Jumat, 28 Februari 2014

Parpol untuk Siapa?

Parpol untuk Siapa?

Komaruddin Hidayat  ;   Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Partai politik atau parpol adalah prasyarat bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Karenanya, secara normatifteoretis kita tidak boleh anti dan alergi terhadap parpol.

Ini karena pada dasarnya, dan pada mulanya, parpol didirikan untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan memilih putra-putri bangsa terbaik untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat serta memilih presiden dan wakil presiden. Jadi, betapa vital dan berkuasanya parpol bagi negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Namun, pada kenyataannya pelaksanaan demokrasi yang sehat serta membangun parpol yang berkualitas tidaklah mudah.

Demokrasi dan parpol itu indah dibicarakan di ruang kuliah. Namun, yang kadang terjadi bukannya parpol memberikan kontribusi terbaik pada negara dari sisi program dan kader-kadernya, melainkan beberapa oknum dan elite parpol telah menjadi benalu, bahkan membajak kedaulatan dan kepentingan negara yang kemudian terbelokkan untuk melayani kepentingan dan selera dirinya. Kalau ditanya dan ditelusuri apa dan siapa yang ada dalam ”perut” parpol, jawabannya tidak selalu meyakinkan.

Benarkah parpol-parpol yang ada itu tempat berhimpunnya para pejuang kebangsaan dan pelayan rakyat yang merupakan putra-putri terbaik bangsa? Benarkah cita-cita dan kiprah parpol itu melebur ke dalam spirit dan citacita kemerdekaan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat? Saya khawatir semangat dan kultur yang tumbuh dalam parpol disusupi oleh kepentingan kelompok, keluarga dan jejaring bisnis yang hanya ingin mendapatkan perlindungan dan fasilitas negara dengan label demokrasi.

Ada juga indikasi mereka yang aktif di parpol dan berjuang untuk lolos di kursi DPR lebih didorong untuk mencari pekerjaan baru dengan penghasilan lebih besar serta bergengsi ketimbang yang sudah dijalani selama ini. Maaf, tentu saja tidak semua seperti itu. Kita tidak boleh melakukan generalisasi. Tetapi melihat pengalaman yang sudah-sudah dan mencermati daftar calon legislatif yang ada, terdapat beberapa nama yang sungguh kurang layak memerankan posisi wakil rakyat, sementara kondisi bangsa dan rakyat memerlukan perbaikan dan terobosan segera secara cerdas, konseptual, dan strategis.

Kita ingin mengakhiri keluh-kesah akibat pemerintahan yang tidak efektif namun menelan ongkos sosial dan materi yang amat mahal dengan menampilkan para wakil rakyat yang berkualitas dan kredibel dan pemerintahan yang baru nanti. Yang muncul ke permukaan, seakan negara ini dikuasai jejaring parpol, sementara kepercayaan rakyat pada parpol kian turun. Wajah dan retorika parpol muncul di mana-mana, memenuhiruangpublik. Namun, benarkah rakyat merasa terwakili oleh tokoh-tokoh dan sepak terjang parpol selama ini?

Kalau tidak, parpol yang tengah jungkir balik merayu dukungan dan simpati rakyat itu sesungguhnya untuk apa dan siapa? Yang perlu dipertimbangkan, banyak orang pintar, baik, dan sudah berkeringat melayani rakyat, tetapi tidak disenangi parpol, karena semata mereka itu bukan aktivis parpol dan ide serta kiprahnya dianggap tidak sejalan dengan elite-elite parpol. Ada juga bupati atau wali kota yang prorakyat namun menolak pesanan parpol, lalu kinerja mereka malah diganggu dan diganjal.

Di sinilah kita dihadapkan pada dilema antara parpol sebagai sebuah keharusan dalam berdemokrasi, di sisi lain kualitas parpol dan praktik berdemokrasi masih sebatas formalisme-prosedural, jauh dari substansi dan fungsi yang sama-sama kita dambakan. Sedemikian runyam dan busukkah kondisi parpol? Amati saja berbagai hasil survei dan pemberitaan kehidupan parpol yang hampir setiap hari kita baca beritanya. Bahkan kita juga bergaul langsung dengan mereka.

Yang pasti, demokrasi, pilkada, dan pemilu tidak mungkin tanpa parpol. Namun banyak pilkada yang hasilnya mengecewakan. Jika program, kualitas kader, dan pengurus sebuah parpol tidak paham, tidak setia dan tidak mau lebur ke dalam spirit dan agenda bangsa untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, rasanya parpol seperti itu lebih baik bubar saja. Secara moralmereka itutidak sah untuk hidup. Mereka hanya akan jadi benalu demokrasi. Mereka hanya sibuk dan heboh memperjuangkandirinya, pengurusnya, dan keluarganya.

Triliunan uang negara dibelanjakan untuk biaya politik, namun tidak seimbang hasil yang diraihnya. Panggung bangsa dan negara silakan diperebutkan oleh para politisi untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan. Tetapi program dan target yang telah dijanjikan pada rakyat mestilah dipenuhi. Jangan malah saling jegal dan sandera di antara sesama parpol yang berakibat merugikan rakyat banyak. Enough is enough.

Mari Pemilu 2014 ini kita jadikan momentum dan garis demarkasi untuk berpikir lebih rasional dan bekerja keras dengan menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan parpol. Ajaklah putra-putri bangsa terbaik yang sudah teruji dan punya prestasi diajak bersama-sama memperbaiki kehidupan bernegara yang kedodoran ini, sekalipun mereka itu berada di luar jejaring parpol.

Kala KPK Merawat Mainan Koruptor

Kala KPK Merawat Mainan Koruptor

Rohman Budijanto  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
BENDA - benda mainan duniawi yang cantik disita KPK dalam serbuan ke sarang korupsi. Mulai mobil Innova, moge, hingga supercars sekelas Ferrari dan Rolls Royce antre memasuki kompleks KPK. Lahan parkir KPK pun berubah jadi semacam ruang pamer (showroom) berbagai jenis kendaraan sitaan. Seandainya ada salesgirls mesam-mesem dengan rok cekak di dekatnya, pastilah tempat itu dianggap showroom betulan.

Tak hanya orang kebanyakan yang silau dengan benda-benda simbol keserakahan korupsi itu. KPK pun tampak kikuk dengan sitaan benda-benda mainan mewah itu. KPK menyewa orang bengkel khusus mobil-mobil mewah agar mobil-mobil itu tetap kinclong dan tidak dijilat karat. KPK punya anggaran Rp 300 juta untuk perawatan barang bukti.

Perawatan barang bukti itu juga bentuk akuntabilitas lembaga negara atas kewenangannya. Berani menyita, berani merawat. Tujuan praktisnya, kelak kalau si pemilik benda-benda mewah itu terbukti bersalah dan masuk penjara, KPK bisa melelangnya dengan harga yang tetap baik untuk disetor ke kas negara.

Semestinya perlakuan kepada benda-benda wah itu juga diterapkan kepada benda sitaan KPK lainnya. Misalnya, bangunan kompleks olahraga Hambalang. Kabar yang terdengar dari lokasi proyek Hambalang bukanlah perawatan bangunan itu, tetapi pencurian besi, pipa, dan keran serta perangkat bangunan lain. Proyek Rp 2,5 triliun itu mangkrak berat dan makin rusak.

Bisa dibayangkan kelak ketika para tersangka dan terdakwa Hambalang sudah divonis, negara menderita kerugian berganda. Kalau orang-orang yang dituduh terlibat dalam korupsi itu divonis bersalah, sulit diharapkan dari vonis dendanya bisa menutupi kerugiaan negara yang amat besar itu. Kalaupun divonis tidak bersalah, bangunan proyek Hambalang itu tak bisa dikembalikan kepada para tervonis bebas, karena Hambalang adalah proyek milik negara. Para terdakwanya bersalah atau tak bersalah, negara tetap rugi bertimbun-timbun.

Ini memang dilema akut penegakan hukum. Tak hanya di KPK. Kita sering melihat barang-barang bukti, terutama kendaraan bermotor, yang disita polisi atau jaksa dari hasil kejahatan, menjadi besi karatan. Selain lamanya proses hukum (penyidikan, penuntutan, vonis, banding, kasasi, bahkan PK) yang bisa makan waktu bertahun-tahun, juga tidak adanya kewajiban kepada aparat hukum dan tak ada anggaran khusus untuk perawatan barang bukti. Karena itulah, si pemilik sekalipun sudah tahu barangnya yang dicuri sudah diamankan aparat, mereka sering enggan mengambil karena sudah rusak.

Baik negara atau rakyat biasa, sebagai pihak yang dirugikan, bila sudah memasuki proses hukum memang harus sabar. Tak bisa main rampas untuk digunakan kembali, meskipun itu demi mencegah kerugian lebih besar. Ada contoh kasus di Kejari Blitar yang menyita tower dinas kependudukan karena diduga ada korupsi Rp 1,9 miliar. Karena tak terawat, akhirnya tower itu ambruk menimpa bangunan lain.

Untuk kasus yang menimbulkan kerugian negara dengan angka raksasa, kita ingat kasus tambak Dipasena yang diserahkan Sjamsul Nursalim untuk membayar utang ke negara Rp 28,4 triliun. Tambak seluas sekitar 16 ribu hektare (sepertiga Kota Surabaya) di Lampung ini dinilai Rp 19 triliun. Namun, nilai ini makin merosot karena tak terurus dengan baik, ditambah konflik berkepanjangan dengan petani petambak. Meski kini sudah berproduksi lagi, tambak terbesar di Asia Tenggara itu tak bisa mencapai prestasi puncak.

Sangat banyak kasus seperti ini. Bahkan, mungkin "setiap" kasus penegakan hukum yang berhasil dituntaskan (pelakunya dipenjarakan atau didenda), kerugian takkan pernah bisa dipulihkan sepenuhnya. Namun, tak ada pilihan lain. Kalau hukum tak ditegakkan, kerugiannya bisa makin tak terperikan, karena chaos.

Ada contoh aktual yang membesarkan hati. Dalam kasus pidana perpajakan oleh Asian Agri Group (AAG), Kejaksaan Agung harus mengeksekusi putusan MA denda Rp 2,5 triliun. Menjelang tenggat 1 Februari lalu, Kejagung memblokir aset AAG Rp 5,3 triliun. Bila dilanjutkan dengan penyitaan seperti biasa, bisa-bisa perusahaan AAG itu kacau, karena produksi terganggu dan karyawan resah. Bisa-bisa perusahaannya bubar.

Karena itu, Jaksa Agung Basrif Arief menggandeng Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk jaga-jaga apabila eksekusi atas aset-aset AAG dilaksanakan. BUMN ditugasi menjaga keberlanjutan kegiatan perusahaan. Taktik ini ampuh. Eksekusi fisik akhirnya tak jadi dilaksanakan karena AAG mulai membayar Rp 720 miliar. AAG juga sanggup mencicil Rp 200 miliar per bulan hingga Oktober 2014 untuk pelunasannya.

Eksekusi ala Kejagung itu mampu mencegah kerugian lebih besar. Pola ini mestinya bisa ditiru, disesuaikan dengan kekhususan masalah. Selain dengan BUMN, bisa saja kerja sama diperluas dengan lembaga-lembaga lain representasi pemerintah atau negara. Untuk merawat proyek Hambalang yang mangkrak, bisa saja Kemen PU dilibatkan. Jadi, yang dipedulikan aparat tak hanya sitaan berupa benda-benda mainan mewah nan "seksi".

Parlemen versus Pengemis

Parlemen versus Pengemis

Wayan Windia  ;   Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana, 
Ketua Badan Penjaminan Mutu Unud
JAWA POS,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
DALAM setiap berceramah tentang subak, saya tidak lupa menyelipkan pernyataan yang tragis. Bahwa ternyata petani yang lahannya 1 hektare dan menanam padi, pendapatannya lebih rendah daripada seorang pengemis jalanan. Selanjutnya, dalam berita akhir-akhir ini, berkait sidang perkara SKK Migas, saya agak tercenung dengan kesaksian di pengadilan. Bahwa pihak eksekutif harus memberikan setoran ke DPR agar anggaran kementeriannya terjamin. Artinya, agar anggarannya tidak diberi tanda bintang, yang berarti anggaran itu belum bisa dicairkan. Untuk mencairkannya, perlu ada setoran.

Hal seperti itu telah lama saya dengar dan sudah menjadi rahasia umum. Namun, baru kali ini saya mendengarnya di pengadilan. Banyak juga saya dengar di tingkat lokal bahwa anggota DPRD pun sering "nitip" anggaran pada proyek-proyek yang dikelola dinas/SKPD terkait. Kalau SKPD tidak mau, anggaran proyek itu akan diberi tanda bintang. Kalau berita itu benar, parlemen kita dari tingkat daerah hingga ke pusat sejatinya sudah rusak. Saya pikir yang merusak itu adalah sistem politik kita yang liberal, dan sementara itu rakyat kita masih miskin.

Kini, menjelang Pemilu 2014, tampaknya sudah ramai ada wacana di pedesaan, tentang berbagai "amplop" yang berhamburan melalui pimpinan banjar atau desa. Kalau saya tanya, mengapa mau menerima amplop dari berbagai caleg? Apakah tidak sebaiknya hanya menerima uang dari satu caleg agar kita masih dianggap punya integritas dan harga diri? Mereka pun dengan ringan saja menjawab. "Ah, nanti setelah mereka terpilih, kan mereka juga akan korupsi di sana," katanya. Hal ini tampaknya bermakna bahwa ternyata mulai tingkat rakyat hingga wakilnya, dan bahkan banyak juga kalangan kepala daerah, kementerian, pimpinan parpol, dan penegak hukum, yang tersangkut korupsi.

Kalau begini keadaannya, apakah kita bisa mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sejatinya sudah menjadi budaya masyarakat? Kalau masyarakat sudah korup dan parpol juga korup, apakah mungkin bisa muncul pemimpin bangsa yang baik? Sebab, pemimpin bangsa pada dasarnya muncul melalui saringan parpol. Bahkan, personal lembaga negara dan para komisioner (MK, KPU, KPI, KIP, dll.), muncul melalui saringan kader parpol di DPR. Kalau begini keadaannya, tidak heran kalau muncul kader bangsa sekelas Akil Mochtar, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Lutfi Hasan Iskak, dll, yang kini berada dalam tahanan KPK.

Mari kita kembali pada tema tulisan, yakni bahasan tentang parlemen versus pengemis. Patut dicatat bahwa kaum pengemis, penerimaannya sekitar Rp 3 juta per bulan. Anggota parlemen (lokal) penerimaannya mungkin lebih Rp 30 juta per bulan. Adapun anggota parlemen pusat, penerimaannya pasti berlipat-lipat. Tetapi, mengapa mereka masih rakus? Bahkan, dengan ancaman memberikan tanda bintang pada mata anggaran, atau menggagalkan anggaran yang diajukan pihak eksekutif.

Tampaknya, manusia memang adalah misteri. Tabiatnya tak dapat diduga. Orang yang sudah besar gajinya belum tentu tidak tergoda dengan harta, takhta, dan wanita. Bahkan, mungkin semakin menjadi-jadi, karena mereka ingin mempertahankan atau bahkan meningkatkan takhtanya. Apalagi, orang-orang politik, mereka pasti tidak pernah merasa puas dengan takhtanya. Sama dengan orang dagang yang juga tak pernah merasa puas dengan hartanya. Sistem politik yang liberal dan sistem ekonomi yang kapitalistis adalah media yang empuk untuk melakukan tindakan korupsi, di tengah-tengah rakyat dengan jurang kaya miskin yang sangat lebar.

Sebaliknya, pengemis tampaknya lebih punya moralitas. Mereka tidak akan ngotot atau mengancam kalau kita tidak memberikan sesuatu. Mereka pasti ngeloyor saja, dengan muka yang datar dan tidak merasa kecewa, dalam keadaan yang demikian. Mengapa hal-hal itu bisa terjadi? Sebab, sang pengemis tidak memiliki kekuasaan. Sebaliknya, parlemen memiliki kekuasaan yang sangat besar. Bahkan jauh samakin besar, setelah era reformasi. Khususnya di bidang anggaran, parlemen memiliki kekuasaan hingga pada level proyek. Sebaliknya, Indonesia yang menganut sistem presidensial, justru kekuasaan presiden jauh sangat dikurangi, khususnya dalam hal pengangkatan komisioner, pembuatan UU, dll.

Kekuasaan (yang semakin besar) itulah yang menyebabkan parlemen menjadi (semakin korup). Karena itu, perlu diadakan reformasi kekuasaan lembaga negara di Indonesia agar sesuai dengan esensi UUD. Kekuasaan parlemen perlu dikaji ulang, dan kita kembali ke jatidiri bangsa, sesuai amanat Pancasila dan UD 1945 (yang asli). Napas politik dalam setiap pengambilan keputusan di Indonesia saat ini, tampaknya, terlalu sangat keras. Tentu saja kalau dibandingkan dengan napas profesionalisme. Karena itu, peran parlemen di Indonesia perlu segera dipangkas. Tujuannya agar wakil rakyat di gedung parlemen tidak berkembang menjadi koruptor.

KPK Tak Usah Galau

KPK Tak Usah Galau

Harkristuti Harkrisnowo  ;   Guru Besar Fakultas Hukum UI
KOMPAS,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
HARI-hari ini media membahas dilanjutkan atau tidaknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai tuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi dan para pegiat anti korupsi.

Pernyataan bahwa kedua RUU ini akan menggerogoti KPK tentu membuat semua orang Indonesia berang. Lalu apakah sumber kegaduhan sebenarnya? Sungguhkah ini manuver politik untuk mendebilitasi KPK?

RUU KUHP sebenarnya bukan RUU yang muncul kemarin sore, tetapi sudah dirancang sejak awal 1970-an untuk menggantikan KUHP sekarang yang sudah berlaku 1915. Tim perancang dipimpin para profesor hukum pidana, dari Prof Sudarto hingga Prof Muladi.

Upaya rekodifikasi dan unifikasi memakan waktu lama dengan banyak perdebatan sengit. Namun, semua sepakat bahwa RUU KUHP perlu untuk menegakkan kembali nilai-nilai dasar sosial (basic social values), berperan sebagai ultimum remedium, dan menjunjung HAM.

Tahun 1986 Buku I selesai. Buku II selesai 1993 dan diserahkan Prof Mardjono kepada Menteri Kehakiman. Namun, upaya Menteri Kehakiman berikutnya, Muladi, agar dibahas di DPR tidak berhasil. Tahun 2004 dibentuk tim RUU KUHP di bawah Prof Muladi untuk menyempurnakan dan harmonisasi empat misi utama: dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, serta harmonisasi dan humanisasi.

Baru pada akhir 2012 RUU KUHP diserahkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diteruskan ke DPR pada 11 Desember 2012.

RUU KUHAP relatif baru karena beranjak dari KUHAP tahun 1981. Tim penyusun diketuai Prof Jur Andi Hamzah dan melibatkan elemen-elemen terkait. Walau ada perdebatan, penyusunan ini dilandasi kesepakatan bahwa penting sekali menegakkan sistem peradilan kriminal terintegrasi (the integrated criminal justice system) dengan kesamaan asas yang menjunjung tinggi HAM sebagaimana dimandatkan Konstitusi, serta pentingnya mekanisme kontrol guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

Berbagai instrumen HAM internasional juga dijadikan acuan, misalnya Konvensi Anti Penyiksaan, Pendanaan Terorisme, dan Konvensi Korupsi.

Akar polemik
Lalu apa akar polemiknya? Bermula dari pandangan KPK bahwa pembahasan kedua RUU akan mengurangi bahkan menghilangkan kewenangan KPK. Padahal, RUU KUHP bukan semata-mata mengatur korupsi. Dari 766 pasal, hanya 15 pasal tentang korupsi.

RUU KUHP adalah upaya mengindonesiakan KUHP eks penjajah, yang mengatur sebagian besar tindak pidana: mulai dari pengemisan, penganiayaan, pemerkosaan, pencurian, penghinaan, pembunuhan, perdagangan orang, hingga pelanggaran HAM berat. Korupsi tentu penting diatur, tapi apakah pembahasan terhadap 751 pasal—termasuk 211 pasal dalam Buku I tentang Ketentuan Umum—harus ditunda demi menanti pembahasan 15 pasal korupsi? Apalagi ada Pasal 211 yang memberi peluang mengatur lex specialis di luar KUHP.

RUU KUHAP memuat aturan mengenai tata cara polisi mulai dari penangkapan, penahanan, pemeriksaan, sampai lembaga pemasyarakatan, yang berlaku untuk semua tindak pidana, bukan hanya untuk korupsi. Bahkan, hukum acara pidana untuk penanganan korupsi telah diatur secara khusus dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU KPK. Tidak mungkin penanganan perkara pencurian atau penganiayaan sama dengan korupsi. Lex specialis juga dibuka peluangnya dalam Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP.

Intinya, Pasal 211 RUU KUHP dan Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP ini mematahkan argumentasi bahwa dengan berlakunya kedua UU ini kelak maka UU pidana di luar KUHP menjadi hilang. Justru kedua RUU ini kelak bila diberlakukan merupakan lex generalis atau ketentuan umum, tetapi eksistensi UU pidana khusus lain yang berperan sebagai lex specialis tetap diakui.

Maka tak akan terjadi penghapusan UU ataupun delegitimasi keberadaan lembaga seperti KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan lain-lain. Tidak betul pendapat KPK bahwa kedua pasal pengecualian hanya berlaku bagi tindak pidana perbankan dan perpajakan.

Harus diakui perancang RUU KUHP luput merumuskan kedua tindak pidana dalam ranah hukum administrasi ini. Namun, lex specialis umumnya lebih ditujukan pada hukum yang masuk dalam satu genre, dalam hal ini hukum pidana UU pidana murni seperti UU Tipikor, Pencucian Uang, Pengadilan HAM, dan Terorisme. Dikatakan oleh Silvia Zorzetto (2012), ”…lex specialis… is often used to solve redundancy in law… a tool to prevent the simultaneous application of special and general compatible rules.” Tak mungkin ada lex specialis manakala tidak ada lex generalis. Pengaturan delik pokok diperlukan dalam RUU KUHP, diatur lebih khusus dalam UU sektoral.

Kejahatan luar biasa
Istilah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dalam hukum internasional adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi. Konvensi PBB tentang korupsi tak memakai istilah itu walau sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan yang mengurangi kualitas hidup manusia.

Menempatkan UU Tipikor dan UU KPK sebagai lex specialis, bukan hanya hukum materiil tentang korupsi yang diatur, melainkan juga hukum acara pidana. Karenanya, penyelidikan (Pasal 43 dan 44 UU KPK), penyitaan (Pasal 47), dan penyadapan (Pasal 12), sebagian dari kewenangan KPK saat ini, tidak akan diderogasi RUU KUHAP.

Walau demikian, tetap harus diperhatikan bahwa mekanisme kontrol urgen untuk memastikan akuntabilitas penegak. Jika KPK memandang Hakim Pemeriksa Pendahuluan terlampau restriktif, misalnya, harus dicarikan solusi agar KPK tidak dipandang sebagai lembaga yang anti kontrol atau control-proof.

Kegalauan KPK akan potential elimination dengan demikian sebenarnya tidak perlu terjadi. KPK masih diperlukan memberantas kejahatan korupsi.

Menumpas Pemberantasan Korupsi

Menumpas Pemberantasan Korupsi

Bambang Widjojanto  ;   Komisioner KPK
KOMPAS,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
BANGSA ini tampaknya tidak cukup serius melakukan pemberantasan korupsi. Indikasi atas kesimpulan itu sangat jelas. Revisi Kitab Hukum Pidana yang disampaikan Presiden kepada DPR pada 11 Desember 2012 telah mengabaikan dan bahkan mengingkari tuntutan rakyat yang menjadi dasar spiritualitas ditumbangkannya rezim koruptif dan nepotistik Orde Baru dan lahirnya rezim Reformasi.

Tuntutan rakyat itu dijustifikasi melalui Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 dan Ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 yang menegaskan, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, perlu dibentuk lembaga yang khusus menangani anti korupsi, pencucian uang, perlindungan saksi, dan pembuatan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Perubahan adalah keniscayaan sehingga revisi atas suatu perundangan adalah hal yang lazim, tetapi semua revisi itu terbuka untuk disikapi secara kritis dan dikaji oleh berbagai pihak, termasuk oleh KPK.

Tak jadi rujukan
Lihatlah naskah akademik yang menjadi dasar revisi KUHP itu, ternyata kedua TAP MPR di atas tidak dijadikan rujukan sama sekali. Begitupun berbagai perundangan materiil lain, antara lain UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan perundangan yang mengatur lembaga tertentu seperti UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor serta perundangan lain tidak dikaji secara mendalam dan menjadi bagian penting dalam naskah akademik yang kemudian perlu diserap dalam revisi KUHP.

Yang perlu mendapat perhatian, naskah akademik seperti tersebut dalam publikasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) 2012, menurut jawaban surat Menteri Hukum dan HAM, sudah disiapkan sejak 1982 dan karena itu rujukan referensinya sebagian besar buku-buku terbitan di bawah tahun 2000-an. Bahkan, ada buku terbitan lama sekali yang dijadikan rujukan, seperti Studies Comparative Criminal Law (1874), The Dilemma of Penal Reform (1939), dan Sentencing in Magistrate Court (1962). Apakah ini mungkin karena buku referensi tersebut tak tergantikan hingga masih tetap jadi rujukan? Bukankah ada cukup banyak referensi baru yang memperdebatkan topik seperti dalam buku di atas? Bersyukur ada buku yang agak baru yang dipakai sebagai rujukan, yaitu Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (2009), meski tidak jelas sudah cetakan yang ke berapa.

Kita belum tahu apakah buku-buku mutakhir mengenai perkembangan modus operandi kejahatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang serta perkembangan teori pidana dan pemidanaan yang menjadi referensi rujukannya juga digunakan sebagai dasar referensi naskah akademik. Belum lagi jika ditanyakan apakah pengalaman dan pengetahuan terbaik dari lembaga penegakan hukum di Indonesia dan internasional telah cukup digali, dikaji dan dipertimbangkan, serta diabstraksi jadi kerangka masukan dalam naskah akademik agar perumusan pasal-pasal revisi bisa kompatibel dan antisipatif atas perkembangan modus kejahatan yang kian canggih.

Pertanyaan dasar yang perlu diajukan, apakah benar revisi KUHP tidak mendekonstruksi dan mendelegitimasi sifat extraordinary dari kejahatan korupsi menjadi tindak pidana umum? Apakah benar UU Tipikor tetap menjadi UU yang tetap bersifat lex specialis sesuai revisi KUHP?

Kesimpulan dalam naskah akademik menyatakan secara tegas: ”… pembentukan hukum pidana di luar KUHP telah menyimpangi ketentuan umum hukum pidana… dalam kenyataannya membentuk hukum pidana sendiri di luar KUHP… mengakibatkan terjadi problem hukum pidana pada level normatif dan praktik penegakan hukum pidana. Keadaan… diperparah dengan dibentuknya lembaga/institusi baru yang bersifat independen yang diberi wewenang untuk melakukan penegakan hukum dan pembentukan pengadilan baru…”. Kesimpulan itu menegaskan: ”…kebijakan kodifikasi menjadi pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi…”.

Jadi, sudah disimpulkan bahwa pembentukan lembaga baru, yaitu KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan lainnya, termasuk pengadilan yang bersifat independen, telah merusak sistem hukum pidana yang ada. Apakah kesimpulan ini tak terlalu terburu-buru dan terlalu percaya diri (overconfident) karena diputuskan secara sepihak, elitis, dan eksklusif hanya oleh tim perumus, tidak melibatkan kalangan ahli yang lebih luas dengan multiexpertise, para users dalam perundangan ini, dan masyarakat yang kelak akan mendapatkan dampak dari pengaturan revisi ini. Padahal, perundangan yang hendak direvisi menyangkut hajat hidup orang banyak.

Apabila kesimpulan di atas dikaitkan dengan pernyataan halaman 158 naskah akademik yang mengemukakan, ”… kebijakan kodifikasi merupakan pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi… ”. Oleh karena itu, yang diambil kebijakan kodifikasi tertutup dan ditetapkan menjadi pilihan oleh perumus naskah akademik. Itu artinya revisi KUHP akan melakukan penghapusan tindak pidana di luar KUHP yang sekaligus penghapusan hukum pidana khusus, termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang perlu diatur dalam UU yang bersifat lex specialis. Konsekuensi logis lanjutannya, bukan tidak mungkin kelak akan dilakukan penghapusan lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan khusus di bidang pemberantasan korupsi, termasuk pengadilan tipikor. Dengan demikian, pernyataan Menteri Hukum dan HAM dan pejabat lain bahwa UU Tipikor akan diatur secara lex specialis adalah tidak benar. Fakta bahwa pemberantasan korupsi dan lembaga yang diberi mandat untuk itu dilemahkan dan diamputasi adalah sesuatu yang tak terbantahkan.

Kodifikasi tertutup
Hal lain yang penting diperhatikan, model kodifikasi tertutup yang dianut oleh revisi KUHP menegaskan dan menekankan bahwa dalam suatu hukum nasional hanya ada satu sistem hukum pidana dan serta-merta meniadakan pengaturan hukum pidana di luar kodifikasi. Perkembangan jenis kejahatan dan peningkatan modus operandi tidak akan bisa diakomodasi oleh kodifikasi model tertutup.
Oleh karena itu, KPK memilih kodifikasi model terbuka karena masih terbuka ruang dan kesempatan untuk mengatur hal-hal khusus yang tidak cukup diatur dengan adanya perkembangan kejahatan selain dari yang diatur di kodifikasi. Lebih-lebih kejahatan korupsi yang masih sangat masif dan bersifat sangat terorganisasi dan kejahatan transnasional, maka dapat dipastikan dengan penanganan atas hukum acara yang bersifat umum dan strategi penanganan yang biasa-biasa saja tidak akan dapat ”menaklukkan” korupsi.

Pilihan atas kodifikasi tertutup menyebabkan pengaturan tindak pidana khusus seperti korupsi, pencucian uang, terorisme, HAM, dan narkotika diatur di dalam Buku II Revisi KUHP, kecuali tindak pidana perbankan dan perpajakan. Tim perumus KUHP menggunakan kriteria tertentu untuk menarik masuk suatu jenis tindak pidana khusus ke dalam kodifikasi, yaitu: (1) suatu perbuatan jahat yang bersifat independen; (2) daya berlakunya relatif lestari karena tak berkaitan dengan masalah prosedur atau proses administrasi; dan (3) ancaman hukumannya lebih dari satu tahun pidana perampasan kemerdekaan.

Pada kenyataannya, tim perumus tidak mendefinisikan secara utuh dan menyeluruh pengertian pokok yang dijadikan kriteria tersebut di atas; dan pada konteks tipikor ada banyak tindak tipikor yang terjadinya sangat bergantung pada pelanggaran norma di bidang hukum administrasi sehingga memengaruhi penilaian atas terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan demikian, korupsi seyogianya tidak dapat dimasukkan ke dalam kodifikasi Buku II Revisi KUHP.

Selain itu, ketentuan yang tersebut di dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia dan juga ”katanya” digunakan sebagai rujukan revisi KUHP tidak hanya telah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga menjelaskan dampak luar biasa yang disebabkan oleh kejahatan itu. Misalnya: runtuhnya kepercayaan publik pada birokrasi pemerintahan dan lembaga penegakan hukum, rusaknya nilai etika dan keadilan serta prinsip demokrasi, pelanggaran atas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat selain menghalangi terwujudnya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Karena itu, diperlukan upaya dan sarana yang luar biasa dan tentu saja diperlukan aturan khusus pidana materiil dan hukum acara yang khusus pula.

Beberapa kemunduran
Ada beberapa hal yang dapat dikategorisasikan sebagai suatu kemunduran atas pengaturan pasal tertentu di dalam Buku I KUHP, misalnya: (1) tentang percobaan pidana. Revisi KUHP mengatur perluasan definisi percobaan bukan hanya permulaan pelaksanaan, melainkan juga hingga perbuatan persiapan. Perluasan itu tidak diperlakukan untuk tindak pidana korupsi dan justru diperlukan untuk tindak terorisme; (2) dalam pembantuan. Dalam UU Tipikor, ada suatu norma bahwa pihak yang melakukan pembantuan diancam sama dengan ancaman terhadap pelaku tindak pidana, tetapi di dalam revisi KUHP norma khusus tadi justru dihilangkan.

Kemudian (3) tentang pidana dan pelaksanaan pidana. Pada revisi KUHP ternyata tidak diatur tentang sanksi pidana pembayaran uang pengganti sebagaimana dikenal dalam Pasal 18 UU Tipikor. Tujuan esensial dari UU Tipikor untuk mengembalikan kerugian negara sebanyak-banyaknya tidak dirumuskan dalam revisi; (4) rumusan Pasal 20 UNCAC yang mengatur Illicit Enrichment, yaitu peningkatan kekayaan yang luar biasa dan tidak dapat dipertanggungjawabkan belum dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi; dan Pasal 22 UNCAC mengenai Embezzlement of Property in Private Sector justru dirumuskan sebagai tindak pidana penggelapan bukan tindak pidana korupsi.

Ada cukup banyak hal yang perlu diajukan dan semuanya ada dalam kajian KPK atas revisi KUHAP yang segera dipublikasikan oleh KPK. Akhirnya, seluruh uraian di atas dapat menjawab pertanyaan dasar yang diajukan, revisi KUHP ternyata dapat mendekonstruksi dan mendelegitimasi pemberantasan korupsi. Sifat extraordinary dari kejahatan korupsi akan berubah menjadi tindak pidana umum dan kehilangan sifat lex specialis-nya dan lembaga yang mempunyai mandat untuk melaksanakan pemberantasan korupsi akan kehilangan dasar legalitasnya seperti tersebut di dalam revisi KUHP.

Semoga kita tidak bermain-main dengan kata dan pernyataan atas suatu revisi perundangan yang menyangkut hajat hidup banyak orang dan kepentingan atas bangsa dan negara ini. Optimisme pemberantasan korupsi harus terus dihidupkan meski hujan badai dan gelegar petir korupsi terus menghantam persada dari negeri tercinta.

Tri Dharma PT dan Karier Dosen

Tri Dharma PT dan Karier Dosen

Suyono  ;   Guru Besar Pendidikan Bahasa Indonesia
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
KOMPAS,  28 Februari 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
USUL Hendra Gunawan dari ITB (Kompas, 25/1) agar urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi ditinjau ulang sungguh menarik. Hendra menguraikan bahwa tugas utama perguruan tinggi (PT) adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Jadi, pelaksanaan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat merupakan fungsi lanjutan setelah penelitian dan pengembangan iptek dilaksanakan dengan baik.

Dengan pemahaman seperti itu, idealnya pendidikan dan penelitian wajib berbasis penelitian sehingga urutan Tri Dharma PT yang tepat: penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat. Peninjauan urutan itu mendesak dilakukan agar perhatian semua pihak terhadap penelitian berubah sehingga mutu dan produktivitas penelitian meningkat dan pengembangan iptek di Indonesia dapat dipercepat.

Perubahan paling awal sehubungan dengan itu adalah  perkuliahan dan pengabdian akan lebih baik karena berbasis riset. Dengan urutan baru itu, dosen dituntut lebih sering meneliti dengan kualitas terus meningkat juga. Perlu payung hukum baru mengubah urutan itu: peraturan menteri atau peraturan presiden.

Tak ada peraturan perundangan yang dilanggar jika urutan diubah. Memang urutan tak serta-merta mengubah gairah dan produktivitas penelitian dosen. Namun, paling tidak ia dapat menciptakan kondisi baru, apalagi jika ada pilihan karier dosen yang lebih jelas dan terukur sebagai kebijakan lanjutan. 

Pada kebijakan lanjutan itu, misalnya, ada tiga jalur karier dosen yang perlu dirancang siste- matis dan konsisten sejak awal: dosen peneliti dan pengabdi, dosen pendidik, dan dosen birokrat. Karena itu, sejak jadi dosen (asisten ahli), awalannya adalah placement test. Tes ini diberikan setelah diadakan penjelasan dan simulasi melalui lokakarya di kampus masing-masing. Dengan tiga jalur itu, proporsi beban satuan kredit semester (SKS) berbeda-beda, sesuai dengan jenis jalur yang dipilih dosen.

Pindah jalur

Untuk dosen peneliti dan pengabdi, misalnya, bidang penelitian dan pengabdian setiap semester minimal 9-10 SKS, perkuliahan 6 SKS. Untuk dosen pendidik, perkuliahan minimal 9-10 SKS, penelitian dan pengabdian 6 SKS. Untuk dosen birokrat, perkuliahan dan penunjang minimal 9-10 SKS, penelitian dan pengabdian 6 SKS. Dengan demikian, jumlah beban SKS setiap dosen, jalur mana pun yang dipilih, berada pada rentangan 15-16 SKS.

Sebagai ilustrasi, karena diawali dengan placement test, yang menjadi ketua jurusan, misalnya, adalah yang hasil tes manajerialnya paling tinggi. Yang jadi dekan, selain hasil placement test paling tinggi, harus pernah jadi wakil dekan atau ketua jurusan. Dan seterusnya sampai ke rektor. Diharapkan kinerja dosen lebih baik, jelas, dan berkualitas sesuai dengan potensi dan pengalaman masing-masing. Sementara itu, yang jadi dosen peneliti benar-benar produktif dan karyanya bermutu. Demikian juga yang menjadi dosen pendidik.

Penjurusan karier dosen, misalnya, dimulai sejak masa kerja tiga tahun, yakni setelah dosen memiliki jabatan fungsional terendah, asisten ahli. Saat prajabatan atau setiap tahun diadakan penjelasan ”penjurusan itu” dan disampaikan oleh pemimpin. Bisa dan boleh pindah jalur, dengan syarat sudah 3-5 tahun di jalurnya dan gagal atau tidak produktif dan ada potensi besar di jalur baru. Namun, yang pindah jalur ke dosen birokrat harus tetap melewati jabatan terendah: ketua jurusan.

Perlu dicatat, mengingat formasi jabatan itu sangat terbatas, sekalipun memilih jalur dosen birokrat, ia belum tentu jadi pejabat. Artinya, tetap ada kompetisi dan seleksi yang ketat untuk memperoleh pejabat yang terbaik. Hal itu juga berlaku pada jalur dosen peneliti. Sekalipun memilih jalur dosen peneliti, belum tentu ia menjadi peneliti andal dan sangat produktif. Namun, penelitiannya seharusnya lebih banyak daripada dosen yang memilih jalur dosen pendidik.

Pindah jalur, selama jadi dosen, paling banyak dilakukan tiga kali, paling cepat tiga tahun setelah berada di jalur sebelumnya, dan paling lambat 10 tahun sebelum pensiun. Misalnya, jika dosen (bukan guru besar) pensiun pada usia 65 tahun, semula memilih jalur dosen peneliti dan sangat produktif sampai dengan usia 50 tahun bisa saja setelah itu ia pindah jalur ke dosen birokrat. Karena kinerjanya baik, ia terpilih jadi ketua jurusan selama empat tahun. Setelah itu, di usia 54 tahun terpilih jadi dekan dan karena kinerjanya amat baik pada usia 58 tahun jadi rektor.

Jadi, di jalur karier mana pun, setiap dosen mestinya mencapai kinerja terbaik dengan kesempatan adil untuk semua. Dengan tiga jalur itu, karier dosen lebih jelas, terukur, dan kinerjanya akan lebih baik karena sistemnya jelas dan terbuka untuk dipilih, pindah jalur, atau pilihan karier.

Ilustrasi lebih teknis: ketika pilihannya pejabat, yang berhak untuk dipilih adalah mereka yang berada di jalur dosen birokrat atau dosen peneliti untuk ketua lembaga penelitian/pengabdian kepada masyarakat. Dengan kondisi ini pula kompetisi lebih sehat dan iklim kerja diharapkan juga lebih baik. Berkarier di jalur dosen peneliti juga menjanjikan.

Yang kurang menjanjikan adalah yang berkarier di dosen pendidik. Dalam kenyataannya, memang ada dosen yang ”bakatnya” hanya mengajar dengan sedikit meneliti dan mengembangkan ilmu. Sementara yang lain sangat berbakat meneliti dan mengembangkan ilmu, mengajarnya hanya untuk pelengkap.

Sekelompok lain berbakat jadi birokrat, mengajar dan meneliti sebagai pelengkap. Kelompok ini tak banyak, sejajar dengan sedikitnya kebutuhan tenaga birokrat.

Jika tawaran kebijakan ini dipilih, semua terkondisi bekerja maksimal. Tidak seperti yang terjadi saat ini, yang jadi birokrat mungkin sebagian kurang sepenuh hati menjalankan tugasnya. Demikian juga yang tanpa tugas tambahan, sebagian kurang sepenuh hati mengajar dan meneliti karena ketiadaan jalur karier yang jelas.