Pangan,
Energi & Lingkungan
Arif Satria ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Ketua
Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI)
|
KORAN
SINDO, 08 Juli 2014
Pada 5 Juli 2014 dilangsungkan debat capres-cawapres tentang pangan,
energi, dan lingkungan. Ini debat terakhir sekaligus terlama sehingga menjadi
kesempatan menggali lebih jauh bagaimana visi mereka tentang isu-isu
tersebut. Bagaimana jawaban para capres-cawapres terhadap pertanyaan
moderator?
Lima Catatan Debat
Ada sejumlah catatan isi perdebatan dari segmen pertama hinggaterakhir.
Pertama, duapasangan mengusung ide kemandirian pangan. Namun, yang absen
dalam penyampaian visi-misi mereka adalah bagaimana mereka menyikapi
tantangan eksternal. Tantangan eksternal yang penting dicermati adalah
sebenarnya negara-negara maju yang tergabung dalam OECD telah
merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia agar tidak perlu mencapai
swasembada pangan.
Menurut OECD, liberalisasi perdagangan merupakan instrumen untuk saling
mencukupi kebutuhan. Dengan skenario OECD tersebut, Indonesia tidak perlu
swasembada beras, sapi, garam, kedelai, jagung, dan ikan. Di sinilah
sebenarnya kekuatan tawar kepemimpinan nasional menghadapi dunia eksternal
diuji. Tentu publik menunggu jawaban dari dua pasangan capres-cawapres untuk
menyikapi tantangan tersebut.
Beranikah mereka mengatakan ”tidak” kepada negaranegara maju yang
selama ini berusaha menciptakan ketergantungan kita pada mereka? Jawaban ini
sebenarnya penting untuk mengukur kekuatan kepemimpinan. Kedua, pada 2015
sudah ada tantangan di depan mata yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang
akan meliberalisasi produk-produk pangan antarnegara di ASEAN. Isu eksternal
ini juga luput dari perhatian para capres. Padahal publik menunggu resep jitu
bagaimana strategi melindungi petani dan nelayan menghadapi perdagangan bebas
antaranegara ASEAN ini.
Pemikiran untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tentu perlu,
namun hal tersebut tidak bisa dicapai dalam setahun ini. Yang diperlukan
adalah strategi jangka pendek untuk melindungi petani dan nelayan yang harus
menghadapi gempuran produk impor tahun depan. Ikan patin Thailand bisa dijual
Rp7.500/ kg, sementara biaya produksi patin di Indonesia bisa mencapai
Rp7.500/kg sehingga harus menjual dengan harga Rp9.000 ke atas.
Apakah patin kita bisa bersaing dengan Thailand? Mestinya mereka sudah
memetakan produk pangan mana yang sudah bisa bersaing dan produk mana yang
belum sehingga strateginya pun bisa bervariasi. Ketiga, ketika ditanya
tentang bagaimana harmonisasi antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan,
keduanya terperangkap pada aliran modernisasi ekologi (ecological modernization).
Prabowo misalnya menyalahkan pertumbuhan penduduk sebagai biangnya.
Pertumbuhan penduduk dianggapnya beban bagi lingkungan karena menyebabkan
daya dukung lingkungan makin menipis. Pemikiran Prabowo seperti itu tergolong
aliran Malthusian. Sementara Jusuf Kalla (JK) menekankan pentingnya teknologi
untuk menyelesaikan dilema pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. Sudah banyak
ditemukan teknologi ramah lingkungan.
Pemikiran JK ini tergolong aliran Eco-developmentalism.
Baik Malthusian maupun Ecodevelopmentalism
merupakan turunan dari aliran modernisasi ekologi. Dua pendekatan tersebut
tidak salah dan selama ini memang mendominasi pemikiran lingkungan di dunia.
Namun, mestinya dilengkapi dengan pandangan struktural bahwa sebenarnya isu
penting kerusakan lingkungan adalah ketimpangan akses antarpelaku terhadap
sumber daya alam.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama ini didominasi pelaku besar yang
awalnya dibayangkan akan ada penetesan ke bawah ternyata tidak terjadi. Malah
yang terjadi adalah ketimpangan dan angka rasio gini yang mencapai 0,43
adalah buktinya. Artinya, pertumbuhan tidak disertai pemerataan akses.
Tingkat kerusakan lingkungan justru terjadi umumnya pada usaha skala besar
dan pada saat itu pula penegakan hukum belum maksimal.
Ini seperti pemikiran Forsyth yang mengatakan bahwa orang kaya
menggunakan sumber daya lebih besar sehingga memberikan dampak lingkungan
lebih besar dari orang miskin. Rakyat kesulitan mendapat akses untuk
memanfaatkan sekaligus mengelola sumber daya. Dengan demikian, tidak hanya
solusi teknis yang mestinya ditawarkan, tetapi juga solusi struktural seperti
distribusi akses serta penegakan hukum lingkungan.
Keempat, debat capres-cawapres terakhir ternyata bias darat. Dua
pasangan sama sekali tidak menyentuh laut sebagai sumber pangan (protein
hewani) yang penting untuk peningkatan kualitas gizi kita. Bila ikan
dibicarakan, secara otomatis akan dibicarakan juga terumbu karang, kualitas
air, bakau, serta pengaturan tata ruang laut sebagai instrumen penting dalam
menjaga lingkungan laut. Ikan sangat bergantung pada lingkungan tersebut.
Dengan demikian, bicara pangan yang bersumber dari laut secara otomatis akan
mengait ke isu lingkungan.
Begitu pula laut sebagai sumber energi tidak disentuh. Padahal ketika
membicarakan sumber energi terbarukan, laut menyimpan potensi yang sangat
besar dengan mikroalganya. Dengan laut yang sangat luas, kita tidak terlalu
sulit untuk mengupayakan energi terbarukan dari laut.
Kelima, sementara untuk menjawab pertanyaan moderator tentang ada
potensi persaingan antara pangan dan energi dalam merebut lahan baik di darat
maupun di laut, kuncinya tata ruang. Nah, bayangkan selama ini tata ruang
pesisir dan laut—meski sudah diupayakan melalui UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau kecil—ternyata belum tercipta dengan baik.
Ini karena daerah sebagai ujung tombak tata ruang pesisir belum
melaksanakan UU tersebut. Berapa banyak kabupaten yang sudah memiliki rencana
zonasi? Tentu tidak sampai 5%. Ini mesti menjadi perhatian capres, bagaimana
mengendalikan daerah agar bisa taat pada UU
Kerangka
Eksekusi
Memang debat terakhir sangat menarik sehingga publik bisa menilai visi
dan programprogram yang akan dilaksanakan para capres-cawapres bila mereka
terpilih. Namun, yang penting, bukanlah visi dan gagasan tentang
program-programnya, melainkan bagaimana kerangka eksekusinya. Pak SBY
memiliki program yang sangat baik yakni Revitalisasi Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan (RPPK) pada 2005-an.
Apa hasilnya? Publik tidak bisa melihat hasilnya di lapangan karena
RPPK sangat bagus pada tataran konsep, namun kurang pada kerangka
eksekusinya. Semoga kita tidak mengulang ihwal seperti ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar