Rukin,
Guru, dan Gerakan Literasi
M Anwar Djaelani ; Penulis buku Warnai Dunia dengan Menulis,
Dosen STAIL Hidayatullah Surabaya
|
JAWA
POS, 08 Agustus 2014
OBITUARI Rukin Firda, Perginya Jurnalis Proedukasi. Obituari di
Jawa Pos 3 Agustus 2014 itu mengabarkan berpulangnya redaktur Jawa Pos Rukin
Firda karena sebuah kecelakaan lalu lintas. Banyak kalangan, terutama aktivis
pendidikan, yang berduka. Bahkan, pegiat gerakan literasi di Surabaya
merasakan sebuah kehilangan yang mendalam.
Sang Guru
Rukin yang lahir pada 1966 bercita-cita menjadi guru. Lihatlah,
dia memilih SPG (sekolah pendidikan guru) dan IKIP (Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan) Surabaya sebagai sarananya. Suratan nasib ”membelokkan”
Rukin menjadi wartawan.
Naluri Rukin sebagai guru tak lalu terkubur karena berprofesi
wartawan. Malah belakangan keterampilannya menulis berguna untuk mendorong
gerakan literasi, termasuk di kalangan (calon) guru.Misalnya, dia tercatat
sebagai pengajar di Sirikit School of Writing. Juga banyak terlibat di
penerbitan buku-buku Unesa (nama baru IKIP Surabaya). Bahkan, bisa dibilang
dia menjadi salah satu bagian penting atas cita-cita menjadikan guru
(terutama produk Unesa) berkemampuan literasi yang andal. Ada catatan bahwa
dia memiliki target agar para peserta Program Profesi Guru (PPG) Unesa bisa
menulis artikel populer di koran.
Untuk gerakan literasi, pertama, Rukin telah sering memberikan
pelatihan kepenulisan di berbagai kesempatan. Kedua, dari tangannya lahir
sejumlah karya tulis, baik sebagai kompilator, editor, atau kontributor.
Berikut karya-karya tulisnya.
Pertama, Ibu Guru, Saya
Ingin Membaca. Di buku bertahun 2012 itu dia menjadi kompilator. Kedua, Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita. Buku
bertahun 2014 tersebut dieditori Rukin dan Luthfiyah Nurlaela. Nama yang
disebut terakhir adalah direktur PPG Unesa. Isinya serial pengalaman dari
program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T)
Unesa Angkatan II yang mengabdi di Sumba Timur, NTT. Ketiga, Ndoro, Saya
Ingin Bicara. Buku bertahun 2011 itu berupa kumpulan cerpen karya alumni
Unesa. Dari 21 cerpen, Rukin menyumbangkan dua karya, yaitu Ndoro, Saya Ingin
Bicara dan Cerita tentang Bulan. Bahkan, cerpen yang disebut pertama dipilih
sebagai judul buku karena esensinya cukup mewakili spirit dihadirkannya buku
itu. Keempat, Pena Alumni: Membangun Unesa Melalui Budaya Literasi. Di buku
bertahun 2013 itu Rukin menyumbangkan artikel-opini Menulis sebagai Strategi Building Image Unesa. Dia juga
menyumbangkan puisi Literasi Cinta.
Kelima, Boom Literasi: Menjawab Tragedi
Nol Buku. Di buku bertahun 2014 itu Rukin mengajukan gagasan kocak, Menulis atau Menjomblo Seumur Hidup.
Artikel-opini Rukin yang berjudul Menulis sebagai Strategi Building Image Unesa layak diapresiasi
secara khusus. Lewat tulisan itu, dia mendorong para akademisi untuk aktif
menyampaikan pemikiran lewat tulisan. Sebab, hal itu akan membuatnya ”lebih
dikenal dan lebih bernilai”. Bahkan, jika sang akademisi telah tiada, kata
dia, pemikirannya ”akan tetap hidup dan
bisa bisa dibaca”.
Rukin sangat benar! Pertama, dia telah membuktikan untuk dirinya
sendiri. Dia telah tiada, tapi warisan berupa berbagai karya tulisnya akan
membuatnya ”kekal”. Kedua, harapan dia bahwa hendaknya para akademisi suka
menulis sungguh beralasan.
Dosen/guru yang terampil dan rajin menulis (baik berupa artikel,
resensi, atau buku) akan menguntungkan bagi –setidaknya– tiga pihak. Pertama,
bagi si dosen/guru sendiri. Dosen/guru yang mampu menulis artikel, resensi,
atau buku cenderung berkemampuan pula untuk menulis di jurnal-jurnal ilmiah.
Tentu saja semua hal itu akan berpengaruh positif bagi perkembangan karirnya.
Kedua, bagi peserta didik. Dosen/guru yang suka menulis
(artikel, resensi, atau buku) akan terpacu untuk selalu rajin membaca. Sebab,
menulis dan membaca seperti dua sisi sebuah mata uang. Tulisan yang bagus
hanya akan lahir dari seorang yang ”rakus” membaca. Sementara, semakin banyak
yang dibaca oleh dosen/guru, pihak pertama yang diuntungkan adalah peserta
didik. Sebab, bisa dipastikan dosen/guru yang bersangkutan akan jauh lebih
berwawasan ketimbang guru yang tak suka membaca. Lalu, karena dosen/guru yang
rajin membaca dan menulis dipandang lebih berwawasan, dosen/guru tersebut
akan lebih diidolakan oleh peserta didik. Pada tahapan selanjutnya, kesukaan
membaca dan menulis si dosen/guru akan diteladani peserta didik. Di titik
ini, kita bisa menunggu lahirnya penulis-penulis muda potensial (dari
kalangan peserta didik) yang juga akan berkontribusi positif bagi kemajuan
bangsa.
Ketiga, bagi masyarakat umum. Kini kesadaran bahwa membaca itu
penting sudah dirasakan masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat sekarang
membutuhkan banyak bacaan yang bermutu. Terkait itu, jika dosen/guru rajin
menulis, akan banyak naskah berkualitas yang tersedia, terutama yang bertema
kependidikan.
Tampak keberadaan dosen/guru yang tidak hanya cakap mengajar,
tapi juga terampil menulis, benar-benar sangat dibutuhkan. Masyarakat,
terutama peserta didik dan orang tua/walinya, akan terbantu dengan
tersedianya bahan-bahan bacaan bermutu karya dosen/guru.
Khusus untuk PPG Unesa, kepergian Rukin harus bisa menjadi
pemicu untuk lebih berkobarnya semangat menjadikan PPG sebagai pusat gerakan
literasi minimal di internal Unesa sendiri. Mengapa? Sebab, pada 26 Juni 2014
Direktur PPG-Unesa Prof Dr Luthfiyah Nurlaela bersama pegiat literasi Jawa
Timur yang juga alumni Unesa telah mendeklarasikan PPG sebagai pusat
penggerak literasi di Unesa. Hebatnya, di talk show ketika itu Rukin-lah yang
bertindak sebagai pemandu acara.
Jejak Bagus
Rukin, selamat jalan! Engkau telah membuat jejak emas berupa
sebuah rintisan gerakan literasi. Sungguh memperpanjang jejak itu adalah
sebuah keharusan. Sungguh menyuburkan ”benih” yang telah engkau tanam demi
terbangunnya sebuah peradaban yang mulia adalah sebuah kewajiban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar