Infrastruktur
Kartu Indonesia Sehat
Franka Soeria Natanegara Semin
;
Pengamat, Berdomisili di Turki
|
KORAN
TEMPO, 14 November 2014
Berbicara tentang Kartu Indonesia Sehat (KIS), kita akan diingatkan
tentang kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Dua-duanya memiliki
kegunaan sama, yaitu membantu pengobatan warga dengan tingkat ekonomi
menengah ke bawah. Bedanya, KIS adalah penyempurnaan dari program BPJS,
sehingga akses kesehatan yang diberikan memiliki lingkup lebih luas kepada
seluruh warga Indonesia.
Namun tentu tidaklah mudah untuk memulai suatu program yang sifatnya
masif. Program seperti ini memerlukan sosialisasi yang jitu, prosedur yang
tepat dan mudah, serta infrastruktur pendukung yang kuat. Saat KIS dibagikan
ke masyarakat, diharapkan infrastrukturnya telah terbentuk, sehingga bisa
digunakan dengan efisien dan dapat mencegah manipulasi transaksi di lapangan.
Infrastruktur yang dimaksudkan ada dua: memadainya jumlah rumah sakit dan
tenaga ahli untuk menampung jumlah pasien yang dirujuk ke rumah sakit dan
perlunya sistem pemantauan dalam setiap transaksi untuk menghindari
manipulasi di lapangan.
Perlu diperhatikan ketersediaan ranjang yang ada. Sampai saat ini
tercatat ada 16 ribu ranjang yang tersedia di rumah sakit seluruh Indonesia.
Sementara itu, jumlah total pemegang KIS berkisar 80 jutaan orang nantinya.
Apabila, misalnya, hanya 3 persen yang harus dirujuk ke rumah sakit, jumlah
total ranjang yang diperlukan sejumlah 24 ribu. Apabila yang dihitung hanya
ranjang kelas 3 dan 4, kemungkinan besar jumlahnya di bawah 10 ribu saja.
Jumlah ini jelas tidak memadai. Hal ini akan menjadi tantangan bagi
pemerintah.
Tantangan berikutnya adalah kebutuhan akan sistem yang efektif untuk
memantau setiap transaksi di lapangan, dari pemantauan terhadap diagnosa dan
obat yang tepat hingga tagihan ke pemerintah yang sesuai dengan pelayanan.
Sebetulnya pelayanan kesehatan nasional ini mirip dengan asuransi kesehatan
swasta, di mana perusahaan asuransi swasta bekerja sama dengan berbagai rumah
sakit dan memantau setiap kasus dengan teliti. Ini sangat penting karena
tagihan rumah sakit harus sesuai dengan aturan polis yang dikeluarkan. Perusahaan
asuransi biasanya menunjuk third party
processor (TPA) dalam menganalisis setiap transaksi.
Program kesehatan nasional ini seharusnya juga dapat menganut sistem
yang sama. Menunjuk BPJS sebagai TPA-nya tidak dapat begitu saja
menyelesaikan masalah, karena nantinya akan ada jumlah transaksi yang cukup
besar setiap bulannya.
Rasanya mustahil untuk dilakukannya analisis secara manual pada setiap
kasus. Salah satu contoh yang baik adalah perusahaan asuransi swasta
menggunakan sistem online monitoring
yang disediakan oleh PT Telkom melalui anak perusahaannya, Admedika. Semua
kasus menjalani screening melalui
sistem ini dan perusahaan asuransi bisa mengetahui jumlah kasus yang
berjalan, termasuk jumlah biayanya, sehingga bisa mengetahui liability setiap saat.
Sistem online seperti ini juga bisa membantu penyaringan dari awal
penyakit yang tidak tercantum dalam polis. Intinya, dengan sistem online,
manipulasi di lapangan akan terkendali dengan baik. Tujuan KIS yang baik
sebaiknya diiringi dengan infrastruktur yang kuat. Sistem manual akan menjadi
momok bagi pemerintah dan hanya akan menyulitkan di kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar