Sabtu, 15 November 2014

Infrastruktur Kartu Indonesia Sehat

                         Infrastruktur Kartu Indonesia Sehat

Franka Soeria Natanegara Semin  ;   Pengamat, Berdomisili di Turki
KORAN TEMPO,  14 November 2014

                                                                                                                       


Berbicara tentang Kartu Indonesia Sehat (KIS), kita akan diingatkan tentang kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Dua-duanya memiliki kegunaan sama, yaitu membantu pengobatan warga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Bedanya, KIS adalah penyempurnaan dari program BPJS, sehingga akses kesehatan yang diberikan memiliki lingkup lebih luas kepada seluruh warga Indonesia.

Namun tentu tidaklah mudah untuk memulai suatu program yang sifatnya masif. Program seperti ini memerlukan sosialisasi yang jitu, prosedur yang tepat dan mudah, serta infrastruktur pendukung yang kuat. Saat KIS dibagikan ke masyarakat, diharapkan infrastrukturnya telah terbentuk, sehingga bisa digunakan dengan efisien dan dapat mencegah manipulasi transaksi di lapangan. Infrastruktur yang dimaksudkan ada dua: memadainya jumlah rumah sakit dan tenaga ahli untuk menampung jumlah pasien yang dirujuk ke rumah sakit dan perlunya sistem pemantauan dalam setiap transaksi untuk menghindari manipulasi di lapangan.

Perlu diperhatikan ketersediaan ranjang yang ada. Sampai saat ini tercatat ada 16 ribu ranjang yang tersedia di rumah sakit seluruh Indonesia. Sementara itu, jumlah total pemegang KIS berkisar 80 jutaan orang nantinya. Apabila, misalnya, hanya 3 persen yang harus dirujuk ke rumah sakit, jumlah total ranjang yang diperlukan sejumlah 24 ribu. Apabila yang dihitung hanya ranjang kelas 3 dan 4, kemungkinan besar jumlahnya di bawah 10 ribu saja. Jumlah ini jelas tidak memadai. Hal ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah.

Tantangan berikutnya adalah kebutuhan akan sistem yang efektif untuk memantau setiap transaksi di lapangan, dari pemantauan terhadap diagnosa dan obat yang tepat hingga tagihan ke pemerintah yang sesuai dengan pelayanan. Sebetulnya pelayanan kesehatan nasional ini mirip dengan asuransi kesehatan swasta, di mana perusahaan asuransi swasta bekerja sama dengan berbagai rumah sakit dan memantau setiap kasus dengan teliti. Ini sangat penting karena tagihan rumah sakit harus sesuai dengan aturan polis yang dikeluarkan. Perusahaan asuransi biasanya menunjuk third party processor (TPA) dalam menganalisis setiap transaksi.

Program kesehatan nasional ini seharusnya juga dapat menganut sistem yang sama. Menunjuk BPJS sebagai TPA-nya tidak dapat begitu saja menyelesaikan masalah, karena nantinya akan ada jumlah transaksi yang cukup besar setiap bulannya.

Rasanya mustahil untuk dilakukannya analisis secara manual pada setiap kasus. Salah satu contoh yang baik adalah perusahaan asuransi swasta menggunakan sistem online monitoring yang disediakan oleh PT Telkom melalui anak perusahaannya, Admedika. Semua kasus menjalani screening melalui sistem ini dan perusahaan asuransi bisa mengetahui jumlah kasus yang berjalan, termasuk jumlah biayanya, sehingga bisa mengetahui liability setiap saat.

Sistem online seperti ini juga bisa membantu penyaringan dari awal penyakit yang tidak tercantum dalam polis. Intinya, dengan sistem online, manipulasi di lapangan akan terkendali dengan baik. Tujuan KIS yang baik sebaiknya diiringi dengan infrastruktur yang kuat. Sistem manual akan menjadi momok bagi pemerintah dan hanya akan menyulitkan di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar