Jumat, 11 Juli 2014

Pelanggaran pada Hari Tenang

                                 Pelanggaran pada Hari Tenang

Paulus Mujiran  ;   Alumnus S-2 Undip,
Mantan tim seleksi Panwas Provinsi Jawa Tengah
SINAR HARAPAN, 08 Juli 2014

                                                                                                                       


Memasuki hari tenang 6-8 Juli 2014, dikhawatirkan banyak pihak merajalela pelanggaran yang dilakukan kandidat capres-cawapres, tim sukses, tim bayangan, bahkan tim yang tidak terdaftar. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran hari tenang dilakukan.

Pertama, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan Pilpres 2014 berlangsung satu putaran. Dengan hanya berlangsung satu putaran kedua pasang kandidat yang berlaga dalam pilpres kali ini akan head to head dan berusaha untuk menang. Mereka akan mengerahkan segala cara, termasuk melakukan pelanggaran.

Kedua, Pilpres kali ini hanya diikuti dua pasang kandidat. Ini membuat aroma persaingan kian sengit. Taruhannya kalau tidak kalah ya menang, kedua pasang kandidat didukung pendukung masing-masing mati-matian untuk menang.

Kampanye hitam yang menghalalkan segala cara adalah cara kandidat untuk mengalahkan saingan. Meski kampanye hitam membuat kemenangan secara tidak terhormat, faktanya dilakukan capres-cawapres yang berlaga dalam pilpres kali ini.

Masa tenang yang bagi pemilih untuk memantapkan dukungan dan pilihan bagi tim sukses, pendukung, tim bayangan menjadi gerilya untuk mencari dukungan. Tidak selesainya konsolidasi tim sukses dan kegagalan dalam sosialisasi selama kampanye untuk meyakinkan pemilih, menyebabkan masa tenang dipergunakan merayu pemilih.

Bentuk pelanggaran masa tenang di antaranya intimidasi atau pemaksaan dari tim sukses dengan mendatangi rumah-rumah warga, dengan mempergunakan kepanjangan tangan pengurus RT, RW, dusun setempat.

Dengan hanya membayar sejumlah uang kepada aparatur birokrasi tingkat bawah ini, mereka berusaha  meyakinkan pemilih agar memilih kandidat capres tertentu. Agar gerakan ini tidak terendus pengawas pemilu, pengurus RT, RW, dan dusun berdalih mengingatkan warga agar datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada 9 Juli 2014. Cara seperti ini pernah dilakukan Orde Baru dengan memanfaatkan birokrasi tingkat bawah untuk mendukung partai tertentu.

Diperkirakan bentuk-bentuk intimidasi seperti ini masih berlangsung dalam pilpres kali ini. Apalagi, ada bintara pembina desa (babinsa) yang ditengarai membujuk warga untuk mendukung capres tertentu. Pelanggaran juga bisa berbentuk politik uang. Pilpres kali ini bentuk politik uang terbagi dua, yakni politik uang prabayar dan politik uang pascabayar.

Politik uang prabayar adalah pemberian uang atau barang yang diberikan kandidat pasangan capres-cawapres sebelum pemilih mencoblos suara di TPS. Biasanya pemilih diberikan barang berupa sembako, sarung, pakaian, nasi kotak, atau uang dengan arahan agar memilih kandidat tertentu di TPS. Harapannya, setelah diberikan barang atau uang pemilih akan mendukung kandidat yang diusung.

Namun, kampanye yang dilakukan beberapa elemen masyarakat agar mengambil uang atau barangnya tetapi tidak memilih orang atau partainya rupanya cukup efektif. Pengalaman dalam pemilu legislatif meski telah memberikan uang atau barang tidak jaminan menang. Apalagi, upaya membawa kamera atau telepon genggam berkamera untuk memotret tanda gambar yang dicoblos dilarang.

Kemudian dipraktikkan politik uang pascabayar. Politik uang pascabayar adalah pemberian uang atau barang yang dilakukan tim sukses kandidat yang berlaga setelah pemilih memberikan suaranya di TPS. Pemilih harus menunjukkan bukti kepada tim sukses untuk mendapatkan suara.

Dikarenakan pemilih kesulitan membawa kamera atau telepon genggam berkamera ke TPS, sobekan sisa kertas coblosan menjadi bukti untuk ditukarkan dengan uang. Disepakati dengan tim sukses sobekan baju kotak-kotak untuk Jokowi-JK dan sobekan baju putih bergambar Garuda merah untuk Prabowo-Hatta.

Di tengah ketatnya persaingan antarkandidat yang berlaga dalam pilpres kali ini, segala cara akan dilakukan untuk meraih kemenangan. Apalagi, modal yang dikeluarkan masing-masing kandidat tidaklah kecil. Berbagai pelanggaran akan dilakukan untuk meraih simpati pemilih, termasuk politik uang.

Praktik politik uang merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan. Di satu sisi kandidat yang berlaga bersama tim suksesnya membutuhkan kemenangan itu secara instan. Tidak selesainya konsolidasi tim sukses membuat mereka memilih mempraktikkan politik uang.

Uang dianggap sebagai jaminan menentukan kemenangan. Semakin banyak uang dikeluarkan, membuat keyakinan merekalah yang akan menjadi pemenang pertandingan. Di pihak lain, pemilih terdidik untuk pragmatis dalam setiap event pemilihan, mulai dari kepala desa, bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden yang semuanya menjanjikan uang. Pihak yang memberi uang mereka dukung, yang tidak memberi uang diabaikan. Pendidikan politik rakyat seperti ini merusak demokrasi.

Pragmatisme kontestan yang berlaga dalam pemilihan umum membuat kualitas demokrasi dari waktu ke waktu kian rapuh. Suara rakyat yang adalah suara Tuhan dihargai dengan lembaran-lembaran recehan. Tak pelak aspirasi rakyat yang terkandung dalam setiap suara yang diberikan tidak pernah menjadi kebijakan nyata pro rakyat. Oleh karena itu, praktik politik uang harus dihentikan agar tidak merusak kultur demokrasi yang telah dibangun susah payah, semenjak Indonesia merdeka sampai sekarang.

Pada masa tenang ini, rakyat perlu dididik untuk tidak mudah menerima pemberian uang atau barang yang tujuannya mendukung kandidat tertentu. Pernyataan salah satu capres yang mengatakan, rakyat harus menerima pemberian uang karena itu uang rakyat benar-benar menyesatkan.

 Seorang pemimpin yang lahir dari politik uang tidaklah sah dan legitimasinya diragukan. Itu sama artinya dengan membeli kekuasaan. Politik uang membuat irama permainan dalam Pilpres tidak sebanding sebab hanya yang  beruang banyaklah yang diperhitungkan.

Pengawas pemilu, terutama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di berbagai tingkatan harus  bertindak tegas. Maraknya politik uang karena tindakan hukum dan sanksi nyaris minim.

Lagipula, meski aromanya menyengat politik uang sukar dibuktikan. Menjadi pekerjaan rumah penting bagi Bawaslu dan tim independen yang bertanggung jawab untuk menjerat para pelaku politik uang. Politik uang adalah noda dan noktah demokrasi sejati karena merendahkan suara rakyat hanya sekadar uang recehan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar