Budi
Sang Kerbau
Heri Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
|
KORAN
TEMPO, 15 November 2014
Kabar mengejutkan tentang kematian kerbau bule alias Kyai Slamet, hewan
piaraan khas masyarakat agraris yang menjadi pusaka Keraton Kasunanan, awal
bulan lalu, mengemukakan dua fakta.
Pertama, orang tiada lagi percaya atas "kesaktian" kerbau
istana sampai berani menombaknya. Kedua, betapa kejam perilaku manusia
terhadap binatang yang mestinya dibelaskasihani itu.
Menarik untuk membentangkan lembaran sejarah lokal dan mencomot
kearifan budaya perihal kerbau. Banyak sumber mengatakan kerbau adalah hewan
istimewa dalam peradaban Nusantara sepanjang masa dibanding kambing, burung,
dan lainnya. Kerbau pernah mewakili kepercayaan kuno totemisme, yakni
penyembahan manusia terhadap hewan yang diyakini membawa ketenteraman
semesta. Kepala kerbau dijadikan persembahan utama sewaktu pihak kerajaan
hendak membangun jembatan dan memperbaiki kapal besar Rajamala. Harapannya,
kegiatan lancar, tanpa memakan korban.
Mundur ke periode prasejarah. Arca-arca kepala yang menyerupai kerbau
ditemukan pada kubur batu di Jawa Timur. Pahatan kerbau juga terdapat pada
sarkofagus di situs Munduk Tumpeng, Bali. Ini dikaitkan dengan simbol
kesuburan dan kendaraan arwah. Sampai sekarang, ornamen atau bagian tubuh
kerbau dipilih untuk menghiasi rumah adat Toraja. Berarti, kerbau berhasil
menembus ruang dan waktu.
Di lingkungan pedesaan, kerbau dianggap kawan sejati petani, bahkan
patron bagi dunia pertanian. Kenyataan historis ini dicatat rapi oleh Thomas
Raffles dalam bukunya yang menjadi klasik, The History of Java. Pembesar pemerintah kolonial Inggris itu
mengatakan kerbau di Jawa lebih kecil daripada kerbau Sumatera atau
Semenanjung Malaya, tapi lebih gemuk ketimbang kerbau Bengali atau kerbau
pulau di timur laut Jawa.
Orang Sunda menyebut kerbau dengan nama munding. Penyebutan itu bukan
tanpa riwayat. Para pangeran dan keluarga bangsawan menyandang gelar maesa
lalean atau munding sari demi menghormati tokoh yang kali pertama mengenalkan
cara bercocok tanam di kawasan Sunda (lalean).
Boleh dibilang, nasib baik petani sebagian bergantung pada kerbau,
sebagian lagi alam. Tidak mengherankan bila di beberapa desa di Jawa saban
malam Jumat Paing didapati orang sibuk menyiapkan sesaji untuk kesejahteraan
kerbau mereka. Romo Sindhunata (2010) menuturkan masyarakat petani percaya
bahwa kerbau tersebut memiliki roh dan danyang-danyang.
Dengan sesaji itu, dipanggillah roh dan para dan yang supaya bersedia
melindungi kerbau itu, membuatnya menjadi sentosa, sehat, dan kuat membajak.
Kerbau menguntit sampai ke panggung hiburan manusia. Dalam janturan
jejer pada pertunjukan wayang, diuraikan bahwa kerbau, sapi, kambing itik,
dan ayam merupakan binatang peliharaan wong Jawa. Dalam Manikmaya,
diceritakan bahwa kerbau dan banteng telah dijinakkan untuk menemani manusia
mencari nafkah, seperti membajak, menjadi alat transportasi, dan binatang
niaga. Pada titik tertentu, kerbau menjadi simbol kekayaan warga yang tinggal
di desa.
Dari kilas balik ini, terang bahwa kerbau adalah lambang keselamatan
dan kesejahteraan masyarakat Nusantara. Negeri ini di masa lampau banyak
berutang budi kepada kerbau.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar