Citra
dan Selera
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 14 November 2014
BEDA
dengan lingkungan yang memberikan kesan teduh dan akrab. Sepintas kilas
suasana kota besar di dunia umumnya tampak ribut dan terdengar gaduh juga
riuh. Bahkan acap kali itu terkesan tidak tentu arah. Gerakan lalu lintas
manusia dan kendaraan menunjukkan kesibukan yang padat luar biasa, pertanda
penduduk kota memiliki lingkup kegiatan serbacepat dan kejarmengejar diburu
waktu. Kegeniusan dan kreativitas manusia telah menciptakan kehidupan modern
seperti yang kita kenal sekarang.
Ketika
RI-1 memuji kerapian tata Kota Beijing, tidak pelak timbul pertanyaan, apa
rumusan yang diperlukan untuk membuat sebuah kota besar tertata rapi? Apakah
diperlukan teori dan aturan ketat yang membuat penduduk mampu mewujudkan kota
yang tertata? Disiplin jelas diperlukan. Biaya tidak bisa diabaikan. Semuanya
itu pun disesuaikan dengan kebutuhan penduduk, lingkungan, dan tersedianya
biaya.Itu menjelaskan mengapa tiap lingkungan memiliki kekhasan.
Kecepatan
kemajuan setiap masyarakat berbeda. Ada beberapa kota yang indah dipandang
dan tampak nyaman untuk dinikmati, tetapi tidak banyak. Itu menjadi tugas
para pemimpin pemerintahan ataupun warga kota untuk menentukan pengembangan
seperti apa yang diinginkan untuk lingkungan dan lembaga-lembaga yang ada di
dalamnya. Perencanaan dan siapa saja yang dianggap paling mumpuni menangani
penjabarannya? Bukan santai dan tidak pula gerak cepat asal dapat. Tugas
manajemen menjadi lebih berat karena bukan hanya berkewajiban menjalankan
tugas, melainkan juga menjamin pertumbuhannya agar bisa memastikan masa depan
seluruh lingkungan yang lebih baik.
Bila kita
keliling mengunjungi sejumlah masyarakat atau negara lain, langsung akan kita
kenali beda antara satu lingkungan dan lingkungan yang lain, baik dalam tata
kota, bangunan-bangunannya, maupun efisiensi konstruksi konstruksinya.
Kunjungan keliling memberikan citra tentang cita rasa ataupun selera
penduduk, selain untuk kemajuan pengetahuan teknik warga dan kejelian para
pemimpin mengenali yang indah dan apa saja yang perlu ditambah atau apa yang
harus dikurangi atau dibuang.
Sekadar
menyebut sebagai contoh yakni Jakarta. Situasi yang ada saat ini menunjukkan
ketimpangan pemandangan di banyak tempat, kecuali di jalan-jalan
protokol.Mantan Gubernur Wiyogo pernah menyebut Jakarta seperti sebuah desa,
tumbuh spontan tanpa perencanaan walaupun tentu tidak demikian. Memang bila
komposisi penduduknya dilihat, ketimpangan antara yang mampu dan yang kurang
atau tidak mampu luar biasa besar.
Bahkan
banyak gubuk dibangun menempel ke tembok bangunan-bangunan lain dengan
bebasnya. Seakan tidak ada aturannya. Gubuk-gubuk itu bebas dipakai untuk
tempat penginapan ataupun warung. Ada kesan semua pihak angkat tangan
membiarkan kecuali pada saat ada gerakan pembersihan oleh polisi kotapraja.
Menurut
hasil riset, hampir separuh wilayah permukiman Jakarta terdiri dari daerah
kumuh atau yang penataannya tidak terencana. Itu menandaskan masalah
kependudukan dan permukiman di Kota Jakarta yang luasnya lebih dari 660 km2
merupakan salah satu tantangan terbesar, yaitu penduduk terlalu padat dengan
permukiman tidak tertata rapi. Bukan hanya itu, keamanan dan ketertibannya
pun gampang terganggu.
Urbanisasi
penduduk desa dan Botabek yang mencari kerja tetap ataupun musiman di kota
menambah beban Ibu Kota. Jumlah penduduknya sekarang diperkirakan mendekati
11 juta jiwa menjadi bahan pemikiran para perancang untuk melakukan pekerjaan
rumah yang berat. Itu tantangan hebat yang menghadang Jokowi-JK dan segenap
warga Jakarta dalam tahun-tahun mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar