Momentum
Hari Santri
Junaidi Abdul Munif ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 15 November 2014
Presiden Joko Widodo mewacanakan Hari Santri yang akan diperingati
setiap 1 Muharram. Wacana ini mendapatkan respons pro dan kontra.
Selama ini, sebagai mayoritas, umat Islam mengalami pasang-surut
hubungan dengan negara. Sudah lama pesantren distigmakan sebagai lembaga
tradisional dan kaum santri dianggap "kolot" karena dituduh enggan
menerima kemajuan.
Santri dicitrakan hidup berkutat pada pengajian kitab kuning, sebagian
bersikap nyinyir dengan buku-buku putih, yakni buku-buku yang ditulis oleh
orang non-muslim atau berisi wacana kontemporer. Tapi itu dulu, ketika
pesantren dicitrakan demikian. Kini, ketika santri juga mendapatkan akses
yang sama untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, santri terbukti berhasil
beradaptasi tanpa kehilangan ciri khas kepesantrenan.
Secara terminologi, santri merupakan pelajar yang mengenyam pendidikan
di pesantren. Gus Dur menyebut pesantren sebagai subkultur dari kultur
Indonesia. Di pesantren memang banyak ditemukan moda kebudayaan yang unik dan
genuine. Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia, dengan
model pengajaran yang diawasi penuh oleh kiai.
Ada jutaan orang yang pernah menjadi santri dan masih menjadi santri.
Distribusinya pun tak terbatas pada komunitas keagamaan, tapi juga telah
merambah ke segala bidang kehidupan. Dari kiai kelas kampung sampai birokrat
di kancah nasional, banyak ditemukan mereka yang alumni pesantren.
Penghargaan kepada kaum santri dan komunitas pesantren sangat penting
karena kiprah mereka pada masa kolonialisme dan pasca-kemerdekaan sudah tidak
perlu diragukan lagi. Tradisi pesantren yang mulai tertanam pada abad ke-9 di
Barus, dan pada abad ke-19 melahirkan proto-nationalisme yang digagas kiai
yang mengajar di Mekkah-Madinah (Zamakhsyari
Dhofier, [revisi] 2011), adalah saksi hidup perjalanan bangsa.
Bagi kaum santri sendiri, penghargaan ini disikapi dengan dualisme di
atas. Yang setuju beralasan bahwa sudah saatnya santri "dihargai"
oleh negara dengan diberi hari peringatan. Saatnya negara membalas budi
kepada kaum santri. Yang tidak setuju berargumen bahwa perjuangan santri
adalah mengharap rida Allah semata dan tiada sangkut-pautnya dengan negara.
Sebenarnya, penghargaan kaum santri justru menemukan momentumnya ketika
maraknya model keberagamaan Islam yang justru menafikan kebinekaan Indonesia
dan berhasrat ingin mendirikan negara khilafah. Gerakan seperti ini
bertentangan dengan tekad kaum santri yang ingin meneguhkan keberadaan NKRI.
Khasanah keilmuan pesantren pun belum banyak tergali, terutama ilmu-ilmu
pesantren yang tidak berkaitan dengan agama.
Berbicara tentang santri, sebetulnya berbicara tentang keindonesiaan
yang beragam budaya, nasionalisme yang berpadu dengan ajaran Islam. Santri
merupakan penyokong nasionalisme yang utama. Ideologi santri berjalan pada
aras pernyataan Gus Dur, "Kita
adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang hidup di
Indonesia."
Pernyataan Gus Dur tersebut merupakan kesimpulan dari sejarah panjang
kedatangan Islam di Nusantara. Wali Songo berhasil memadukan unsur lokal
dengan Islam, sehingga melahirkan kebudayaan Islam santri yang khas dan tiada
duanya di dunia. Semoga Hari Santri
bukan merupakan siasat politik Jokowi sebagai "balas budi"
pasca-pemilu presiden 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar