Minggu, 16 November 2014

Citra dan Selera

                                                       Citra dan Selera

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  14 November 2014

                                                                                                                       


BEDA dengan lingkungan yang memberikan kesan teduh dan akrab. Sepintas kilas suasana kota besar di dunia umumnya tampak ribut dan terdengar gaduh juga riuh. Bahkan acap kali itu terkesan tidak tentu arah. Gerakan lalu lintas manusia dan kendaraan menunjukkan kesibukan yang padat luar biasa, pertanda penduduk kota memiliki lingkup kegiatan serbacepat dan kejarmengejar diburu waktu. Kegeniusan dan kreativitas manusia telah menciptakan kehidupan modern seperti yang kita kenal sekarang.

Ketika RI-1 memuji kerapian tata Kota Beijing, tidak pelak timbul pertanyaan, apa rumusan yang diperlukan untuk membuat sebuah kota besar tertata rapi? Apakah diperlukan teori dan aturan ketat yang membuat penduduk mampu mewujudkan kota yang tertata? Disiplin jelas diperlukan. Biaya tidak bisa diabaikan. Semuanya itu pun disesuaikan dengan kebutuhan penduduk, lingkungan, dan tersedianya biaya.Itu menjelaskan mengapa tiap lingkungan memiliki kekhasan.

Kecepatan kemajuan setiap masyarakat berbeda. Ada beberapa kota yang indah dipandang dan tampak nyaman untuk dinikmati, tetapi tidak banyak. Itu menjadi tugas para pemimpin pemerintahan ataupun warga kota untuk menentukan pengembangan seperti apa yang diinginkan untuk lingkungan dan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya. Perencanaan dan siapa saja yang dianggap paling mumpuni menangani penjabarannya? Bukan santai dan tidak pula gerak cepat asal dapat. Tugas manajemen menjadi lebih berat karena bukan hanya berkewajiban menjalankan tugas, melainkan juga menjamin pertumbuhannya agar bisa memastikan masa depan seluruh lingkungan yang lebih baik.

Bila kita keliling mengunjungi sejumlah masyarakat atau negara lain, langsung akan kita kenali beda antara satu lingkungan dan lingkungan yang lain, baik dalam tata kota, bangunan-bangunannya, maupun efisiensi konstruksi konstruksinya. Kunjungan keliling memberikan citra tentang cita rasa ataupun selera penduduk, selain untuk kemajuan pengetahuan teknik warga dan kejelian para pemimpin mengenali yang indah dan apa saja yang perlu ditambah atau apa yang harus dikurangi atau dibuang.

Sekadar menyebut sebagai contoh yakni Jakarta. Situasi yang ada saat ini menunjukkan ketimpangan pemandangan di banyak tempat, kecuali di jalan-jalan protokol.Mantan Gubernur Wiyogo pernah menyebut Jakarta seperti sebuah desa, tumbuh spontan tanpa perencanaan walaupun tentu tidak demikian. Memang bila komposisi penduduknya dilihat, ketimpangan antara yang mampu dan yang kurang atau tidak mampu luar biasa besar.

Bahkan banyak gubuk dibangun menempel ke tembok bangunan-bangunan lain dengan bebasnya. Seakan tidak ada aturannya. Gubuk-gubuk itu bebas dipakai untuk tempat penginapan ataupun warung. Ada kesan semua pihak angkat tangan membiarkan kecuali pada saat ada gerakan pembersihan oleh polisi kotapraja.

Menurut hasil riset, hampir separuh wilayah permukiman Jakarta terdiri dari daerah kumuh atau yang penataannya tidak terencana. Itu menandaskan masalah kependudukan dan permukiman di Kota Jakarta yang luasnya lebih dari 660 km2 merupakan salah satu tantangan terbesar, yaitu penduduk terlalu padat dengan permukiman tidak tertata rapi. Bukan hanya itu, keamanan dan ketertibannya pun gampang terganggu.

Urbanisasi penduduk desa dan Botabek yang mencari kerja tetap ataupun musiman di kota menambah beban Ibu Kota. Jumlah penduduknya sekarang diperkirakan mendekati 11 juta jiwa menjadi bahan pemikiran para perancang untuk melakukan pekerjaan rumah yang berat. Itu tantangan hebat yang menghadang Jokowi-JK dan segenap warga Jakarta dalam tahun-tahun mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar