Ibu-Ibu
di Garis Depan
Mohamad Sobary ; Budayawan
|
KORAN
SINDO, 08 Juli 2014
Semen Indonesia, wakil dunia kapitalis dan simbol kekuasaan besar, di
mana nama pemerintah terdapat di dalamnya, jelas memancarkan wibawa besar dan
bisa menakutkan.
Tapi, ini kurun zaman baru, zaman sesudah reformasi, zaman terbuka
lebar. Informasi terbuka, sikap manusia terbuka, keberanian terbuka, dan
kesiagaan membela hak-hak hidup masyarakat pun terbuka. Orang tetap takut
pada tekanan, cemas pada intimidasi, dan teror, tetapi di zaman terbuka ini
orang berani menegaskan sikap secara terbuka pula untuk menyatakan bahwa
dengan senjata kebenaran orang tak lagi takut pada siapa pun.
Begitu juga ibu-ibu, kaum perempuan di dalam masyarakat kaum tani, di
perbatasan antara Rembang dan Blora. Mereka maju ke garis terdepan menghadapi
otoritas pabrik yang bersikap otoriter. Ketika urusan belum lagi jelas,
kesepakatan belum tercapai, tapi pihak pabrik sudah nekat menetapkan secara
sepihak wilayah pabrik dan titik operasionalnya sambil mengancam tuan rumah
yaitu para petani pemilih tanah dan pemilik kehidupan yang hendak dipindahkan
secara semena- mena itu.
Di sana ada suatu jenis ”perampokan”. Suasana tegang bulan lalu itu, di
mana banyak ibu-ibu digebuki aparat keamanan yang dibayar pabrik, ketegangan
belum lenyap. Ibu-ibu tak gentar menghadapi kekerasan. Ya, siapa pun takut
menghadapi situasi genting macam itu. Tapi, ibu-ibu yang terluka tubuh maupun
hatinya kelihatannya maju terus. Seolah berteriak seperti dalam sajak Chairil
Anwar, Diponegoro: ”tak gentar, lawan seratus kali banyaknya”. Memang tak
gentar dan tak perlu gentar.
Ibu-ibu ini tahu karena mereka
bagian dari ”dunia pesantren” bahwa dalam perang demi perangnya dulu,
Rasulullah selalu maju kemedan dengan jumlah tentara lebih kecil dari tentara
musuh. Tapi, Rasulullah, seperti ibu-ibu ini, bersenjata kebenaran.
Rasulullah yang mulia itu ibaratnya ”ditemani” secara langsung oleh Allah
sendiri. Apa yang ditakuti dalam suasana kejiwaan sepeti itu? Ibu-ibu yang
ada di garis terdepan jangan pernah lupa dalam Mahabarata yang dahsyat itu
peperangan juga tidak adil.
Secara khusus itu perang saudara, lima orang Pandawa melawan seratus
orang Kurawa. Lima melawan seratus. Kecuali itu, di pihak Kurawa yang seratus
orang banyaknya itu terdapat partai koalisi yang terdiri atas raja-raja
seribu negara. Betapa besar kekuatan mereka. Tapi, kebenaran, biarpun harus
pontang-panting lebih dulu, tak bisa dikalahkan. Lima orang itu bisa
menggempur kekuatan seratus orang.
Perhitungan matematik, kalkulasi rasional dalam perang modern, dan apa
pun yang gagah dalam uluran ”jumlah”, tampaknya tak berarti. Seratus orang
binasa. Lima orang jaya. Dalam kisah Ramayana, Batara Rama hanya berdua
dengan adiknya, Laksmana. Karena mereka dibantu oleh monyet-monyet dari
seluruh hutan Dhandhaka, hutan Mangliawan, dan kerajaan monyet di gua
Kiskendha, sukseslah mereka ”menggepuk” Negeri Alengka, membunuh raksasa-raksasa
tak terhitung jumlahnya, dan menamatkan riwayat raja keserakahan dan
keangkuhan, bernama Dasamuka.
Pada zaman itu orang sudah tahu, Dasamuka tak terkalahkan.
Kerajaan-kerajaan dan negeri- negeri di sekeliling Kerajaan Alengka itu siang
malam dirundung rasa cemas dan takut kalau tiba-tiba diserang Dasamuka dan
prajurit yang serakah dan angkuh itu. Keserakahan dan keangkuhan pernah
berkuasa dan sekarang pun masih tetap ingin menjadi penguasa dunia.
Pasar global, kapital global, dan kapitalis global, menjarah rayah aset
bisnis dunia. Bisnisbisnis besar, di negara-negara yang posisinya ”lokal”
diserobot. Kapital global dan kapitalis global yang tak punya wudel , tak punya hati, mencaplok
siapa saja dan apa saja yang bisa dicaplok, tak peduli bahwa itu ditempuh
dengan peperangan, pembunuhan, penghancuran, dan kebohongan-kebohongan. Ada
hukum yang mereka tetapkan sendiri bahwa yang besar harus menang, yang global
tak boleh dikalahkan oleh yang lokal.
Dalam perang bisnis mereka, pemerintah dibeli, media dibeli, pejabat
negara dibeli, tokoh masyarakat dibeli, bromocorah dan preman-preman dibeli.
Sebagian orang yang bisa dianggap sebagai ”rohaniwan” pun ada pula yang bisa
dibeli. Pemerintah dan pejabat pemerintah dibeli? Ini tak terlalu
mengherankan karena di mana pun pejabat memiliki watak seperti itu. Tapi,
orang yang dianggap ”rohaniwan” dibeli juga?
Ah, rohaniwan yang belum istikamah, yang belum ikhlas, yang belum sujud
secara hakiki, dan belum berpuasa dalam arti sebenarnya, apa anehnya bila dia
terbeli? Rohaniwan yang belum berpuasa dalam arti sebenarnya, kebutuhan
makannya banyak, kebutuhan sandangnya mahal, kebutuhan rumahnya besar dan
mewah, serta kebutuhan mobilnya, jelas sangat mahal. Puasa dalam arti
sebenarnya bukan begitu.
Mereka zuhud, hidup bersahaja, dan siap mengayom mereka yang lemah.
Ibu-ibu, Srikandi di garis depan, itu orang-orang lemah dibandingkan dengan
para jawara yang disewa pabrik. Jawara berseragam, jawara desa setempat,
jawara berseragam pejabat, dan mereka yang berjubah, yang bersurban tinggi
menjulang ke langit menantang debu, tapi yang bukan debu pabrik semen
Indonesia, jelas kekuatan dahsyat.
Tapi, apa tidak malu, kekuatan dahsyat yang begitu menggetarkan itu
hanya digunakan untuk melawan ibu-ibu? Betapa memalukannya. Polisi negara,
tentara negara, pejabat negara, semua milik negara dan misinya mengabdi
kepentingan negara. Tapi, mengapa larut dalam keserakahan global dan menjadi
wakil keangkuhan global, tanpa rasa kasihan menghadapi warga masyarakat yang
lemah, dan mudah diteror, rentan dari ancaman?
Dalam perang besar yang disebut Bharatayudha itu, Bhisma, pihak Kurawa,
tak ada yang bisa menandingi. Dia terlalu kuat, terlalu perkasa. Mustahil ada
pihak musuh, Pandawa, yang mampu mengalahkannya. Tapi, Bhisma itu pandita,
rohaniwan, pencinta kebenaran. Melihat musuhnya terlalu lemah, dia minta
pihak Pandawa mengirimkan senapati yang perkasa.
Siapa yang perkasa itu? Bukankah di Pandawa hanya ada orang-orang lemah
dibandingkan dengan kekuatan tak terhingga di dalam diri Bhisma? Orang
perkasa itu ibu-ibu, seorang puri, bernama Srikandi. Dia yang perkasa dan
bakal mampu mengalahkan Bhisma di medan Kurusetra.
Srikandi maju dan memasang panah pada busur yang dilengkungkan hingga
begitu dalam melengkung dan panah melesat cepat. Bhisma roboh. Ini orang
jujur, rohaniwan sejati, yang tahu menghargai manusia dan kemanusiaan. Dia
rela, demi kebenaran tadi, gugur, menggeletak, bermandikan darah dari
luka-lukanya sendiri. Dan dia merasa bahagia.
Dari pihak Semen Indonesia sana, siapa yang jujur? Siapa yang mewakili
dunia rohani? Siapa Bhisma mereka? Semua Kurawa, semua Dasamuka dan seluruh
raksasa jahat, prajuritprajuritnya yang tak mengenal kemanusiaan itu? Semen
Indonesia, menjarah tanah warga negara Indonesia? Ibu-ibu, Srikandi, di sana
tidak ada pandita, di sana tidak ada Bhisma.
Tapi, dengan senjata kebenaran, ibu-ibu tak gentar– sekali lagi–”lawan
seratus kali banyaknya”. Kalah-menang bukan urusan mereka. Darma hidup mereka
jelas: membela hak, mempertahankan hak. Ibu-ibu siap di garis depan, tanpa
tahu kapan ditarik ke belakang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar