Pelanggaran
pada Hari Tenang
Paulus Mujiran ; Alumnus S-2 Undip,
Mantan tim seleksi Panwas Provinsi Jawa Tengah
|
SINAR
HARAPAN, 08 Juli 2014
Memasuki hari tenang 6-8 Juli 2014, dikhawatirkan banyak pihak
merajalela pelanggaran yang dilakukan kandidat capres-cawapres, tim sukses,
tim bayangan, bahkan tim yang tidak terdaftar. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan pelanggaran hari tenang dilakukan.
Pertama, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan Pilpres 2014
berlangsung satu putaran. Dengan hanya berlangsung satu putaran kedua pasang
kandidat yang berlaga dalam pilpres kali ini akan head to head dan berusaha
untuk menang. Mereka akan mengerahkan segala cara, termasuk melakukan
pelanggaran.
Kedua, Pilpres kali ini hanya diikuti dua pasang kandidat. Ini membuat
aroma persaingan kian sengit. Taruhannya kalau tidak kalah ya menang, kedua
pasang kandidat didukung pendukung masing-masing mati-matian untuk menang.
Kampanye hitam yang menghalalkan segala cara adalah cara kandidat untuk
mengalahkan saingan. Meski kampanye hitam membuat kemenangan secara tidak
terhormat, faktanya dilakukan capres-cawapres yang berlaga dalam pilpres kali
ini.
Masa tenang yang bagi pemilih untuk memantapkan dukungan dan pilihan
bagi tim sukses, pendukung, tim bayangan menjadi gerilya untuk mencari
dukungan. Tidak selesainya konsolidasi tim sukses dan kegagalan dalam
sosialisasi selama kampanye untuk meyakinkan pemilih, menyebabkan masa tenang
dipergunakan merayu pemilih.
Bentuk pelanggaran masa tenang di antaranya intimidasi atau pemaksaan
dari tim sukses dengan mendatangi rumah-rumah warga, dengan mempergunakan
kepanjangan tangan pengurus RT, RW, dusun setempat.
Dengan hanya membayar sejumlah uang kepada aparatur birokrasi tingkat
bawah ini, mereka berusaha meyakinkan
pemilih agar memilih kandidat capres tertentu. Agar gerakan ini tidak
terendus pengawas pemilu, pengurus RT, RW, dan dusun berdalih mengingatkan
warga agar datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada 9 Juli 2014. Cara
seperti ini pernah dilakukan Orde Baru dengan memanfaatkan birokrasi tingkat
bawah untuk mendukung partai tertentu.
Diperkirakan bentuk-bentuk intimidasi seperti ini masih berlangsung
dalam pilpres kali ini. Apalagi, ada bintara pembina desa (babinsa) yang
ditengarai membujuk warga untuk mendukung capres tertentu. Pelanggaran juga
bisa berbentuk politik uang. Pilpres kali ini bentuk politik uang terbagi
dua, yakni politik uang prabayar dan politik uang pascabayar.
Politik uang prabayar adalah pemberian uang atau barang yang diberikan
kandidat pasangan capres-cawapres sebelum pemilih mencoblos suara di TPS.
Biasanya pemilih diberikan barang berupa sembako, sarung, pakaian, nasi kotak,
atau uang dengan arahan agar memilih kandidat tertentu di TPS. Harapannya,
setelah diberikan barang atau uang pemilih akan mendukung kandidat yang
diusung.
Namun, kampanye yang dilakukan beberapa elemen masyarakat agar
mengambil uang atau barangnya tetapi tidak memilih orang atau partainya
rupanya cukup efektif. Pengalaman dalam pemilu legislatif meski telah
memberikan uang atau barang tidak jaminan menang. Apalagi, upaya membawa
kamera atau telepon genggam berkamera untuk memotret tanda gambar yang
dicoblos dilarang.
Kemudian dipraktikkan politik uang pascabayar. Politik uang pascabayar
adalah pemberian uang atau barang yang dilakukan tim sukses kandidat yang
berlaga setelah pemilih memberikan suaranya di TPS. Pemilih harus menunjukkan
bukti kepada tim sukses untuk mendapatkan suara.
Dikarenakan pemilih kesulitan membawa kamera atau telepon genggam
berkamera ke TPS, sobekan sisa kertas coblosan menjadi bukti untuk ditukarkan
dengan uang. Disepakati dengan tim sukses sobekan baju kotak-kotak untuk
Jokowi-JK dan sobekan baju putih bergambar Garuda merah untuk Prabowo-Hatta.
Di tengah ketatnya persaingan antarkandidat yang berlaga dalam pilpres
kali ini, segala cara akan dilakukan untuk meraih kemenangan. Apalagi, modal
yang dikeluarkan masing-masing kandidat tidaklah kecil. Berbagai pelanggaran
akan dilakukan untuk meraih simpati pemilih, termasuk politik uang.
Praktik politik uang merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan. Di
satu sisi kandidat yang berlaga bersama tim suksesnya membutuhkan kemenangan
itu secara instan. Tidak selesainya konsolidasi tim sukses membuat mereka
memilih mempraktikkan politik uang.
Uang dianggap sebagai jaminan menentukan kemenangan. Semakin banyak
uang dikeluarkan, membuat keyakinan merekalah yang akan menjadi pemenang
pertandingan. Di pihak lain, pemilih terdidik untuk pragmatis dalam setiap
event pemilihan, mulai dari kepala desa, bupati, wali kota, gubernur, hingga
presiden yang semuanya menjanjikan uang. Pihak yang memberi uang mereka
dukung, yang tidak memberi uang diabaikan. Pendidikan politik rakyat seperti
ini merusak demokrasi.
Pragmatisme kontestan yang berlaga dalam pemilihan umum membuat
kualitas demokrasi dari waktu ke waktu kian rapuh. Suara rakyat yang adalah
suara Tuhan dihargai dengan lembaran-lembaran recehan. Tak pelak aspirasi
rakyat yang terkandung dalam setiap suara yang diberikan tidak pernah menjadi
kebijakan nyata pro rakyat. Oleh karena itu, praktik politik uang harus
dihentikan agar tidak merusak kultur demokrasi yang telah dibangun susah
payah, semenjak Indonesia merdeka sampai sekarang.
Pada masa tenang ini, rakyat perlu dididik untuk tidak mudah menerima
pemberian uang atau barang yang tujuannya mendukung kandidat tertentu.
Pernyataan salah satu capres yang mengatakan, rakyat harus menerima pemberian
uang karena itu uang rakyat benar-benar menyesatkan.
Seorang pemimpin yang lahir dari
politik uang tidaklah sah dan legitimasinya diragukan. Itu sama artinya
dengan membeli kekuasaan. Politik uang membuat irama permainan dalam Pilpres
tidak sebanding sebab hanya yang
beruang banyaklah yang diperhitungkan.
Pengawas pemilu, terutama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di berbagai
tingkatan harus bertindak tegas.
Maraknya politik uang karena tindakan hukum dan sanksi nyaris minim.
Lagipula, meski aromanya menyengat politik uang sukar dibuktikan.
Menjadi pekerjaan rumah penting bagi Bawaslu dan tim independen yang
bertanggung jawab untuk menjerat para pelaku politik uang. Politik uang
adalah noda dan noktah demokrasi sejati karena merendahkan suara rakyat hanya
sekadar uang recehan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar