Jumat, 11 Juli 2014

Pangan, Energi & Lingkungan

                                  Pangan, Energi & Lingkungan

Arif Satria  ;   Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI)
KORAN SINDO, 08 Juli 2014
                                                


Pada 5 Juli 2014 dilangsungkan debat capres-cawapres tentang pangan, energi, dan lingkungan. Ini debat terakhir sekaligus terlama sehingga menjadi kesempatan menggali lebih jauh bagaimana visi mereka tentang isu-isu tersebut. Bagaimana jawaban para capres-cawapres terhadap pertanyaan moderator?

 Lima Catatan Debat

Ada sejumlah catatan isi perdebatan dari segmen pertama hinggaterakhir. Pertama, duapasangan mengusung ide kemandirian pangan. Namun, yang absen dalam penyampaian visi-misi mereka adalah bagaimana mereka menyikapi tantangan eksternal. Tantangan eksternal yang penting dicermati adalah sebenarnya negara-negara maju yang tergabung dalam OECD telah merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia agar tidak perlu mencapai swasembada pangan.

Menurut OECD, liberalisasi perdagangan merupakan instrumen untuk saling mencukupi kebutuhan. Dengan skenario OECD tersebut, Indonesia tidak perlu swasembada beras, sapi, garam, kedelai, jagung, dan ikan. Di sinilah sebenarnya kekuatan tawar kepemimpinan nasional menghadapi dunia eksternal diuji. Tentu publik menunggu jawaban dari dua pasangan capres-cawapres untuk menyikapi tantangan tersebut.

Beranikah mereka mengatakan ”tidak” kepada negaranegara maju yang selama ini berusaha menciptakan ketergantungan kita pada mereka? Jawaban ini sebenarnya penting untuk mengukur kekuatan kepemimpinan. Kedua, pada 2015 sudah ada tantangan di depan mata yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan meliberalisasi produk-produk pangan antarnegara di ASEAN. Isu eksternal ini juga luput dari perhatian para capres. Padahal publik menunggu resep jitu bagaimana strategi melindungi petani dan nelayan menghadapi perdagangan bebas antaranegara ASEAN ini.

Pemikiran untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tentu perlu, namun hal tersebut tidak bisa dicapai dalam setahun ini. Yang diperlukan adalah strategi jangka pendek untuk melindungi petani dan nelayan yang harus menghadapi gempuran produk impor tahun depan. Ikan patin Thailand bisa dijual Rp7.500/ kg, sementara biaya produksi patin di Indonesia bisa mencapai Rp7.500/kg sehingga harus menjual dengan harga Rp9.000 ke atas.

Apakah patin kita bisa bersaing dengan Thailand? Mestinya mereka sudah memetakan produk pangan mana yang sudah bisa bersaing dan produk mana yang belum sehingga strateginya pun bisa bervariasi. Ketiga, ketika ditanya tentang bagaimana harmonisasi antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, keduanya terperangkap pada aliran modernisasi ekologi (ecological modernization).

Prabowo misalnya menyalahkan pertumbuhan penduduk sebagai biangnya. Pertumbuhan penduduk dianggapnya beban bagi lingkungan karena menyebabkan daya dukung lingkungan makin menipis. Pemikiran Prabowo seperti itu tergolong aliran Malthusian. Sementara Jusuf Kalla (JK) menekankan pentingnya teknologi untuk menyelesaikan dilema pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. Sudah banyak ditemukan teknologi ramah lingkungan.

Pemikiran JK ini tergolong aliran Eco-developmentalism. Baik Malthusian maupun Ecodevelopmentalism merupakan turunan dari aliran modernisasi ekologi. Dua pendekatan tersebut tidak salah dan selama ini memang mendominasi pemikiran lingkungan di dunia. Namun, mestinya dilengkapi dengan pandangan struktural bahwa sebenarnya isu penting kerusakan lingkungan adalah ketimpangan akses antarpelaku terhadap sumber daya alam.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama ini didominasi pelaku besar yang awalnya dibayangkan akan ada penetesan ke bawah ternyata tidak terjadi. Malah yang terjadi adalah ketimpangan dan angka rasio gini yang mencapai 0,43 adalah buktinya. Artinya, pertumbuhan tidak disertai pemerataan akses. Tingkat kerusakan lingkungan justru terjadi umumnya pada usaha skala besar dan pada saat itu pula penegakan hukum belum maksimal.

Ini seperti pemikiran Forsyth yang mengatakan bahwa orang kaya menggunakan sumber daya lebih besar sehingga memberikan dampak lingkungan lebih besar dari orang miskin. Rakyat kesulitan mendapat akses untuk memanfaatkan sekaligus mengelola sumber daya. Dengan demikian, tidak hanya solusi teknis yang mestinya ditawarkan, tetapi juga solusi struktural seperti distribusi akses serta penegakan hukum lingkungan.

Keempat, debat capres-cawapres terakhir ternyata bias darat. Dua pasangan sama sekali tidak menyentuh laut sebagai sumber pangan (protein hewani) yang penting untuk peningkatan kualitas gizi kita. Bila ikan dibicarakan, secara otomatis akan dibicarakan juga terumbu karang, kualitas air, bakau, serta pengaturan tata ruang laut sebagai instrumen penting dalam menjaga lingkungan laut. Ikan sangat bergantung pada lingkungan tersebut. Dengan demikian, bicara pangan yang bersumber dari laut secara otomatis akan mengait ke isu lingkungan.

Begitu pula laut sebagai sumber energi tidak disentuh. Padahal ketika membicarakan sumber energi terbarukan, laut menyimpan potensi yang sangat besar dengan mikroalganya. Dengan laut yang sangat luas, kita tidak terlalu sulit untuk mengupayakan energi terbarukan dari laut.

Kelima, sementara untuk menjawab pertanyaan moderator tentang ada potensi persaingan antara pangan dan energi dalam merebut lahan baik di darat maupun di laut, kuncinya tata ruang. Nah, bayangkan selama ini tata ruang pesisir dan laut—meski sudah diupayakan melalui UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil—ternyata belum tercipta dengan baik.

Ini karena daerah sebagai ujung tombak tata ruang pesisir belum melaksanakan UU tersebut. Berapa banyak kabupaten yang sudah memiliki rencana zonasi? Tentu tidak sampai 5%. Ini mesti menjadi perhatian capres, bagaimana mengendalikan daerah agar bisa taat pada UU

Kerangka Eksekusi

Memang debat terakhir sangat menarik sehingga publik bisa menilai visi dan programprogram yang akan dilaksanakan para capres-cawapres bila mereka terpilih. Namun, yang penting, bukanlah visi dan gagasan tentang program-programnya, melainkan bagaimana kerangka eksekusinya. Pak SBY memiliki program yang sangat baik yakni Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) pada 2005-an.

Apa hasilnya? Publik tidak bisa melihat hasilnya di lapangan karena RPPK sangat bagus pada tataran konsep, namun kurang pada kerangka eksekusinya. Semoga kita tidak mengulang ihwal seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar