnya menginjeksikan sebuah kesadaran kepada manusia politik Indonesia awal abad ke-21 bahwa hari ini iklim politik kita dikepung anomali, ada sesuatu yang keliru. Bagaimana tidak, pasca pemilu dan setelah pilpres usai pada 2014, yang mencuat ke permukaan bukan semangat bekerja, melainkan justru kegaduhan merayakan kebencian.

Dalam atmosfer keagamaan, yang tampil ke muka sepanjang tahun 2014 bukan spirit melahirkan risalah agama sebagai daya untuk membangun kohesivitas kekitaan dan menjelmakan iman yang rahmatan lil-alamin. Akan tetapi, sebaliknya, yang kita saksikan agama (baca: ormas) malah sibuk mempromosikan pendakuan kebenaran seraya melipatgandakan pandangan liyan sebagai ”kafir”. Kekerasan—baik fisik maupun simbolik—pada tahun 2014 beranak pinak dan apabila negara tidak lekas memberikan kepastian kehadirannya, tidak mustahil pada akhirnya akan menjadi api membesar dan akhirnya membakar semua bangunan peninggalan manusia pergerakan.

Tahun 2015, di bawah nakhoda Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang terpilih secara demokratis, semoga demos itu tidak kehilangan kratos-nya. Selamat Natal dan Tahun Baru. ●

Perubahan Kebijakan Subsidi BBM

                          Perubahan Kebijakan Subsidi BBM

Udi H Pungut  ;   Peneliti pada Indonesia Research and Strategic Analysis
KOMPAS,  31 Desember 2014

                                                                                                                       


BAHAN bakar minyak merupakan komoditas strategis yang perlu campur tangan pemerintah. Kebijakan harga bahan bakar minyak ke depan harus dapat mendorong rasionalitas konsumsi dan kemajuan industri pengilangan minyak bumi di dalam negeri seraya mengurangi beban dan volatilitas anggaran pemerintah. Itulah semangat yang terkandung dari rekomendasi Komite Reformasi Tata Kelola Sektor Minyak dan Gas.

Secara garis besar, rekomendasi tersebut menyangkut dua masalah pokok, yaitu pola subsidi dan jenis bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi. Pola subsidi yang berlaku saat ini, yaitu berupa penetapan harga eceran, disarankan untuk diubah menjadi subsidi tetap (fixed subsidy).

Bensin, minyak solar, dan minyak tanah tetap dipertahankan sebagai jenis-jenis BBM yang diatur harganya. Namun, konsumsi bensin tidak lagi diarahkan kepada jenis bensin premium (RON 88).

Ke depan, impor bensin premium tidak perlu lagi dilakukan. Sebagai gantinya, Pertamina dapat mengimpor Mogas 92, yang di dalam negeri lebih dikenal dengan sebutan pertamax.

Selama masa transisi, kilang BBM Pertamina yang selama ini memproduksi bensin premium dapat tetap berjalan. Produksinya diedarkan di wilayah sekitar lokasi kilang dengan besaran subsidi lebih kecil daripada subsidi untuk pertamax.

Momentum

Harga minyak di pasar dunia sedang turun drastis. Sekarang saat tepat untuk memperbarui kualitas BBM yang kita konsumsi. Selisih antara harga keekonomian Mogas 92 dan harga eceran tanpa pajak untuk bensin premium yang ditetapkan pada saat ini tak terlampau besar. Dengan subsidi Rp 1.000 per liter, misalnya, harga Mogas 92 hanya akan sedikit lebih tinggi daripada harga eceran bensin premium yang ditetapkan saat ini.

Pergantian bensin premium dengan Mogas 92 memungkinkan penghitungan harga keekonomian bensin menjadi lebih akuntabel. Bensin premium tidak diperdagangkan di pasar dunia sehingga referensi harganya tidak tersedia. Impor bensin premium dilakukan dengan mencampur bensin yang kualitasnya lebih tinggi dengan Naptha. Harga keekonomian bensin premium dihitung  berdasarkan persentase tertentu dari harga Mogas 92.

Karena kualitasnya lebih tinggi, harga Mogas 92 tentu lebih mahal daripada bensin premium. Namun, harga patokan yang digunakan dalam penghitungan subsidi bensin premium ternyata menggunakan harga referensi atau harga indeks pasar yang hanya sedikit lebih rendah (98,42 persen) daripada harga Mogas 92.

Dengan menggunakan Mogas 92, biaya keekonomian konsumsi bensin akan bertambah sekitar 1,5 persen. Tambahan biaya tersebut adalah konsekuensi dari peningkatan kualitas konsumsi yang akan berdampak positif terhadap lingkungan dan menghasilkan manfaat lain bagi konsumen.

Perubahan kebijakan subsidi tentu mengharuskan penyesuaian pada pasokan BBM, khususnya bensin, oleh Pertamina. Produksi kilang di dalam negeri harus diubah dari bensin premium menjadi pertamax (RON 92). Menurut informasi, secara teknis itu dapat dilakukan Pertamina dalam waktu beberapa bulan. Peralihan produksi dari bensin premium menjadi Pertamax 92 dapat berjalan lebih lancar, terutama apabila Pertamina dapat mengelola fasilitas kilang TPPI yang ada di Tuban.

Subsidi tetap

Usulan besaran subsidi yang bersifat tetap banyak kita dengar akhir-akhir ini. Tim Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan pola subsidi tersebut, khususnya untuk bensin. Besaran subsidi per liter ditetapkan pemerintah sesuai dengan kemampuan anggaran. Dengan subsidi tetap, kebutuhan anggaran untuk subsidi menjadi lebih pasti dan tidak terpengaruh oleh perubahan harga BBM di pasar dunia.

Pola subsidi dalam bentuk penetapan harga eceran menyebabkan kebutuhan anggaran subsidi berfluktuasi sesuai dengan perubahan harga BBM di pasar dunia. Dengan pola subsidi tetap, tentu anggaran pemerintah akan lebih stabil karena perubahan harga minyak di pasar dunia ditransmisikan ke harga di dalam negeri. Dalam hal ini, konsumen di dalam negeri harus menyesuaikan diri dengan perubahan harga yang akan terjadi setiap bulanan atau dua mingguan.

Perlu dicatat, pola subsidi tetap tersebut hanya diusulkan untuk bensin. Untuk minyak solar, pola subsidinya masih menggunakan pola lama, yaitu dengan penetapan harga jual eceran.

Minyak solar bersubsidi umumnya digunakan untuk transportasi publik, angkutan barang untuk kepentingan umum, dan kapal nelayan. Harga input yang berubah-ubah diperkirakan mempersulit kegiatan usaha tersebut. ●

Satria Piningit

                                                         Satria Piningit

Suwidi Tono  ;   Koordinator Forum Menjadi Indonesia
KOMPAS,  31 Desember 2014

                                                                                                                       


DALAM pusaran arus zaman Kalatidha dan Kalabendu, ketika akal sehat diremehkan dan tata nilai jungkir balik, alam biasanya menubuatkan candikala, pendulum menuju keseimbangan baru. Sekalipun kondisi politik-ekonomi-sosial kisruh dan pengap, serasah alias humus dari nilai-nilai kemanusiaan sabar menyemai benih menjadi pohon-pohon kebajikan menjulang. Niskala ini melekat dalam kearifan Jawa (dan universal) saat menjumpai keadaan merisaukan. Dalam perlawanan terhadap kedangkalan hidup bermasyarakat dan bernegara, selalu muncul pribadi-pribadi menyebal, menentang pakem bobrok, kemudian bertindak dan memandu normanya sendiri.

Satria Piningit, para bangsawan pikiran dan tindakan itu, tentu saja tidak lahir seketika. Mereka umumnya menempa diri dari suasana kemelut tak berujung. Inilah jenis pemimpin the doer: aktif memecahkan masalah dan mewujudkan tujuan, serta peka menangkap sikap masyarakat. Jenis pemimpin semacam ini juga mahir memengaruhi, penuh aksi, dan mudah mendapatkan kepercayaan.

Karakteristik lain, sangat antusias mempromosikan ide, bergerak cepat, serta memiliki keyakinan kuat memilah mana yang benar dan yang salah. Ketabahan melekat pada prinsipnya. Jika the doer memutuskan sesuatu perlu dilakukan demi kepentingan publik, ia akan melakukannya tanpa peduli pujian dan kecaman. Mereka kualifikasi pemimpin yang disebut John C Maxwell mumpuni, yakni manakala sebuah pekerjaan diselesaikan, orang-orang yang dipimpinnya mengatakan: kami melakukannya bersama-sama.

Gelombang pertama

Berakhirnya patronase politik Orde Baru menumbuhkan selapis pemimpin formal tipikal the doer yang menjanjikan meskipun bagian terbesarnya tetap bercorak predatorik-koruptif. Mereka gencar menginisiasi partisipasi publik dalam aneka best practices sekaligus menjentikkan virus pemberdayaan sebagai sumbu perubahan.

Kecambah kepemimpinan otentik gelombang pertama muncul awal tahun 2000-an di sebagian penjuru negeri, di antaranya Jusuf Serang Kasim (Tarakan, Kalimantan Timur), Masriadi Martunus (Tanah Datar, Sumatera Barat), Untung Wiyono (Sragen, Jawa Tengah), dan Rustriningsih (Kebumen, Jawa Tengah). Mereka menginspirasi para kepala daerah lain untuk mengambil-oper, mengadopsi program, dan menyempurnakannya. Sragen tahun 2002 adalah daerah pertama yang menerapkan inovasi pelayanan satu atap (one stop services) berbasis teknologi informasi dan menggiatkan pinjaman bergulir usaha kecil-menengah dengan penjamin pemerintah daerah.

Generasi kedua pemimpin daerah, seperti Joko Widodo (Solo, Jawa Tengah), Tri Rismaharini (Surabaya, Jawa Timur), Nurdin Abdullah (Bantaeng, Sulawesi Selatan), Azwar Anas (Banyuwangi, Jawa Timur), menggebrak dengan pertaruhan risiko besar melawan birokrasi gemuk, lamban, dan politik korup. Sejajar dengan tingginya harapan publik, tokoh-tokoh itu beroleh simpati masyarakat (public darling) dan media (media darling). Otonomi dan pers juga berperan besar mendorong keberhasilan politis daerah dalam ”melahirkan” Jokowi sebagai produk ”massa” dan daerah, menyisihkan bangsawan asali (darah biru), bangsawan pemikir, dan elite militer.

Para pemimpin pilihan ”massa” ini ikhlas menunda kenikmatan (delayed gratification), konsisten menjadi teladan dengan memberi suntikan gairah, energi, dan nurani serta punya kemampuan untuk terus bertumbuh dan belajar menjadi pemimpin sejati. Merujuk Umar Kayam (Sang Priyayi, 1992), merekalah priayi dalam makna sesungguhnya: yaitu pribadi-pribadi yang merangkak dari bawah dan fokus mendarmabaktikan hidupnya di jalan pengabdian.

”Beyond material”

Transformasi Satria Piningit mencapai kematangan akan ditentukan kesanggupannya mengelola hal-hal yang bersifat beyond material pada urusan peradaban dan lingkungan. Yang pertama bersangkut paut dengan pendidikan dan kebudayaan, sedangkan yang kedua pada kemampuan membangun basis creative capital untuk mendorong kapasitas bangsa mencapai batas tertinggi kemampuannya.

Pendidikan dan kebudayaan tak sebatas menyiapkan peta jalan menuju bangsa berkepribadian, keseriusan menangani rekayasa pendidikan formal, dan internalisasi perubahan paradigma. Pendidikan semestinya mengantarkan pada jalan pembebasan, kemampuan untuk terus-menerus memupuk tugas-tugas hakiki manusia pada setiap generasi.

Penghormatan atas manusia dan kemanusiaan serta kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat beserta hak-hak kemajuannya membutuhkan pembuktian setelah sekian lama negara lalai dan membiarkan pelanggaran HAM terus berulang. Pemimpin yang meremehkan martabat rakyat dan defisit belas kasih tidak akan pernah mendapatkan legasinya.

Di lapangan kompetisi kemajuan, sekurang-kurangnya diperlukan 100.000 doktor (sekarang baru terdapat sekitar 23.000 doktor) dengan basis riset cemerlang untuk membangkitkan gairah inovasi dan kreasi. Tujuannya untuk mendorong negara ke status innovation driven sekaligus mengikis mentalitas bangsa konsumen. Lapangan kreativitas tidak mungkin tumbuh berkembang tanpa memperhatikan kecukupan manusia kreatif dan cerdas untuk mengarungi dan menghadapi geoekonomi global.

Pemberantasan korupsi juga tidak mungkin terus-menerus melalui pendekatan ad hoc, menguras energi, riuh rendah, tetapi tidak juga mengurangi kualitas dan kuantitasnya. Perkara ini adalah pertaruhan besar terhadap hidup-mati peradaban, di tengah pengingkaran kerusakan parah mentalitas aparat dan birokrat.

Pemimpin sejati tahu benar tugas esensialnya, yakni membangun persenyawaan hakikat antara cara dan tujuan. Mementingkan kelangsungan daripada ketergesaan, mengutamakan kedalaman struktur ketimbang terpukau standar-standar fisik dan numerik simplistis. Lebih memuliakan rakyat ketimbang penghormatan dan pesona popularitas.

Pemimpin paripurna memahami jawaban kerinduan rakyatnya untuk bebas dari tirani kekuasaan dan belenggu kapital yang terus melanggengkan kemiskinan struktural pada bagian terbesar rakyat. Pemimpin ini cakap menempatkan harga diri rakyatnya agar tak terkepung keserakahan modal dan permainan bengis kekuasaan.

Penyair besar Kahlil Gibran mengejawantahkan cintanya pada kemanusiaan dan kehidupan lewat puisi. Pemimpin besar berpuisi melalui perbuatan-perbuatan besar yang menerbitkan harapan sembari mengenyahkan beban utang kemanusiaan dan peradaban, baik yang diperbuatnya maupun oleh rezim-rezim sebelumnya. ●

TIK dan “Kota Cergas”

                                            TIK dan “Kota Cergas”

Suhono Harso Supangkat  ;   Guru Besar ITB;
Koordinator Prakarsa Kota Cergas Indonesia; Anggota Cityprotocol.org
KOMPAS,  31 Desember 2014

                                                                                                                       


AKHIR-akhir ini beberapa wali kota dan gubernur telah mengumandangkan status atau rencananya menjadikan kotanya menjadi smart city. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah meluncurkan sebagian aplikasi smart city-nya pada 15 Desember lalu. Wali Kota Bandung sedang menyiapkan command room dengan seragam ”Startrek”-nya, suatu ruangan operasi kota secara digital yang diharapkan mengetahui pergerakan kota tiap menit.  Demikian juga Wali Kota Bogor dengan green and smart room-nya. Surabaya dengan aplikasi finger print serta rencana Wali Kota Makassar dengan pembuatan kartu identitas dan pembayaran elektroniknya.

Pertanyaannya adalah apakah itu semua sudah disebut smart city? Kenyataannya Bandung sedang dilanda banjir, Jakarta masih macet, masih banyak pedagang kaki lima, dan lain sebagainya? Selanjutnya apakah smart city itu baru sebatas jargon atau hanya sebagai pencitraan kota (city branding)? Ataukah smart city itu suatu konsep kerangka kerja atau untuk pemasaran (gimic marketing)?

Jika suatu kerangka kerja, apakah smart city bisa dibangun dalam tiga atau empat tahun? Ini yang selalu diembuskan oleh gubernur, wali kota, bupati, atau pejabat baru. Tentu saja ini suatu hal yang wajar karena masa kerja mereka hanya lima tahun.

Sebagai penggiat dan peneliti smart city, penulis telah melakukan beberapa observasi di berbagai belahan dunia, di antaranya Eropa dan Asia. Ternyata selain industri, beberapa kota dan organisasi sedang bergiat meningkatkan inovasi kota dengan menamainya sebagai smart city.

Jika melakukan pencarian (googling) di internet, kita akan menemukan banyak sekali konsep ataupun definisi smart city. Namun, pada inti dan umumnya smart city adalah suatu usaha mengelola sumber daya kota, baik alam, lingkungan, manusia, kelembagaan, kemitraan, maupun interaksi kota yang cerdas dan gegas (umumnya teknologi, informasi, komunikasi/TIK membantu). Tujuannya adalah mewujudkan kota yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.

Anatomi kota

Salah satu organisasi dunia yang konsen terhadap pembangunan smart city adalah Cityprotocol.org, yang setiap tahun menyelenggarakan world congress on smart city. Organisasi ini tengah mengusulkan suatu konsep  dengan memandang atau menganalisis suatu kota seperti tubuh manusia.

Kota adalah rangkaian dari sistem-sistem (systems of sytems), bisa dilihat dari sektor transportasi, kesehatan, pendidikan, bencana, dan lain-lain, tetapi juga bisa dilihat dari kewilayahan (kelurahan, kecamatan) ataupun kehidupan lainnya.

Cityprotocol.org telah mengusulkan basis anatomi kota menjadi tiga komponen utama, yaitu (1) struktur, (2) interaksi, dan (3) masyarakat. Setiap komponen dibagi dengan beberapa lapisan (layer).

Lapisan pertama dari komponen struktur kota adalah lingkungan yang dibentuk oleh tiga elemen dasar: air, udara, dan bumi. Ketiga elemen itu memiliki pengaruh besar dalam persoalan banjir, longsor, dan lain-lain. Infrastruktur adalah lapisan kedua dari komponen struktur. Lapisan ini pendukung dari pergerakan air, materi, energi, dan lain-lain. Sementara lapisan ketiganya tersusun dengan nama domain pembangunan (built domain), seperti bangunan rumah, gedung, distrik, hingga megapolitan.

Komponen interaksi terdiri atas empat lapisan: fungsi kota, ekonomi, budaya, dan informasi. Fungsi kota menyangkut kehidupan, kerja, pendidikan, belanja, hingga seni pertunjukan. Sementara lapisan budaya melibatkan tradisi, nilai, dan cara penduduknya mengelola kehidupan.

Adapun lapisan informasi dibangun oleh sistem operasi kota (city operating system), indikator kinerja kota.

Kota cergas

Walau masih menunggu masukan dari publik untuk perbaikan, cara pandang Cityprotocol.org tersebut sangat komprehensif dan bisa menjadi acuan pemangku kepentingan kota untuk membangun suatu kota idaman.

Dihubungkan dengan jargon smart city, konsep anatomi kota tersebut saat ini telah menjadi pegangan kongres dunia tentang smart city yang setiap tahun diagendakan di Barcelona, Spanyol.

TIK memang memiliki peran penting , terutama dalam komponen kedua, yaitu interaksi. Dengan adanya interaksi di komponen pertama dan ketiga, pemahaman tentang kota dan tindakan untuk mengatasi persoalan bisa dilakukan dengan cerdas dan gegas (cergas).

Sementara itu, diskusi dengan beragam kalangan, padanan kata smart city diusulkan dengan nama kota cergas, gabungan dua kata: cerdas dan gegas. Kata ini sedang dalam proses usulan masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Di Indonesia, ada beberapa prakarsa untuk mengukur suatu kota, apakah kota sedang menuju kota cergas atau hanya ikut-ikutan, masih inisiasi, sudah mulai membangun terpisah, atau sudah terintegrasi.

Salah satu unit di Institut Teknologi Bandung telah mengusulkan suatu pengukuran tingkat kematangan kota cergas  yang disebut sebagai Garuda Smart City Maturity Model.

Pengukuran ini melibatkan 3 sektor pengungkit (enabler), 3 sektor utama, dan 5 level kematangan. Tiga sektor pengungkit adalah manusia, tata kelola, dan TIK, sementara tiga sektor utama adalah lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Ada 111 indikator pendukung.

Selain pengukuran, juga telah dikembangkan karya anak bangsa, yaitu platform kota cergas (smart system platform) sebagai otak interaksi antara komponen struktur dan masyarakat.

Membangun kota cergas tidaklah sederhana, bisa terwujud dalam 5-10 tahun saja sudah luar biasa. Dibutuhkan suatu kesabaran, fondasi dan rencana jangka panjang yang kuat. ●

Jamu dan Budaya Nusantara

                                    Jamu dan Budaya Nusantara

Tjandra Yoga Aditama  ;   Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
KOMPAS,  31 Desember 2014

                                                                                                                       


PADA hari pertama bertugas, Presiden Joko Widodo memulai budaya baru dengan memakai baju batik ketika menerima kunjungan resmi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Pertama kali dalam sejarah kita, kabinet dilantik dengan semua menteri mengenakan baju batik. Setidaknya ini dapat jadi sinyal awal tentang makin kentalnya perhatian terhadap kekayaan nasional kita yang merupakan warisan budaya bangsa.

Salah satu potensi besar budaya bangsa adalah jamu, yang sejak berabad-abad lalu sudah digunakan untuk berbagai bentuk pemeliharaan kesehatan. Ada pendapat bahwa pengobatan tradisional dapat ditelusuri pada relief candi, sementara istilah jamu, djampi oesada, mungkin juga dapat ditelusuri pada peninggalan tulisan zaman dulu, seperti Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Serat Centhini, dan Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi.

Sampai kini jamu tetap bagian penting kehidupan kita. Data Riset Kesehatan Dasar 2013, suatu penelitian kesehatan berskala nasional yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 30,4 persen rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional. Di antaranya 77,8 persen rumah tangga memanfaatkan jenis pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat dan 49,0 persen memanfaatkan ramuan.

Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, 59,12 persen penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun menyatakan pernah minum jamu dan 90 persen di antaranya menyatakan adanya manfaat minum jamu.

Dari kacamata kesehatan internasional, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sepakat memajukan pemanfaatan pengobatan komplementer dan tradisional untuk kesehatan, lalu mendorong pemanfaatan keamanan dan khasiat pengobatan tradisional melalui regulasi. Ada lima segi dalam pengembangan jamu dan tanaman obat: saintifikasi jamu, pengembangan kekayaan tanaman obat Nusantara, pemanfaatan tanaman obat keluarga, wisata kesehatan, dan aspek internasional nilai budaya bangsa.

Saintifikasi jamu

Untuk menjamin tersedianya jamu yang aman, berkhasiat, dan bermutu, telah dilakukan pendekatan ilmiah modern dalam bentuk studi etnofarmakologi, formulasi, kajian laboratorium, dan uji klinik yang sahih. Jamu saintifik yang dihasilkan dari program ini digunakan untuk terapi komplementer pada fasilitas pelayanan kesehatan dan dijadikan pilihan masyarakat.

Dewasa ini tersedia dua jamu saintifik, yakni untuk hipertensi ringan dan gangguan akibat asam urat. Penelitian saintifikasi jamu tahun mendatang akan meliputi 24 formula jamu: 19 formula untuk uji klinik pre-post dan 5 formula untuk uji klinik multisenter. Dalam pelaksanaannya, program saintifikasi jamu dikelola Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan yang melibatkan dokter dan apoteker yang secara berkala dilatih. Program ini memberikan landasan ilmiah penggunaan jamu empiris.

Selain jamu saintifik, dikenal juga istilah obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarkan. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Sampai Desember 2014 ada 41 obat herbal terstandar dan enam fitofarmaka yang ada dalam daftar BPOM.

Hal kedua yang bisa didapat dari program jamu dan tanaman obat adalah kekayaan tanaman obat di Nusantara, yang tentu dapat dikembangkan menjadi bahan baku obat yang biasa digunakan dalam ilmu kedokteran sekarang ini. Menurut WHO, sekitar 25 persen obat modern atau obat konvensional berasal dari tumbuhan obat.

Kekayaan Indonesia dalam hal ini amatlah luas. Riset Tumbuhan Obat dan Jamu I Kementerian Kesehatan tahun 2012 memperoleh data 1.889 spesies tumbuhan obat, 15.671 ramuan untuk kesehatan, dan 1.183 penyembuh atau pengobat tradisional dari 20 persen etnisitas (209 dari total 1.128 etnis) Indonesia non-Jawa dan non-Bali. Riset ini akan dilanjutkan dan dituntaskan untuk mencakup 100 persen etnisitas kita.

Tanaman obat keluarga

Aspek ketiga dari pengembangan jamu dan tanaman obat adalah pemanfaatan taman obat keluarga. Program itu kini dilengkapi penyuluhan tentang cara memanfaatkan tumbuhan obat yang baik dan benar untuk pemeliharaan kesehatan, kebugaran, dan pengobatan terhadap penyakit sehari-hari. Pengembangan tanaman obat keluarga juga dapat diperluas menjadi kegiatan untuk menambah penghasilan keluarga, misalnya dengan memproduksi minuman sehat, seperti minuman jahe merah, wedang secang, beras kencur, teh temu lawak, dan teh pelangsing.

Aspek keempat kekayaan jamu dan tanaman obat Indonesia adalah potensi wisata kesehatan. Selain jamu yang dikonsumsi, potensi wisata lain adalah indahnya perkebunan tanaman obat di berbagai ketinggian dari permukaan laut, seperti yang sekarang ada di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan di Tawangmangu, Jawa Tengah.

Di tingkat diplomasi internasional, kini sedang dibahas konsep genetic resources, traditional knowledge, folklore (GRTKF). Topik yang tercakup tentu amat luas, meliputi kekayaan budaya negara anggota PBB. Dari kaca mata kesehatan, jamu serta tanaman obat pasti tercakup pula dalam genetic resources, serta juga mungkin traditional knowledge. Pembahasan di tingkat PBB di Geneva, Swiss, masih cukup ketat dan membutuhkan waktu panjang. Diplomat kita di sana memegang posisi penting. Pengakuan internasional pada budaya bangsa melalui konsep GRTKF jelas makin mempertegas posisi keragaman kekayaan nasional kita, termasuk jamu dan tanaman obat.

Dalam lima tahun ke depan, kita harus menguasai teknologi yang mampu menghasilkan sediaan jamu yang aman, berkhasiat, bermutu, dan praktis. Melalui gabungan program kesehatan konvensional dan tradisional, perlu diwujudkan pelayanan yang mampu menyembuhkan secara holistik, body-mind-spirit, untuk mencapai kualitas hidup orang Indonesia yang lebih baik. ●

Perubahan Dunia Intelijen Indonesia

                         Perubahan Dunia Intelijen Indonesia

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  31 Desember 2014

                                                                                                                       


PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia masih seperti lingkaran setan, dibayangi ekonomi biaya tinggi disertai kutipan-kutipan biaya tidak resmi, pegawai yang mengasong proyek-proyek, dan lemahnya penegakan hukum di sektor-sektor ekstraktif. Analisis ini pertama kali terungkap dalam buku terbitan Badan Intelijen Negara yang melakukan kajian strategis permasalahan Indonesia dalam kurun waktu 2014-2019.

Buku baru berjudul Menyongsong 2014-2019: Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang Berubah dan diedit oleh mantan Menteri Riset dan Teknologi Dr Muhammad AS Hikam, MA itu juga memiliki versi bahasa Inggris, Toward 2014-2019: Strengthening Indonesia in A Changing World, menjadi sebuah kajian intelijen menarik bagaimana Indonesia melihat diri sendiri untuk kurun waktu lima tahun ke depan.

Dalam pengejawantahan kebijakan luar negeri Indonesia selama ini, ungkapan menarik dan perlu kita simak secara serius adalah ”Indonesia sendiri menginginkan apa dalam pergaulan politik global? Sekadar teman dan keseimbangan politik global? Yang meresahkan adalah bahwa menambah teman sebanyak-banyaknya dan mencarikan keseimbangan dalam politik global berpotensi untuk sekadar menguntungkan kepentingan negara-negara lain. Istilah sinisnya: Indonesia sekadar menari di atas tabuhan genderang negara-negara lain.”

Sebuah kajian strategis yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara ini menjadi serius ketika para diplomat Indonesia tidak mampu menghadirkan modalitas mendasar mendukung kepentingan-kepentingan vital dan strategis Indonesia di masa mendatang. Dengan gamblang buku ini menyebutkan, pemerintah selama ini ”tergolong santai dalam menjaga wilayah-wilayah terdepan RI, apalagi yang wujudnya perairan.”

Kita melihat ada kekhawatiran mendasar di kalangan komunitas intelijen Indonesia yang menjadi faktor menghadirkan analisis strategis ini. Pertama, terganggunya kepentingan vital Indonesia menghadapi dinamika negara-negara di kawasan yang secara aktif dan agresif mengejawantahkan kepentingan nasionalnya masing-masing secara maksimum. Tiongkok dan Australia adalah beberapa di antara negara tersebut.

Kedua, analisis intelijen menunjukkan ketidakpahaman atas kepentingan vital Indonesia berbaur dengan kepentingan nasional yang selalu bisa dicarikan solusi diplomasinya. Kepentingan vital negara mana pun adalah harga mati. Ini sangat krusial dalam perubahan arus deras globalisasi sekarang ini.

Contoh yang sangat jelas dari faktor-faktor ini terlihat, misalnya, pada masalah penangkapan kapal ikan ”berawak Tionghoa berbendera Indonesia” di Laut Arafura serta kebingungan berbagai departemen memproyeksikan hubungan kerja sama ekonomi, perdagangan, sosial, dan budaya dengan Taiwan.

Dua masalah ini kentara pada besarnya pengaruh RRT, memanfaatkan peluang kelemahan dalam negeri terkait lemahnya perspektif kita tentang berbagai peraturan, kebijakan, dan sebagainya. Ini sebabnya diperlukan fokus mendasar kepentingan Indonesia, baik secara vital maupun nasional.

Kajian intelijen strategis dalam buku yang diprakarsai Kepala BIN Letjen (Purn) Marciano Norman penting dijadikan acuan para pemikir, analis, diplomat, dan para pemangku kepentingan yang perlu mengantisipasi perubahan regional dan global dewasa ini. Selamat Tahun Baru 2015. ●

Pendidikan Berbasis Pembangunan Mental-Spiritual

  Pendidikan Berbasis Pembangunan Mental-Spiritual

Abdul Syukur  ;   Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana UNJ
KOMPAS,  30 Desember 2014

                                                                                                                       


RAKYAT Indonesia sedang menanti Presiden Jokowi untuk memenuhi janji kampanye melakukan revolusi mental. Seluruh menteri Kabinet Kerja sudah ditugaskan untuk turut serta merealisasikan janji kampanye sesuai bidang kerjanya masing-masing. Tulisan ini membahas peran yang dapat dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Revolusi mental dalam konteks program kerja kependidikan didasarkan pada evaluasi terhadap kebijakan pendidikan sebelumnya yang menyebabkan rakyat Indonesia kehilangan jati diri sebagai satu bangsa bermartabat dan terhormat. Ini dampak dari sistem pendidikan nasional pemerintahan terdahulu yang terfokus pada pencapaian kompetensi kognitif.

Melalui tahapan pembangunan lima tahun yang dilaksanakan secara gradual sejak tahun 1969, pemerintah terdahulu menyiapkan generasi Indonesia sebagai warga negara industri sehingga visi kurikulum pendidikan nasional dirumuskan untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Tingkat kecerdasan intelektual diukur melalui teori kecerdasan intelligence quotients (IQ), yakni pembagian skor dalam matematika, logika matematika, dan bahasa dengan umur kalender.

Popularitas tes IQ di Tanah Air pada dekade 1980-an menyebabkan pencapaian hasil tesnya menjadi kebanggaan tersendiri. Sejalan dengan cara pandang ini, standar kurikulum pendidikan nasional memberikan jam pelajaran yang sangat banyak untuk mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam karena dinilai dapat membawa bangsa Indonesia sebagai warga negara industri maju.
Sistem ini mengabaikan pendidikan berbasis kebudayaan yang dirintis Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pertama Ki Hajar Dewantoro, dan ditetapkan UU No 4 Tahun 1950 ataupun UU No 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pengajaran dan Pendidikan Nasional.

Tercerabut akar budaya

Pengabaian ini mencabut generasi muda yang terdidik dari akar budaya bangsa Indonesia. Mereka adalah generasi baru yang tidak mewarisi nilai-nilai kebajikan leluhurnya. Contoh sederhana adalah menghilangnya nilai-nilai kegotongroyongan dalam kehidupan bermasyarakat.

Hingga ke tingkat desa sekalipun, kegotongroyongan diganti dengan upah kerja. Pendorong perubahan adalah pemerintah terdahulu melalui program kerja padat karya, yakni melibatkan masyarakat secara luas berdasarkan sistem upah kerja.
Satu dekade terakhir, penulis, dalam rangka tridharma perguruan tinggi, sering mendengar keluh-kesah para kepala desa ataupun lurah yang kesulitan mengerahkan warganya bekerja sosial berdasarkan nilai-nilai kegotongroyongan.

Berbagai contoh hilangnya kepedulian sosial dan sikap religiositas sebagai jati diri bangsa Indonesia dapat kita saksikan melalui media cetak dan elektronik. Banyak orang terdidik yang melakukan perbuatan tidak terhormat, sedangkan elite politik tanpa ragu memperlihatkan sikap mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang banyak.

Para pelajar dan mahasiswa tanpa sungkan mempertontonkan tawuran ataupun demo anarki. Sementara pimpinan sekolah ataupun kampus tidak berdaya mencegahnya. Kita dapat saja berkilah bahwa demo anarki mahasiswa kerap disusupi ”penumpang gelap bernama provokator” dengan kepentingan politik tertentu, tetapi ini adalah cerminan pembenaran terhadap ketidaksediaan kita mengakui adanya kesalahan dalam sistem pendidikan nasional.

Wajar saja apabila banyak orangtua meragukan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk menciptakan anak-anaknya menjadi manusia berkualitas, baik perilaku maupun kemampuannya. Maka, banyak orangtua mengirimkan anak-anak mereka bersekolah di luar negeri.

Tinggal kenangan

Predikat sebagai masyarakat religius dan sosial yang pernah disandang bangsa Indonesia menjadi kenangan yang sulit dipahami generasi muda karena sistem pendidikan nasional tidak menjadikannya sebagai prioritas dari target kompetensi lulusan. Kesalahan sistemik ini disadari konseptor Kurikulum 2013 sehingga berubahlah substansi kurikulum yang semula terfokus pada kemampuan kognitif menjadi kemampuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Keterpaduan itu dapat dilihat pada empat kompetensi inti seluruh mata pelajaran dalam Kurikulum 2013. Kompetensi sikap religius menjadi kompetensi pertama dan sikap sosial menjadi kompetensi kedua.

Namun, kedudukan terhormat ini tidak berbanding lurus karena penghargaan tertinggi pemerintah masih tercurah pada kemampuan kognitif yang dalam Kurikulum 2013 merupakan kompetensi inti ketiga. Dengan demikian, ukuran keberhasilan seorang pendidik tidak berubah, yakni pencapaian kompetensi kognitif.

Kampanye revolusi mental memberikan harapan baru tersusunnya sistem pendidikan berbasis mental-spiritual yang dapat mengembalikan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa religius yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Diperlukan penciptaan sistem penghargaan yang membanggakan terhadap pencapaian kompetensi religius dan sosial dalam kegiatan belajar dan mengajar yang dilakukan para guru di ruang kelas ataupun kepala sekolah dalam mengelola lingkungan sekolahnya.

Peserta didik yang memperoleh prestasi kompetensi religius dan sosial juga harus mendapatkan penghargaan yang membanggakan.

Saat ini kita sama-sama mengetahui bahwa kemajuan negara-negara industri maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga diimbangi dengan kemajuan di bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial dan budaya sehingga jati diri mereka sebagai bangsa semakin kuat sebagaimana diperlihatkan bangsa-bangsa maju, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang. ●