Harapan
Baru, Tantangan Lama
Makmur Keliat ; Pengajar FISIP Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
10 Juli 2014
HASIL hitung cepat sampai pukul 15.00 WIB, Rabu (9/7), menunjukkan keunggulan
bagi pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014. Kecuali terjadi
sesuatu yang sangat ”spektakuler”, selisih rata-rata sebesar 5 persen telah
memberikan sinyal kepastian bahwa pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla akan
memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Tulisan berikut bertujuan untuk menyatakan bahwa kemenangan Joko
Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-JK) ini menyampaikan tidak hanya harapan, tetapi
juga tantangan.
Harapan
baru
Harapan itu pertama-tama terkait dengan perjalanan demokrasi kita.
Terlepas dari beragam kekisruhan politik dan hukum yang ada dalam 15 tahun
terakhir, demokrasi kita tampak masih memberikan sebersit harapan.
Bagaimanapun, Jokowi menyimbolkan pemimpin yang lahir dari ”rahim”
demokrasi. Jokowi tidak tercatat dalam pentas politik Indonesia sebelum
munculnya era Reformasi. Jokowi bukan siapa-siapa dalam panggung politik
Indonesia ketika Soeharto masih berkuasa.
Jokowi adalah hasil dari proses seleksi demokrasi yang dihasilkan
secara berjenjang mulai dari tingkat lokal, provinsi, hingga nasional. Jokowi
adalah personifikasi dan simbolisasi dari harapan publik bahwa orang biasa
dapat menghasilkan prestasi luar biasa.
Dalam seluruh perjalanan karier politiknya ini, credit point tentu saja
harus kita berikan kepada Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P.
Tanpa keputusan yang dibuat Megawati pada bulan Maret lalu, seluruh proses
seleksi demokratik untuk mengajukan Jokowi tentu saja tidak akan dapat
berjalan.
Pilihan pada Jokowi tampaknya dipengaruhi oleh pertimbangan khusus. Ada
kesadaran kuat bahwa kunci untuk memperjuangkan kepentingan nasional
Indonesia menghadapi abad ke-21 adalah kehadiran pemimpin nasional yang
merakyat, memiliki kredibilitas, dan satunya perkataan dengan perbuatan.
Harapan itu semakin menguat ketika kemunculan Jokowi tidak disertai
dengan melakukan pengasingan secara total generasi kepemimpinan sebelumnya.
Jusuf Kalla sebagai pasangan Jokowi adalah tokoh yang mewakili periode
sebelumnya itu. Ada keinginan yang sangat kuat untuk meletakkan tradisi baru
bahwa kepemimpinan nasional bukan ditentukan atas dasar kriteria ”tua’’ dan
”muda”, melainkan atas dasar kredibilitas, satunya kata dengan perbuatan dan
keberpihakan kepada rakyat.
Tantangan
lama
Kepemimpinan yang kredibel, berorientasi tindakan, dan merakyat tentu
saja sangat penting. Ia merupakan prasyarat awal untuk memobilisasi dukungan.
Suatu kebijakan tidak akan menjadi efektif jika pembuat kebijakan puncak,
dalam hal ini presiden, dipandang oleh publik hanya pintar berkata-kata. Namun,
harus pula kita pahami bahwa setiap kebijakan selalu berada dalam kerangka
kelembagaan yang ada.
Salah satunya yang paling penting adalah kerangka APBN kita. Kebijakan
fiskal menjadi sangat penting pula karena kebijakan moneter pasca Orde Baru tidak
lagi berada di bawah otoritas eksekutif. Karena itu, tantangan lama yang
harus dihadapi oleh Jokowi dan JK adalah menyikapi struktur fiskal yang
diwariskan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memajukan
kesejahteraan rakyat dan program pembangunan infrastruktur.
Alternatif
kebijakan
Jika kita merujuk pada struktur anggaran tiga tahun terakhir, berbagai
program pembangunan infrastruktur dan bantuan kesejahteraan yang dicanangkan
oleh pemerintah berikutnya tidaklah mudah. Ia hanya dapat direalisasikan
dengan beberapa alternatif kebijakan berikut.
Pertama, dengan mengubah struktur komposisi belanja negara tanpa
mengubah struktur pendapatannya. Ini berarti pengurangan secara drastis
subsidi (khususnya BBM dan listrik yang berada pada angka sekitar Rp 400
triliun) dan mengalihkannya ke berbagai program lain.
Istilah yang kemudian harus disebarluaskan adalah pengalihan subsidi,
bukan penghapusan subsidi. Namun, pilihan kebijakan ini tentu saja akan
dengan mudah dimanfaatkan. Pasti akan memunculkan tekanan politik parlemen,
baik formal maupun jalanan.
Harus dicatat bahwa struktur kekuatan politik kepartaian di DPR tidak
hanya menggambarkan fenomena hung parliament, yaitu tidak adanya partai
politik yang dominan. Namun, jumlah kursi partai yang mendukung Jokowi dan JK
secara numerik tertinggal dibandingkan dengan yang bukan pendukungnya.
Kedua adalah dengan mengubah struktur pendapatan negara. Artinya,
subsidi BBM dan listrik tetap dapat dilanjutkan bersamaan dengan menguatnya
program bantuan kesejahteraan.
Opsi seperti ini dimungkinkan jika terdapat peningkatan rasio pajak
terhadap produk domestik bruto (PDB). Saat ini rasio pajak terhadap PDB hanya
sekitar 12 persen. Peningkatan 2 persen rasio pajak terhadap PDB saja
diperkirakan memberikan pendapatan negara sebesar Rp 200 triliun. Apakah
peningkatan ini dimungkinkan tanpa mengubah UU Pajak?
Beberapa pihak menyatakan dimungkinkan jika diterapkan kebijakan khusus
menghadapi mafia pajak, perbaikan sistem perpajakan yang baik, misalnya dengan
mengoptimalkan praktik e-government
atau e-budgeting, serta penataan
institusi penarikan pajak dengan menempatkannya langsung di bawah presiden
dan bukan di bawah kementerian keuangan.
Ketiga adalah dengan melakukan terobosan kebijakan pengelolaan utang.
Terobosan kebijakan pengelolaan utang menawarkan dua alternatif.
Pertama, menunda pembayaran utang dan mengalihkan dana pembayaran utang
itu ke program penguatan bantuan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur.
Kedua, memperbesar utang. Pilihan ini hanya dimungkinkan jika terdapat
perubahan dalam kerangka hukum tentang defisit anggaran yang patokannya tidak
boleh melebihi angka 3 persen terhadap PDB. Beberapa negara sebenarnya telah
melakukan ini. Amerika Serikat kini hampir mencapai 8 persen dari PDB-nya.
Namun, setiap pilihan pengelolaan utang di atas bukan tanpa masalah.
Pilihan menunda pembayaran utang dapat memunculkan masalah credit-worthiness Indonesia bagi para
pelaku investor keuangan. Pilihan memperbesar utang dapat mengakibatkan
semakin tidak sehatnya struktur fiskal. Saat ini saja diperkirakan sekitar
1/7 belanja anggaran dalam APBN Indonesia dibiayai oleh utang.
Intinya adalah masih akan terdapat jalan panjang untuk mewujudkan
kesejahteraan bangsa. Satu hal yang pasti adalah modal awal—yaitu
kredibilitas, merakyat, dan berorientasi tindakan—sudah dimiliki. Barangkali
yang tertinggal, seperti yang kerap diungkapkan Jokowi, adalah kerja dan
implementasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar