Kamis, 31 Oktober 2013

Menggugat Paradigma Baru Polri

Menggugat Paradigma Baru Polri
Saharuddin Daming  ;   Dosen FH Universitas Ibnu Khaldun Bogor,
Mantan Komisioner Komnas HAM
TEMPO.CO, 31 Oktober 2013



“Ketika Hoegeng Imam Santoso diberhentikan secara mendadak oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971 karena dianggap sudah membahayakan kepentingan penguasa, sejak itu tak pernah lagi ada Kapolri yang benar-benar berjiwa kesatria dan menjunjung tinggi kejujuran serta profesionalisme Bhayangkara.”

Mencermati pelantikan Komjen Polisi Sutarman sebagai Kepala Kepolisian RI menggantikan Jenderal Polisi Timur Pradopo, 25 Oktober 2013, sejumlah pihak menaruh pesimisme dan keprihatinan. Pasalnya, Sutarman menjadi calon tunggal dari Istana. Padahal, selama memimpin Bareskrim maupun dua polda sebelumnya, tidak ada hal yang bernilai prestisius dan spektakuler. Hal ini menyiratkan kecurigaan publik bahwa pengangkatan Sutarman tersebut merupakan bagian dari mata rantai kepentingan Cikeas. Tidak salah jika majalah Tempo edisi 23 Oktober 2013 menurunkan ulasan tajam yang berjudul "Kapolri Selera Cikeas".

Hal ini semakin menebalkan keyakinan bahwa paradigma baru Polri yang menjadi jargon institusi ini pascareformasi kini semakin kabur lantaran pengangkatan Kapolri, yang menjadi lokomotif perubahan, justru dikangkangi oleh kepentingan penguasa. Ketika Hoegeng Imam Santoso diberhentikan secara mendadak oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971 karena dianggap sudah membahayakan kepentingan penguasa, sejak itu tak pernah lagi ada Kapolri yang benar-benar berjiwa kesatria dan menjunjung tinggi kejujuran serta profesionalisme Bhayangkara. Hampir semua silsilah Kapolri pasca-Hoegeng membenamkan diri dan tersandera dalam pusaran kepentingan penguasa.

Dengan konstelasi seperti itu, tantangan klasik Kapolri untuk mereformasi kultur kepolisian guna membangun kepercayaan publik sulit terwujud lantaran paradigma perubahan hanya menyentuh aspek struktural dan personal. Tengoklah citra diri polisi dewasa ini yang lekat dengan fenomena korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan aneka kriminalitas dalam menjalankan tugas. Nyaris tak ada pembenahan dari generasi ke generasi. Tak ayal lagi, sosok polisi dikesankan dalam istilah Prancis sebagai a corpse perdu, yaitu tindakan non-profesional yang terus berulang tanpa pembenahan secara nyata dan komprehensif. 

Tidak mengherankan jika performa polisi dengan kualitas seperti ini mendistorsi citra konstruktif pasukan Bhayangkara ini. Padahal, sebagai institusi negara yang berfungsi sebagai pengayom dan pelindung rakyat, polisi pertama-tama harus memulai tugasnya dengan menanamkan "mencintai kemanusiaan dan menjaga kepercayaan". 

Polisi memang dituntut untuk tegas dalam mengejawantahkan pemberantasan kriminalitas. Namun, dalam menghadapi kelompok teroris, apalagi pengunjuk rasa, polisi sangat tidak dikehendaki untuk selalu bertindak represif. Di sini aparat kepolisian harus mampu memilah dan memilih alasan kuat dengan pilar utama "pencegahan lebih baik daripada pengobatan".

Argumentasi sentral yang menjadi landasan terbitnya sikap apriori dan tidak simpatik publik di balik aksi berlebihan polisi adalah karena tindakan non-profesional polisi seperti itu sudah sangat sering terjadi. Padahal, bukankah Polri telah berkomitmen untuk berbenah diri dan membentuk citra polisi yang santun, ramah, jujur, dan profesional dalam memberikan layanan kepada masyarakat? Bahkan, sejak dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor VI dan VII/MPR/2000 dan UU Nomor 2/2002 sebagai dasar keterpisahan Polri dari TNI, korps Bhayangkara berkomitmen untuk menjauhkan diri dari kultur militeristik. 

Namun tidak dapat disangkal bahwa proses keterpisahan TNI-Polri, sebagai buah reformasi, telah menimbulkan rangkaian efek destruktif. Betapa tidak, karena konsekuensi dari proses itu memposisikan TNI harus kembali ke barak untuk berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsi pertahanan negara. Akibatnya, berbagai aktivitas bisnis yang pernah dikelola TNI juga harus dilepas dan diserahkan kepada kalangan sipil demi memenuhi tuntutan publik yang mengharamkan TNI terlibat dalam kegiatan bisnis apa pun. 

Maka, ruang-ruang kosong yang ditinggalkan TNI tersebut dijamah oleh berbagai kalangan, termasuk Polri sendiri. Sebutlah tugas pengamanan sentra-sentra usaha atau pengawalan mobilitas kepentingan bisnis, yang dulu dapat diperankan oleh anggota TNI dengan gaji yang cukup menggiurkan, kini lahan tersebut hampir dimonopoli oleh oknum Bhayangkara. Tak hanya itu, dengan kewenangan Polri sebagai penegak hukum, sejumlah oknum personel Bhayangkara dari semua tingkatan dikabarkan mempunyai rekening "gendut". 

Sebagian kekayaan itu diperoleh murni dari aktivitas bisnis, seperti Aiptu Labora Sitorus dengan rekening mencapai Rp 1 triliun lebih, sebagian lagi dicaplok dari hasil korupsi dan gratifikasi, seperti  Irjen Joko Susilo dan Komjen Suyitno Landung.  Bukan hanya itu, wewenang Polri sebagai aparat penegak hukum juga sering dieksploitasi oleh mereka sendiri dengan berbagai modus. Banyak kasus sengaja dikriminalkan secara paksa atau, sebaliknya, lebih karena ketidakcermatan atau terserempet mafia hukum. Malah belakangan ini makin menggejala sikap arogansi dari oknum anggota Polri yang dengan mudahnya mengintimidasi orang lain. 

Tak pelak lagi, selain warga masyarakat menjadi korban penganiayaan hak dan kehormatannya, oknum polisi juga tiba-tiba merasa paling berkuasa untuk melakukan penggeledahan, penahanan, penyitaan, bahkan perusakan barang milik warga dengan dalih penegakan hukum. Semua ini merupakan potret buram yang dicitrakan pasukan Bhayangkara pascareformasi.   

Tragisnya, meski terjadi resistansi publik dalam bentuk serangan secara sporadis kepada prajurit Polri belakangan ini, tak sedikit pun hal itu mengilhami petinggi Polri untuk menjadikannya sebagai momentum introspeksi dengan mempermantap paradigma baru Polri dengan mengintensifkan proses pembenahan secara menyeluruh demi mewujudkan profesionalisme Polri yang lebih nyata. Presiden pun, sebagai atasan langsung Kapolri beserta segenap elite penyelenggara negara lainnya, justru memprovokasi Polri dengan berbagai ide yang berbau konfrontatif. 

Semua itu terkesan memelihara, bahkan mensponsori, keberlanjutan konflik, tanpa sedikit pun melihat endapan borok Polri yang justru menjadi pemicu utama meningkatnya resistansi terhadap Polri. Perhatikan saja strategi penanganan Kantibmas dan penegakan hukum yang dilakukan Polri, baik dalam kasus terorisme maupun terhadap sejumlah konflik sosial masyarakat versus kaum kapitalis, Polri cenderung memihak kaum pemodal dengan tindakan represif terhadap masyarakat.      

Namun borok Polri yang sangat menyengat dan menyakiti perasaan keadilan rakyat adalah fenomena indisipliner, pelanggaran kode etik, bahkan tindak kriminal yang melibatkan sejumlah oknum anggota Bhayangkara ini. Sudah bukan rahasia lagi bahwa beberapa tempat maksiat maupun sindikat perdagangan narkoba justru di-backing, bahkan dilakukan, oleh oknum polisi yang tega menjual barang sitaan. Belum lagi tindakan amoral dan kriminal, seperti pungli, pemerasan, selingkuh, sogok-menyogok dan lain-lain. Sampai di sini, kita patut menggugat janji tentang paradigma baru Polri yang semakin kehilangan arah dan tujuan. 

Kongres (Prihatin) Bahasa Indonesia

Kongres (Prihatin) Bahasa Indonesia
Bandung Mawardi  ;   Koordinator Sidang Umum Bahasa Indonesia di Solo - Oktober 
TEMPO.CO, 31 Oktober 2013



Tugas menteri adalah berpidato. Mohammad Nuh pun berpidato dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Jakarta, 28-31 Oktober 2013. Isi pidato: "Penguasaan bahasa Indonesia masih memprihatinkan" (Koran Tempo, 29 Oktober 2013). Kalimat ini ditujukan kepada kalangan siswa akibat nilai ujian bahasa Indonesia rendah saat pelaksanaan Ujian Nasional 2012, kalah oleh nilai ujian bahasa Inggris. Anjuran sang menteri mengarah ke perbaikan dan penguatan kompetensi para guru bahasa Indonesia. 

Kita mengerti bahwa isi pidato sang menteri membuktikan keprihatinan atas nasib bahasa Indonesia. Guru dan siswa jadi alasan keprihatinan. Lo! Keprihatinan itu mendapat imbuhan penjelasan dari pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: "… Kita berharap bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di rumah sendiri" (Kompas, 29 Oktober 2013). Urusan bahasa di Indonesia bagi para pejabat adalah keprihatinan. Mereka sering mengabarkan hal-hal sedih dan buruk.

Urusan bahasa Indonesia tak cuma kalimat-kalimat berisi keprihatinan berkaitan dengan fakta-fakta di dunia pendidikan. Barangkali para pejabat Indonesia memang menampilkan diri sebagai pengamat, berkepentingan memberi komentar-komentar. Mereka tampak tak bergairah membuat kebijakan-kebijakan untuk merampungkan pelbagai persoalan. Pidato menjadi penting, meski klise. Mereka pun memilih kata-kata agar memberi kesan sebagai tokoh otoritatif.

Kita mesti menengok sejarah, membuka halaman-halaman lama tentang nasib bahasa Indonesia di dunia pendidikan. Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo (1938) memberikan keterangan: "Oentoek keperloean pergoeroean, perloelah poela diadakannja kitab-kitab oleh kaoem ahli, jang disandarkan pada peroebahan-peroebahan sifat dan bentoek bahasa baroe itoe, agar sekalian goeroe dan sekalian pergoeroean bangsa kita tiada berbeda dalam menjoesoennja pengadjaran bahasa Indonesia itoe." Puluhan tahun silam, Ki Hadjar Dewantara telah memiliki kesadaran kritis tentang ikhtiar penggunaan bahasa Indonesia di dunia pendidikan, bermisi pembentukan identitas, capaian pengetahuan, dan kemodernan.

Ki Hadjar Dewantara memperkarakan "kitab-kitab oleh kaoem ahli". Nasib bahasa Indonesia memang ditentukan oleh kompetensi penulis "kitab" atau buku pelajaran. Ingatan kita bergerak ke masa 1930-an sampai 1960-an. Pelbagai buku pelajaran dan bacaan diterbitkan, digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah. Para ahli turut menulis, mengamalkan pengetahuan bahasa Indonesia demi kemajuan dunia pendidikan. Kita mengingat peran Sutan Takdir Alisjahbana, W.J.S. Poerwadarminta, Sutan Muhammad Zain. Mereka memberi kontribusi besar dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Kita pun ingat, buku pelajaran dan buku bacaan di masa lalu menggunakan judul-judul naif, mengesankan ada keriangan dan penghiburan hati dalam belajar. Sekian contoh judul: Pantjaran Bahagia, Taman Bahasa Indonesia, Mawar Merah, Matahari Terbit. Perubahan judul dan materi buku mulai terjadi sejak masa Orde Baru, masa berdalil pembangunan. Judul-judul buku mengesankan formalitas dan berat. Murid-murid di SD sampai SMA pun disuguhi materi-materi cenderung ke kebahasaan ketimbang sastra dan adab. Belajar bahasa selalu berurusan dengan cara membuat kalimat atau paragraf, meminggirkan keriangan saat belajar. 

Bahasa Indonesia di dunia pendidikan selalu menjadi persoalan besar. J.S. Badudu dalam Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta (1978) menjelaskan ihwal keluhan dan protes dari publik atas kualitas penggunaan bahasa Indonesia di pelbagai buku pelajaran. Urusan bahasa Indonesia tak cuma di buku pelajaran bahasa Indonesia. J.S. Badudu mengingatkan bahwa kemampuan dan penguasaan bahasa Indonesia juga harus merujuk ke penggunaan bahasa Indonesia di pelbagai buku pelajaran: matematika, IPA, IPS, sejarah, PMP. 

Kita berharap Mohammad Nuh memberikan keterangan lanjutan mengenai keprihatinan penguasaan bahasa Indonesia di kalangan guru dan murid. Urusan tidak melulu di buku pelajaran bahasa Indonesia atau nilai ujian bahasa Indonesia. Sang menteri mesti mengevaluasi penerbitan pelbagai buku pelajaran, meneliti kualitas penggunaan bahasa Indonesia. Kita pun insaf, sang menteri berpandangan sempit mengenai bahasa Indonesia, cenderung mengarah ke nilai ujian dan pelajaran bahasa Indonesia. Aduh!

Para pejabat dan kita sering melupakan episode-episode sejarah, berkaitan dengan Kongres Bahasa Indonesia dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pendidikan oleh pemerintah, dari masa ke masa. Kita menduga para pejabat dan peserta di Kongres Bahasa Indonesia X lupa akan hasil-hasil kongres di masa lalu. Mereka tentu cenderung mengurusi hal-hal mutakhir, tanpa harus mengaitkannya dengan sejarah. Bahasa Indonesia memang terus bergerak dan berubah, tapi memiliki acuan-acuan di masa silam.

Pembelajaran bahasa Indonesia semakin bermasalah saat pemerintah melaksanakan Kurikulum 2013. Bahasa Indonesia adalah nilai ujian. Pemerintah ingin ada peningkatan nilai, bukti dari peningkatan pengetahuan murid. Nilai digunakan untuk meramalkan masa depan. Bahasa Indonesia tampil sebagai angka, dihitung oleh pemerintah demi kualitas pendidikan. Kegagalan mencantumkan angka keberhasilan pasti membuat para pejabat berpidato dengan kalimat-kalimat berisi keprihatinan. Kongres Bahasa Indonesia X dianggap oleh para pejabat sebagai momentum perbaikan. Mereka ingin memperbaiki penguasaan bahasa Indonesia di dunia pendidikan. Kita justru ingin memperbaiki kemampuan berbahasa dan kebijakan bahasa dari pemerintah. Mereka sering keliru memahami persoalan-persoalan bahasa Indonesia. Pemerintah selalu prihatin. Kita mesti membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan W.J.S Poerwadarminta untuk mengetahui arti prihatin: "bersedih hati atau mengusahakan dirinja supaja dapat mengatasi kesukaran." Kita ingin ikut prihatin bersama pemerintah? 

Nepotisme, Kroniisme, Dinasti

Nepotisme, Kroniisme, Dinasti
Ignas Kleden   Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
KOMPAS, 31 Oktober 2013


Dalam tinjauan moral dan hukum, korupsi dan segala variannya adalah praktik yang harus ditolak dalam politik yang sehat dan demokratis. Namun, secara sosiologis meluasnya korupsi membawa suatu akibat yang menguntungkan bagi tegaknya public good governance karena bersama dengan terungkapnya kasus korupsi-korupsi besar, tersingkap juga berbagai konspirasi politik dalam bentuk nepotisme yang pada giliran berikutnya melahirkan kroniisme.

Ada persamaan dan perbedaan di antara nepotisme dan kroniisme sebagai praktik dalam birokrasi. Dua praktik itu mempunyai kesamaan bahwa penempatan seseorang dalam birokrasi tidak didasarkan pada kompetensi teknis, tetapi pada faktor-faktor nonteknis. Bedanya, dalam nepotisme, posisi dalam birokrasi ditentukan oleh hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, sedangkan dalam kroniisme posisi itu ditentukan oleh hubungan perkoncoan. Dinasti politik merupakan gejala nepotisme, yang dalam perkembangannya akan menciptakan kroniisme.

Dalam organisasi yang baik, nepotisme dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Namun, mengapa menyimpang? Ada pertanyaan kritis menyangkut soal ini yang patut mendapat perhatian. Apa dasarnya bahwa kalau saya menjadi gubernur, saudara-saudara saya tidak boleh bekerja dalam kantor gubernur, sekalipun mereka terbukti sanggup? Kalau mereka sudah melewati semua tes seleksi dengan benar dan lulus tes tersebut, mengapa mereka tak boleh mendapat pekerjaan dan posisi yang mereka kehendaki? 

Melarang mereka bekerja dalam kantor gubernur hanya karena mereka adalah sanak dan kerabat gubernur, bukankah itu suatu diskriminasi? Selayaknya mereka diterima bekerja sampai terbukti bahwa hubungan kekeluargaannya dengan gubernur membuat mereka melakukan penyimpangan dalam tugas, atau tidak bekerja efektif sebagaimana dituntut oleh tugasnya.

Kiranya jelas bahwa argumen seperti itu didasarkan pada asas nondiskriminasi dan asas praduga tak bersalah. Kita tahu juga bahwa praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku dalam pengadilan. Namun, birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi bukanlah pengadilan. Di sini yang perlu dilakukan adalah mencegah kemungkinan dan memperkecil kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, yang harus berlaku dalam organisasi dan manajemen bukanlah asaspresumption of innocence atau praduga tak bersalah, tetapi asas presumption of fallibility atau praduga tentang kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan kesalahan karena ketiadaan kontrol. Seorang bos di kantor sebaiknya memercayai semua stafnya. Namun tak berarti lemari besi yang berisi uang kantor boleh dibiarkan tidak terkunci karena sangat besar kemungkinan uang itu menimbulkan godaan untuk diambil.

Rupanya ini juga pertimbangannya mengapa suami-istri tidak diperbolehkan bekerja dalam kantor bank yang sama karena diandaikan bahwa hubungan yang amat dekat antara suami dan istri akan mempersulit terjaganya kerahasiaan bank, yang dapat merugikan kepentingan nasabah serta merugikan reputasi dan kredibilitas bank tersebut. Kalau salah satu dari pasangan suami-istri itu ditolak oleh bank untuk bekerja di bank itu, walaupun yang bersangkutan sudah lulus tes seleksi dengan baik, kebijakan ini bukanlah suatu tindakan diskriminatif, tetapi tindakan preventif untuk mencegah pelanggaran kerahasiaan bank, yang besar kemungkinan akan terjadi, kalau ada hubungan personal yang terlalu dekat di antara karyawan seperti antara suami dan istri. Dalam hal ini, kalau harus ditunggu dulu sampai ada bukti terjadinya pelanggaran kerahasiaan bank, maka situasinya sudah terlambat, dan baik bank maupun nasabah sudah telanjur dirugikan.

Selain itu, cukup terbukti dalam beberapa kasus di Indonesia bahwa hubungan yang terikat oleh faktor kekeluargaan cenderung menjadi tertutup dan eksklusif, terutama apabila para kerabat itu sudah terlibat dalam penyelewengan dan pelanggaran hukum. Ketertutupan itu mempersulit transparansi dan akuntabilitas. Juga menjadi penghambat bagi monitoring dan pengawasan. Akibatnya, penyelewengan dan pelanggaran hukum yang terjadi akan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dan merugikan kepentingan publik secara akumulatif.

Memperlemah birokrasi

Contoh ini memperlihatkan bahwa asas presumption of innocence tidak selalu tepat diterapkan di luar pengadilan, seperti juga asas presumption of fallibility tidak akan dibenarkan diterapkan di pengadilan. Di sini kita bisa berkata bahwa kebijaksanaan tercapai kalau kita berpegang pada asas right principle in the right place atau asas yang benar harus diterapkan di tempat yang benar. Inilah pertimbangan utama bahwa nepotisme dianggap praktik yang merugikan birokrasi dan manajemen karena hadirnya terlalu banyak kaum kerabat dalam birokrasi akan memperlemah sifat birokrasi yang seharusnya impersonal. 

Kita tahu pemerintahan dan birokrasi pemerintahan adalah lembaga publik, yang harus bertanggung jawab atas kepentingan umum melalui kebijakan-kebijakan publik. Karena itu, sifat publik dari jabatan-jabatan pemerintahan perlu dijaga agar tidak dipersulit oleh hubungan-hubungan yang terlalu personal, yang menjadi ciri pemerintahan patrimonial zaman baheula.

Kroniisme juga kadang kala dibela dengan jalan pikiran yang sama. Argumennya, kalau kita memulai suatu usaha, lebih baik memulainya bersama orang-orang yang sudah kita kenal, atau dengan teman-teman yang sudah saling tahu, daripada langsung mengajak orang-orang yang baru saja dijumpai dalam wawancara untuk perekrutan staf. Orang-orang yang sudah dikenal dan teman-teman dekat lebih mudah diramalkan perilakunya, dapat diperkirakan reaksinya dalam menerima usul atau suatu rencana kerja.

Hal-hal ini lebih sulit kalau kita langsung bekerja dengan orang-orang baru karena belum ada pegangan tentang bagaimana mengantisipasi sikap mereka terhadap teguran, peringatan, atau disiplin kantor yang hendak diterapkan. Di sini kita berhadapan dengan tingkat ketidakpastian yang terlalu tinggi, yang akan menyulitkan proses pengambilan keputusan dan menghambat juga implementasi keputusan yang sudah diambil.

Sebaiknya diperjelas di sini bahwa sekelompok orang dengan semangat yang sama dan visi yang sama memang lebih mudah menjalankan suatu usaha bersama, seperti mendirikan koran atau majalah, membangun sekolah, perguruan tinggi, mengelola sebuah klub sepak bola yang profesional, atau membangun sebuah perusahaan bisnis. Dalam situasi semacam itu, orang-orang yang saling mengenal ini tidak dapat dinamakan kroni, tetapi rekan kerja yang kompak yang dipersatukan oleh suatu komitmen yang sama. Perbedaan di antara teamwork dengan kroniisme ialah bahwa yang pertama bekerja untuk kepentingan usaha bersama dengan SOP yang jelas, sedangkan yang kedua bekerja untuk kepentingan dan keuntungan sekelompok orang dalam usaha bersama itu, berdasarkan favoritisme pemimpin kelompok. Kroniisme baru terjadi kalau segelintir orang dari mereka yang telah memulai usaha bersama mendapat dan menikmati keuntungan khusus yang tidak dibagikan kepada rekan-rekan lainnya. Dengan demikian, kroniisme selalu berdiri di atas suatu in-group yang menutup diri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompoknya, dan tidak memperjuangkan kepentingan bersama, tetapi membela suatu egoisme kelompok secara eksklusif.

Dalam politik, kroniisme seperti ini tidak saja menguasai sumber daya ekonomi, tetapi juga sumber daya politik yang berhubungan dengan akses kepada sumber daya ekonomi, dan cenderung berkembang menjadi suatu oligarki dalam pemerintahan. Memang, setiap oligarki selalu dapat berdalih bahwa meskipun kekuasaan ekonomi dan politik hanya ada pada beberapa orang, mereka tetap saja bekerja untuk kepentingan rakyat dan memperjuangkan kemajuan umum. Dalih seperti ini, seandainya pun benar terwujud dalam kenyataan (suatu yang hampir tak mungkin terjadi), secara prinsipiil tidak dapat diterima asas demokrasi. Karena rakyat tidak cukup hanya dijadikan obyek kebaikan dan kemurahan hati melalui kerja yang dilaksanakan ”untuk rakyat”. Prinsip demokrasi menetapkan bahwa rakyat adalah subyek kekuasaan politik dalam pemerintahan, malah subyek yang terpenting, dan hal ini harus diperlihatkan dalam pemerintahan ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” dan bukan saja dalam pemerintahan ”untuk rakyat”.

Dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia saat ini, dapat disaksikan bahwa asas ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” lebih sering disimulasikan dalam demokrasi prosedural melalui institusi-institusi politik, sementara pemerintahan ”untuk rakyat” cenderung diabaikan, khususnya melalui nepotisme dan kroniisme dalam politik.

Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa kita sulit mengambil langkah-langkah untuk menentang praktik nepotisme saat ini karena belum ada undang-undang yang melarang praktik nepotisme. Pada hemat saya, keberatan semacam ini tidak mengimplikasikan bahwa nepotisme tidak bisa ditentang, tetapi justru menunjukkan belum lengkapnya sistem hukum kita.

Legislasi yang mempersulit

Pengalaman politik dalam masa pasca-Reformasi memberi beberapa contoh bahwa beberapa praktik yang tadinya dilakukan secara meluas, seperti pemberian hadiah besar-besaran kepada seorang atasan dalam birokrasi pada kesempatan tertentu (seperti pernikahan anaknya, atau hari raya), lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa sengaja hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang menerima tidak dapat bersikap correct dalam jabatannya. Sekarang ini hal itu sudah sulit dilakukan karena sudah ada UU yang melarang gratifikasi semacam itu. Nepotisme jelas merugikan kehidupan politik dan praktik demokrasi karena beberapa kecenderungan dalam wataknya. 

Sifat eksklusif nepotisme mempersulit terciptanya tata kelola yang baik (good governance) karena kelompok yang mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup, serta tidak mudah dimonitor dan diawasi. Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip equal opportunity atau kesempatan yang sama untuk melakukan partisipasi politik secara terbuka karena peran-peran tertentu dalam pemerintahan sudah diblokir untuk anggota in-group yang menikmati hak-hak istimewa.


Dengan tertutupnya partisipasi politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok nepotisme, baik birokrasi maupun politik Indonesia tidak akan mendapat tenaga-tenaga terbaik dalam menjalankan tugas karena mereka sudah tersingkir secara alamiah dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup. Selain itu, nepotisme akan terus berusaha melestarikan vested interest  kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan umum. Kekayaan yang ekstrem dari sekelompok orang dan kemiskinan ekstrem dari banyak orang merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dalam suatu negara yang beradab. Mungkin sudah saatnya perlu disusun legislasi yang akan mempersulit praktik nepotisme, kroniisme, dan dinasti politik dalam pemerintahan karena ini langkah pertama yang efektif menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi alasan satu-satunya bahwa ada, mengapa harus ada, negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. 

Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan Nasional
Surya Candra Surapaty   Anggota DPR Fraksi PDI-P;
Ketua Pansus RUU SJSN (2004); Wakil Ketua Pansus RUU BPJS (2011)
KOMPAS, 31 Oktober 2013


Sekitar 60 hari lagi, tepatnya pada 1 Januari 2014, akan mulai berlaku Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia.

Akan terbentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS): BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi dari PT Askes (Persero) dan BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi PT Jamsostek (Persero). BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan 1 Januari 2014 (Pasal 60 UU No 24/2011 tentang BPJS). PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS ketenagakerjaan 1 Januari 2014 [Pasal 62 (1) UU 24/2011]. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan kematian, dan program jaminan pensiun paling lambat 1 Juli 2015.

Kementerian Kesehatan sedang gencar menyosialisasikan program jaminan kesehatan bagian dari jaminan sosial ini dengan istilah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tepatkah penambahan kata ”nasional” di belakang Jaminan Kesehatan? Untuk menjawabnya kita perlu mengacu UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang BPJS. Pasal 18 UU No 40/2004 menyatakan: Jenis program jaminan sosial meliputi: a. Jaminan kesehatan; b. Jaminan kecelakaan kerja; c. Jaminan hari tua; d. Jaminan pensiun; dan e. Jaminan kematian. Jelas tak ada kata ”nasional” pada tiap program jaminan sosial tersebut.

Pasal 19 (1) menyebutkan: ”Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarakan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”. Pada penjelasan Pasal 19 (1) dituliskan: ”Prinsip asuransi sosial meliputi: a. Kegotongroyongan antara orang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah; b. Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; c. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan; d. Bersifat nirlaba.

Prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medisnya yang tak terikat besaran iuran yang telah dibayarkannya. Prinsip asuransi sosial perlu ditekankan untuk membedakannya dengan asuransi komersial yang berprinsip: kepesertaan bersifat sukarela dan selektif, iuran atau premi berdasarkan manfaat yang akan diterima, bersifat mengejar laba, dan tak ada unsur kegotongroyongan. Dengan demikian, jika harus ada tambahan atau sisipan kata, yang lebih tepat disebutkan program ”Jaminan Sosial Kesehatan” daripada ”Jaminan Kesehatan Nasional”.

Jaminan sosial lain

Empat jenis program jaminan sosial lain juga diselenggarakan secara nasional. Pasal 29 (1) menyatakan: Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. Pasal 35 (1): Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan asuransi sosial atau tabungan wajib. Pasal 39 (1): Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. 

Sangat kurang tepat jika disebut Jaminan Kecelakaan Kerja Nasional atau Jaminan Hari Tua Nasional dan Jaminan Pensiun Nasional atau Jaminan Kematian Nasional. Yang tepat adalah Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja, Jaminan Sosial Hari Tua, Jaminan Sosial Pensiun, dan Jaminan Sosial Kematian. Namun paling tepat, menurut saya, kelima jenis program jaminan sosial cukup disebut jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Dalam buku Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 pemerintah menerjemahkan Jaminan Kesehatan Nasional menjadi ”INA-MEDICARE (Indonesia Medicare)”. Terjemahan ini membuat SJSN bidang kesehatan menyimpang dari dasar filosofis, historis, dan sosiologis pembentukannya. Ada dua pengertian medicare di dunia. Medicare di AS dipahami sebagai jaminan kesehatan buat orang-orang tua, pensiunan, cacat, dan tak mampu. Apakah pemahaman ini menjadikan JKN sama dan sebangun dengan Jamkesmas buat orang miskin dan tak mampu di Indonesia? Apakah pernyataan Dahlan Iskan bahwa JKN akan menanggung 86,4 juta jiwa (yang selama ini tercatat sebagai peserta Jamkesmas) mengindikasikan sumber pembiayaan Jamkesmas bukan hanya dari APBN, melainkan ditambah dengan iuran seluruh personal BUMN?

Pengertian lain medicare adalah seperti di Kanada. Setiap negara bagian menyelenggarakan  medicare untuk seluruh masyarakat yang berlaku di semua negara bagian dalam arti secara nasional. JKN di Indonesia sama dan sebangun dengan medicare Kanada, jika pemerintah pusat berniat tetap mempertahankan Jamkesmas dan Jamkesda yang sudah eksis di beberapa provinsi. Nyatanya, menjelang 2014 tak terdengar ada langkah kebijakan pemerintah pusat untuk mengintegrasikan peserta Jamkesda ke dalam peserta Jamkesnas. Dengan demikian, dapatkah dipahami bahwa kata ”nasional” dari JKN adalah kumpulan semua daerah dari Jamkesda?

Terjemahan paling tepat Jaminan Sosial Kesehatan di Indonesia adalah ”INA Social Health Insurance (INA-SHI)”. Sistem ini mengacu model solidaritas sosial di Jerman yang diciptakan Otto Von Bismarck 1883. Budaya dan falsafah gotong royong di Indonesia sangat cocok untuk menyiapkan Jaminan Sosial Kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi.

Kata ”nasional” sebetulnya sudah melekat pada nomenklatur Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang terdiri dari sistem pelayanan kesehatan dan sistem pembiayaan kesehatan. Sistem pelayanan akan ditata dari tak terstruktur jadi terstruktur atau rujukan berjenjang. Sistem pembiayaan kesehatan akan diubah dari cara pembayaran langsung dari kantong penderita (out of pocket) jadi pembayaran dari pihak ketiga, yaitu BPJS Kesehatan. Agar tak terjadi sesat pikir dan multitafsir terhadap istilah JKN, maka kembali saja kita kepada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyebutkan salah satu program jaminan sosial adalah jaminan kesehatan (tanpa tambahan nasional). Kita juga bisa merujuk pada UU tentang BPJS yang menyatakan bahwa BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan (lagi-lagi tanpa kata nasional). Yang perlu dipopulerkan kepada masyarakat bukanlah istilah Jaminan Kesehatan Nasional.


Lebih bermakna jika disosialisasikan bahwa mulai 1 Januari 2014 akan berlaku SJSN yang mencakup program Jaminan Kesehatan. Program ini diselenggarakan BPJS Kesehatan yang terbentuk 1 Januari 2014. Setiap orang wajib menjadi peserta dengan membayar iuran. Bagi yang tak mampu, iurannya dibayarkan pemerintah melalui APBN. Setiap peserta dapat kartu peserta yang berlaku lintas daerah (secara nasional) dan lintas pekerjaan. Kartu boleh kita namakan Kartu Indonesia Sehat, menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. 

Harapan bagi BPJS Kesehatan

Harapan bagi BPJS Kesehatan
Sulastomo   Ahli Asuransi Kesehatan
KOMPAS, 31 Oktober 2013

Presiden SBY, Senin (21/10/2013), meluncurkan ”Gerakan Sadar Memiliki Jaminan Kesehatan”. 
Sejumlah 140 direktur utama BUMN telah berkomitmen mengikutsertakan karyawannya ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dengan demikian, ketika BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, pesertanya sudah akan mencapai lebih dari 100 juta. Menurut peta jalan BPJS Kesehatan, pada 2019 seluruh penduduk Indonesia telah tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dengan gambaran seperti itu, momentum untuk mengimplementasikan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN ) akan terbuka lebar. Dimulai dengan penyelenggaraan program JKN pada 1 Januari 2014, secara bertahap seluruh penduduk Indonesia akan memperoleh jaminan sosial lainnya: jaminan kecelakaan kerja (JKK ), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), dan jaminan kematian (JKM). Upaya mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial, dengan demikian akan semakin didekati.

Meskipun demikian, masih banyak pertanyaan: bagaimana semua itu dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya? Bagaimana cara memperoleh pelayanan kesehatan? Jenis pelayanan kesehatan apa saja yang akan diperoleh? Bagaimana pembiayaannya? Dapatkah berkelanjutan? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang masih harus dijelaskan kepada masyarakat.

Konsep pengelolaan

Terselenggaranya jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat, dibanyak negara—termasuk di negara-negara tetangga kita—sudah terlebih dahulu diselenggarakan. Indonesia memang agak terlambat. Namun, keterlambatan itu mungkin ada hikmahnya. Kita bisa belajar dari kekeliruan negara lain sehingga kelangsungan jaminan kesehatan yang akan kita selenggarakan lebih terjamin kelangsungan hidupnya: tidak tersendat-sendat, apalagi menimbulkan beban ekonomi yang berat dan akhirnya bangkrut.

Pelajaran itu, antara lain, introduksi konsep yang disebut managed healthcare dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan. Konsep ini memungkinkan kualitas pelayanan dan pembiayaan kesehatan dapat terselenggara seefisien mungkin, tidak boros, mencegah pemakaian yang berlebihan (over utilization) atau pemberian pelayanan kesehatan yang tidak perlu (unnecessary utilization), bahkan kemungkinan penyalahgunaan (abuse of care).

Untuk itu, perlu pemahaman, disiplin dan dukungan semua pihak terkait, baik peserta maupun pemberi pelayanan kesehatan: kalangan dokter dan rumah sakit. Begitu pentingnya introduksi managed healthcare itu, dalam UU No 20/2004 termaktub prosedur-prosedur dan prinsip-prinsip yang perlu dilaksanakan.

Intinya, antara sistem pelayanan dan pembayaran diintegrasikan. Sistem pelayanan diselenggarakan secara berjenjang sehingga sesuai keahlian dan teknologi kedokteran yang diperlukan. Kebebasan peserta untuk memperoleh pelayanan kesehatan ditertibkan melalui konsep dokter keluarga dan rujukan. Pembayaran jasa pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan menghapus sistem fee for services yang telah kita kenal selama ini, dengan memperkenalkan pembayaran sistem kapitasi, paket, pradana, atau prospective payment system.

Demikian juga obat-obatan, yang selama ini merupakan porsi yang besar di dalam pembiayaan kesehatan, perlu dilakukan kontrol khasiat dan harganya. Diberlakukan semacam daftar standar dan plafon harga obat sehingga penggunaan obat rasional, tidak berlebih dan tidak kurang. Dengan konsep pengelolaan semacam ini pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai kebutuhan medik pasien, bukan keinginan perorangan. Dengan efisiensi seperti itu, biaya pelayanan kesehatan dapat terselenggara secara optimal, tidak boros sebagaimana dalam sistem fee for services yang ada selama ini.

Semua itu diselenggarakan di dalam mekanisme ekonomi pasar yang dewasa ini telah merebak, termasuk dalam industri kesehatan. BPJS Kesehatan nanti, dengan jumlah peserta yang demikian besar, secara ekonomi akan menguasai pasar pelayanan kesehatan sehingga posisi tawarnya meningkat. Wajar kalau BPJS memperoleh harga khusus, baik dari industri farmasi maupun pemberi pelayanan kesehatan lainnya, para dokter dan rumah sakit. BPJS, dengan demikian, akan memperoleh peluang besar untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medik, dalam jangkauan kemampuan ekonomi pesertanya.

Asuransi sosial

Pemahaman lain terkait pembiayaan kesehatan dalam BPJS adalah introduksi mekanisme asuransi sosial dalam pembiayaan pelayanan kesehatan.

Dengan mekanisme asuransi sosial, premi atau iuran JKN tidak berdasar besarnya risiko sakit seseorang, sebagaimana asuransi kesehatan komersial. Sakit atau tidak sakit, peserta memberikan iuran/premi sebesar persentase gajinya, selain kelompok penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya dibayar oleh pemerintah atau kelompok nonformal. Bagi kelompok formal, iuran dibebankan kepada pekerja dan pemberi kerja, termasuk pemerintah sebagai pemberi kerja pegawai negeri sipil (PNS), sesuai proporsional gaji yang ditetapkan dalam peraturan yang akan diberlakukan.

Dengan mekanisme asuransi sosial, sifat kegotongroyongan lebih lengkap. Tak hanya yang sehat membantu yang sakit, juga antara yang muda dan tua, yang berisiko tinggi dan rendah, dan antara yang kaya dan miskin.

Dengan besarnya cakupan kepesertaan, sesuai prinsip asuransi, manfaat akan semakin besar. Sebaliknya, iuran/premi semakin mengecil. Semua akan memperoleh manfaat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medik, termasuk pelayanan canggih dan biaya tinggi, misalnya operasi jantung, cuci darah, dan kanker. Tetapi, sesuai prinsip asuransi, besaran iuran/premi secara nominal juga harus dapat diwujudkan dalam manfaat pelayanan nonmedik. Misalnya, pelayanan rumah sakit di kelas II, kelas I sebagaimana telah berjalan terhadap pelayanan yang diberikan kepada PNS/PP oleh PT (Persero) Askes Indonesia.

Dengan gambaran di atas, apabila berjalan sebagaimana diharapkan, akan terjadi perubahan besar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan sebagai ”revolusi” di bidang penyelenggaraan pelayanan kesehatan.


Kualitas dan biaya kesehatan akan dapat terkontrol sehingga berbagai keluhan pelayanan kesehatan yang selama ini sering terdengar akan dapat ditekan serendah mungkin. Secara bertahap, wujud kesejahteraan yang berkeadilan sosial dapat didekati, setidaknya dalam memperoleh pelayanan kesehatan. 

Kontradiksi Penguatan Bahasa

Kontradiksi Penguatan Bahasa
Saifur Rohman   Pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, 
Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS, 31 Oktober 2013

Kongres Bahasa Indonesia 2013 di Jakarta, 28-31 Oktober, mengusung tema ”Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional”. Tema itu beranjak dari bayangan tentang kemampuan bahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa komunikasi internasional.

Fakta-fakta yang dirujuk adalah kebijakan Komunitas ASEAN, jati diri bangsa, persaingan dengan bahasa asing, dan praktik sosial warga bangsa yang menjadi warga dunia.

Dalam konteks pembangunan, bahasa Indonesia dijadikan sebagai medium oleh para pengguna bahasa untuk kemajuan bangsa. Bagaimana gagasan tersebut dituangkan dalam kebijakan-kebijakan konkret pada penyelenggara negara? Dari mana memulainya? Bila pertanyaan tersebut belum memperoleh jawaban yang tepat, pertanyaan selanjutnya: ”Tema itu fakta atau fiksi?”

Pengakuan formal

Secara legal perlindungan terhadap bahasa Indonesia melalui UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara tidak memadai karena hanya menjadi obyek pengakuan formal. Demikian pula, RUU Kebudayaan yang dirancang sebagai sebuah strategi pelestarian identitas bangsa itu ternyata tidak mencantumkan langkah-langkah visioner dalam pengembangan bahasa Indonesia. Buktinya, dalam naskah akademik yang diikutsertakan dalam RUU Kebudayaan, bahasa justru tidak mendapat tempat yang bermakna ketika diterjemahkan dalam aspek-aspek kebudayaan.

Fakta tersebut menunjukkan betapa kebijakan-kebijakan pemerintah sebetulnya tidak memiliki orientasi yang jelas, terutama upaya ”penguatan bahasa Indonesia dalam komunitas internasional”.

Ketidakjelasan itu sebetulnya mengingkari jati diri bangsa yang memiliki warisan kebahasaan yang sangat penting di dunia. Fakta-fakta kebahasaan yang ditemukan Anthony Reid menjadi pijakan untuk mengembangkan studi Asia Tenggara. Disertasinya yang meneliti naskah-naskah Melayu tentang Aceh menjadi bukti untuk menemukan sejarah Asia Tenggara sebagai sebuah budaya yang enclave. Kita akhirnya tahu dari Reid bahwa studi Asia Tenggara tidak bisa dimulai tanpa pemahaman yang baik tentang bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Temuan Reid itu relevan dengan teori Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah tentang relasi positif antara bangsa dan bahasa.

Secara historis, lebih dari dua dekade yang lalu, YB Mangunwijaya sebetulnya telah memiliki gambaran yang jelas tentang eksistensi bahasa dan bangsa Indonesia pada masa depan. Dalam novel Burung-burung Rantau (1992), YB Mangunwijaya berhasil memajang potret sosial warga Indonesia yang telah menjadi warga dunia. Dia menyebut identitas orang-orang Indonesia sebagai manusia ”pasca-Indonesia”. Dengan identitas pasca-Indonesia, manusia Indonesia menunjukkan prestasi kulturalnya melalui bahasa yang dimiliki. Bahasa menjadi identitas yang memiliki daya saing dengan bangsa lain. Itu berarti warga Indonesia harus berhadapan dengan bangsa lain dari aspek sumber daya manusia, indeks pembangunan manusia, tingkat melek huruf, daya saing, kesejahteraan, dan pelbagai kemajuan di sejumlah aspek kebudayaan.

Dalam banyak hal, lebih dari 85 tahun pasca- Sumpah Pemuda 1928, daya saing Indonesia bukanlah prestasi yang membanggakan. Itu berarti sebuah penguatan bahasa Indonesia hanya bisa dilakukan jika para penutur memiliki prestasi yang bisa diungkapkan melalui bahasa tersebut. Pendeknya, prestasi bangsa memiliki relasi positif dengan penguatan bangsa. Sebaliknya, bangsa yang mundur dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan bahasanya.

Malu aku

Tidak aneh jika Taufiq Ismail menyatakan ”Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Ismail menyaksikan penguasa yang bertindak sewenang-wenang, tidak adil, menculik, dan pidana korupsi. Karena itu, penyair itu membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah melesat jauh sehingga dia ”tidak berani berjalan tegak”. Setelah puisi-puisinya dalam Tirani dan Benteng yang membakar para pemuda pada 1966 kini puisi Taufiq Ismail telah menjadi potret suram generasi masa kini.

Taufiq Ismail boleh saja malu, tetapi para penyelenggara negeri ini tidak pernah merasa malu sebab martabat bangsa hanya menjadi permainan kata. Dalam sajak ”Telur” karya Zawawi Imron dikatakan, dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia ketimbang mulut yang menjanjikan telur. Ungkapan puitis itu telah menjadi potret atas rendahnya martabat para penyelenggara negara.

Bila direfleksikan pada kenyataan sekarang ini, banyak kaum elite yang mengungkapkan ”kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran”, tetapi tidak pernah ada buktinya. Bahasa Indonesia hanya menjadi bahasa slogan dalam praktik-praktik meraih kekuasaan sebagaimana terlihat dalam iklan di media massa.

Ungkapan kaum elite menjadi bagian dari ekspresi untuk menyembunyikan fakta. Sebagai contoh, ungkapan ”Adalah 2000 persen fitnah jika saya dekat dengan Bunda Putri” itu seakan-akan dapat diartikan bahwa penutur tidak kenal, apalagi dekat dengan orang tersebut. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak bisa dikatakan benar sampai memperoleh pembuktian yang memadai. Kenyataannya, istilah ”fitnah” hanya berhenti sebagai respons temporer dan tidak berlanjut dalam mekanisme formal sebagai upaya pencarian kebenaran.


Atas nama kekuasaan, para penutur menyembunyikan diri dari permainan bahasa, slogan-slogan, dan diksi-diksi yang ambigu. Jadi, pendeknya, penguatan bahasa Indonesia haruslah dimulai dari upaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai media ungkap untuk sebuah kejujuran, jiwa keberanian, dan bukan sebaliknya. 

Menuju Perekonomian Nasional yang Mandiri, Kuat, dan Stabil

Menuju Perekonomian Nasional yang
Mandiri, Kuat, dan Stabil
Abdul Gofar   Dosen Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Jakarta
MEDIA INDONESIA, 30 Oktober 2013


HARI ini jajaran Kemen terian Keuangan (Kemenkeu) memperingati Hari Keuangan atau lebih tepatnya hari peringatan ke-67 lahirnya ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia yang sudah merdeka ternyata masih menggunakan mata uang Jepang dan Javasche Bank sebagai alat pembayaran.

Hal seperti itu sungguh memprihatinkan dan tidak sejalan dengan hakikat kemerdekaan. Melalui Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 1946 dan UU No 19 Tahun 1946, pemerintah saat itu menetapkan pengeluaran uang Republik Indonesia. Selanjutnya Menteri Keuangan AA Maramis melalui Keputusan Nomor SS/1/35 tanggal 29 Oktober 1946 menyatakan uang Jepang dan uang Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku dan sebagai gantinya, uang Republik Indonesia ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah mulai 30 Oktober 1946.

Dalam memperingati hari bersejarah tersebut, tema Hari Keuangan 2013 ialah Menuju perekonomian nasional yang mandiri, kuat, dan stabil bersama Kementerian Keuangan. Jika dibandingkan dengan tema pada peringatan-peringatan sebelumnya, tema kali ini lebih bersifat ekstensif. Artinya, implementasi dari tema yang dipilih bukan hanya domain dari Kemenkeu, melainkan menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh jajaran pemerintah.

Namun, dari tema tersebut terkandung suatu tekad yang kuat dari jajaran Kemenkeu untuk mewujudkan kondisi perekonomian nasional yang lebih baik (mandiri, kuat, dan stabil). Betapa pun, harus disadari bahwa Kemenkeu merupakan ke menterian yang strategis karena cukup banyak aspek perekonomian nasional berhubungan langsung dengan kebijakan yang dikeluarkan kementerian itu.

Kinerja perekonomian

Masalah ekonomi yang dihadapi negara kita pada akhir 2013 ini dan 2014 mendatang ialah terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak perekonomian global yang belum menentu. Suku bunga perbankan yang tinggi sebagai akibat kenaikan Bank Indonesia (BI) rate juga berimbas pada pelemahan pertumbuhan ekonomi. Masalah lainnya ialah tekanan inflasi dan defisit transaksi berjalan yang masih terjadi, bahkan diperkirakan terjadi hingga 2015. Hal itu menyebabkan tekanan pada nilai rupiah yang melemah.

Dalam menghadapi situasi perekonomian nasional yang terjadi saat ini, Kemenkeu dituntut benar-benar fokus pada bidang tugasnya atau tupoksinya, yakni kebijakan fiskal. Benar apa yang dikemukakan Wakil Menkeu Bambang P Soemantri Brojonegoro, pada acara Economic Outlook 2014 di Jakarta, Kamis (10/10), bahwa kebijakan fiskal mendatang masih mengupayakan pertumbuhan. Jika sekadar memperbaiki transaksi berjalan dengan mengorbankan pertumbuhan, akan susah mengurangi kemiskinan dan pengangguran (Kompas, 12/10).

Upaya mengoptimalkan pertumbuhanekonomi harus dilakukan bersamaan dengan upaya perbaikan defisit transaksi berjalan. Dengan demikian, harus ada sinergi antara pemegang kebijakan moneter, dalam hal ini BI, dan pemegang kebijakan fiskal, yaitu Kemenkeu, terkait dengan langkah-langkah yang harus dilakukan guna mengatasi masalah perekonomian nasional.

Memacu pertumbuhan ekonomi ke tataran yang lebih tinggi sulit bisa diwujudkan pada 2013, yang hanya tersisa dua bulan lagi, atau bahkan pada 2014. Sinyal tersebut tampak pada pengetatan kebijakan fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014.

Dalam APBN yang telah disetujui dan disahkan pemerintah dan De wan Pewakilan Rakyat (DPR) pada 25 Oktober 2013, target pertumbuhan ekonomi dikoreksi dari usulan awal sebesar 6,4% menjadi 6%. Karena itu, wajar jika anggaran belanja negara dalam APBN 2014 tidak bisa ekspansif. Bersamaan dengan hal itu, defisit anggaran pada APBN 2014 sebesar 1,69% jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pada APBN-P 2013 sebesar 2,38%.

Penurunan target pertumbuhan ekonomi dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi tekanan pada transaksi berjalan. Total belanja negara pada APBN 2014 sebesar Rp1.842,5 triliun, atau naik 6,7% jika dibandingkan dengan APBN-P 2013 sebesar Rp1.726,2 triliun. Jika diperhitungkan dengan asumsi inflasi pada 2014 sebesar 5,5%, secara riil total belanja negara pada APBN 2014 naik hanya 1,2%. Konsekuensinya, program untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran jadi agak terhambat.

Upaya serius

Pengetatan kebijakan fiskal mengakibatkan anggaran belanja negara dalam APBN 2014 tidak bisa ekspansif. Kondisi demikian menyebabkan ruang gerak Kemenkeu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, agar program pengurangan kemiskinan dan pengangguran berhasil baik, jadi tidak berjalan. Untuk itu, Kemenkeu dituntut melakukan upayaupaya serius, mencari terobosan, dan menjaga agar target-target penting dalam APBN 2014 tercapai. Hal itu mendesak untuk dilakukan demi terwujudnya perekonomian nasional yang mandiri, kuat, dan stabil.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga agar anggaran belanja negara sebesar Rp1.842,5 triliun benar-benar terarah dan tepat sasaran, tanpa ada kebocoran (korupsi) atau pemborosan lainnya. Kemenkeu harus menjamin agar anggaran belanja negara, yang dalam praktiknya dikelola para pengguna anggaran yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga harus dilaksanakan tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah, dan tanpa ada kebocoran.

Kedua, menjaga agar anggaran subsidi energi sebesar Rp282 triliun tidak terlampaui (jebol). Pengalaman menunjukkan anggaran subsidi energi rawan jebol karena upaya untuk mengendalikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) belum efektif berjalan. Untuk menjaga agar pagu subsidi energi tidak jebol, dampaknya bisa sangat membahayakan APBN. Ketiga, menjaga agar pendapatan negara yang ditargetkan sebesar Rp1.667,1 triliun dapat tercapai sesuai rencana. Upaya serius dan terobosan baru perlu dilakukan mengingat dalam situasi ekonomi yang belum pulih, tidak mudah untuk bisa memenuhi target pendapatan negara yang demikian besar, terutama dari sektor pajak. Dari awal harus dicegah agar tidak ada lagi penerimaan pajak yang dikorupsi.


Apabila tiga hal penting tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh Kemenkeu, yaitu pelaksanaan anggaran belanja negara bisa dilakukan tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah, dan tanpa ada kebocoran, kemudian realisasi anggaran subsidi energi tidak melampaui pagunya, dan terakhir target pendapatan negara bisa tercapai sesuai rencana, jalan menuju perekonomian nasional yang mandiri, kuat, dan stabil bersama Kemenkeu akan terbuka lebar. Dirgahayu Kementerian Keuangan. 

Timnas U-19, Momentum Kebangkitan Pemuda

Timnas U-19, Momentum Kebangkitan Pemuda
Willy Aditya   Ketua Umum Liga Mahasiswa NasDem
MEDIA INDONESIA, 30 Oktober 2013


KEMENANGAN tim nasional (timnas) Indonesia U-19 atas Korea Selatan awal Oktober lalu menjadi sejarah bagi sepak bola negeri ini. Betapa tidak, setelah menjadi kampiun dalam Piala AFF 2013 yang menjadi pelipur bagi penantian 22 tahun lamanya, Evan Dimas dan kawan-kawan berhasil menumbangkan tim `Negeri Ginseng' yang notabene juara bertahan selama 12 tahun di ajang Piala AFC U-19. Ini bukan saja sejarah dalam sepak bola muda Indonesia, melainkan juga kebangkitan sepak bola nasional.

Lebih jauh, prestasi luar biasa dari Evan Dimas dan kawan-kawan bisa menjadi momentum kebangkitan bagi bangsa ini. Seperti ditandaskan oleh pelatihnya, Indra Sjafrie, Indonesia adalah bangsa besar yang bisa menaklukkan siapa pun. Tentu saja harus ada harga yang dibayar untuk meraih hal tersebut: kerja keras dan kepercayaan diri.

Satu hal penting yang bisa kita petik dari pelatih Indra adalah pembangunan mental bagi anakanak didiknya. Inilah kunci keberhasilan sekaligus kebangkitan yang ditunjukkan oleh Timnas U-19. Tanpa mental yang bagus, hampir musta hil bagi timnas bisa menjuarai Piala AFF dan menang atas Korsel.
Inilah yang tengah hilang kini--utamanya pada generasi muda kita. Sekadar mengambil contoh aktual dari persoalan tawuran yang laten di kalangan kawula muda kita ialah peristiwa penyiraman air keras di bus kota oleh seorang pelajar SMA yang melukai 16 orang. Tentu getir perasaan siapa pun yang mendapati kenyataan itu. Sudah demikian anjlokkah nalar kemanusiaan generasi muda kita karena begitu entengnya mereka merusak kehidupan orang. Laku tanpa nalar sehat seolah lekat dengan mereka.

Laku budaya

Tentu banyak penjelasan terkait dengan fenomena di atas. Namun, jika kita tilik dari kacamata kebudayaan, seperti ada yang bengkok dari perjalanan budaya bangsa ini. Sekolah kita semakin banyak bertebaran, mulai peringkat `diakui', `disamakan', hingga yang bertaraf internasional (meski sudah dihapus kemudian). Sekolahsekolah unggulan bermunculan di mana-mana. Kampus-kampus sudah berdiri di setiap kabupaten dan kota, mulai yang negeri hingga yang swasta. Namun, semua itu ternyata tidak berkorelasi positif dengan pertumbuhan mental dan kebudayaan bangsa yang adigung. Kita tidak menemukan jati diri kita sebagai sebuah bangsa di sana. Malah yang marak adalah perilaku yang jauh dari keluhuran.

Jati diri ini yang dalam bahasa Bung Karno disebut sebagai character building. Persoalan character building sudah menjalar pada seluruh aspek kebangsaan kita dewasa ini. Bisa dikatakan, kita tengah kehilangan panduan pembangunan budaya bangsa.

Jika kita simak kronik modernitas di Indonesia, kesadaran akan pembangunan mental bangsa sudah dimulai saat masa pergerakan Indonesia awal abad XX.
Berbagai perkumpulan daerah lahir hingga kemudian mereka bertemu pada kesadaran bersama sebagai sebuah bangsa dengan Sumpah Pemuda 1928. Namun hal itu tidak cukup. Kesadaran sebagai sebuah bangsa yang memiliki identitas bersama perlu disemai, dibangun, dan dibentuk. Itulah mengapa ada nation and character building dari Bung Karno seusai kemerdekaan.

Lewat Pancasila dan berbagai proyek politik lainnya, Bung Karno menyemaikan proses pembangunan karakter bangsa. Kehebatan sikap itu tecermin dalam pergaulan internasional lewat Konferensi Asia-Afrika atau Ganefo, misalnya.

Hanya, kini Pancasila digunakan untuk menopang kekuasaan yang otoriter. Hasilnya, Pancasila dangkal dipahami dan kering dari dimensi spiritualnya. Kini, kaum muda harus bangkit dan menjadi aktor kembali aktor kembali dalam sejarah perjalanan bangsa.

Program Empat Pilar Bangsa yang digagas mantan Ketua MPR (alm) Taufiq Kiemas cukup kontributif bagi upaya pembangunan kembali mental dan karakter bangsa. Kemunculan kelompok-kelompok politik yang menggagas gerakan perubahan dengan penekanan untuk kembali pada jati diri bangsa, juga cukup signifikan. Semisal, gagasan Restorasi Indonesia, yang bisa kita baca sebagai sintesis atas dialektika perubahan bangsa ini adalah sebuah gagasan yang perlu diapresiasi.

Peran penting kaum muda tidak sekadar sebagai generasi penerus bangsa. Lebih dari itu, kaum muda adalah aktor-aktor perubahan sepanjang sejarah. Kaum muda tidak terlalu sulit dibentuk dan belum terlalu banyak terkontaminasi virus peradaban bangsa yang kumal. Mereka masih bisa diharapkan, mereka masih punya harapan.

Tanpa berapriori terhadap pihak mana pun, apa yang menjadi pilihan dari Indra Sjafrie adalah sebuah pelajaran bagi kita. Pelatih kelahiran Februari 1963 ini memilih tetap menangani Evan Dimas cs ketimbang menerima tawaran menangani timnas senior.


Di sisi lain, sebagai orangtua, pelatih Indra telah memperlihatkan sebuah keteladanan yang luar biasa dengan blusukan ke berbagai pelosok negeri untuk mencari bibit unggul, meski tanpa kontrak yang jelas dan tanpa gaji selama setahun. “Ini kerja untuk negara,“ kata Indra. Sikap patriotik yang amat langka di negara kita. 

Mengoptimalkan Hari-hari Terakhir

Mengoptimalkan Hari-hari Terakhir
Bambang Arianto   Dosen, Mahasiswa S2 Politik UGM
KORAN JAKARTA, 30 Oktober 2013


Hari-hari belakangan mulai banyak muncul penilaian kinerja pemerintah yang tinggal satu tahun. Baik formal seperti lewat survei-survei maupun dari percakapan sehari-hari di tengah masyarakat, banyak yang menilai bahwa kinerja pemerintah belum memuaskan. Mereka harus mengejar perbaikan kinerja dalam waktu tersisa yang tidak lama lagi.

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II tinggal menghitung bulan, namun publik belum puas pada kinerjanya. Persoalan bangsa masih begitu banyak, di antaranya carut-marut di bidang hukum, ekonomi, politik, dan kesejahteraan sosial. Dari berbagai indikator bidang hukum, publik mengungkapkan kekecewaan tertinggi. Hukum belum dilaksanakan secara ideal. Dia masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum sangat tegas kepada mereka yang tak berdaya, tetapi lemah kepada mereka yang berada di kalangan atas. 

Demikian juga, kepercayaan publik pada kekuatan perekonomian bangsa kian merosot. Ekonomi dari waktu ke waktu tampak tidak membaik. Sebaliknya, kondisinya justru kian parah, sehingga mengkhawatirkan terjadi krisis lagi. Pemerintah harus mau bekerja ekstrakeras guna mengejar ketertinggalan pembangunan di bidang perekonomian.

Dari sisi politis, pada akhir periode pemerintahan, nasib partai koalisi atau anggota Sekretariat Gabungan (Setgab) juga semakin tidak menentu. Kebanyakan anggota KIB II sibuk dengan kegiatan partai guna menggalang dukungan pada pemilu 2014 daripada menjalankan tugas untuk rakyat. Pertemuan partai-partai koalisi pendukung pemerintah tak lagi ada. Semenjak perseteruan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Juni 2013 lalu, hilang sudah kegiatan koalisi.

Tampaknya seluruh partai politik memfokuskan diri pada perhelatan tahun depan mulai dari kaderisasi sampai mengumpulkan dana. Bahkan pengumpulan dana untuk membiayai kampanye dan pemilu nanti telah membawa korban karena dilakukan dengan cara-cara kotor seperti korupsi dan perbuatan tercela lainnya, sehingga banyak elite partai yang terjerat kasus hukum. Mereka terjerumus sehingga dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi.

Jauh sebelum pembangkangan PKS, koalisi pendukung pemerintah diketahui telah bubar sejak Partai Golkar menetapkan Aburizal Bakrie setahun lalu sebagai calon presiden 2014. Namun, karena masa pemerintahan masih cukup lama, posisi Partai Golkar tetap berpengaruh besar bagi pemerintah. Meski begitu, tidak terdengar lagi komunikasi di antara anggota koalisi.

Keberadaan koalisi tidak pernah efektif membantu pemerintah karena dibangun setelah pemilu presiden. Kerjanya minimal. Koalisi lebih diartikan sebagai narasi kepentingan. Ia dibangun bukan berdasarkan ideologi, melainkan partai dengan presiden. PKS dan Partai Golkar hanya patuh pada keputusan Presiden SBY, bukan koalisi, apalagi Partai Demokrat. 

Model jatah untuk posisi menteri jelas meruntuhkan kualitas kabinet. Maklum pengangkatan seseorang menjadi menteri bukan berdasar kualitas atau mumpuni, melainkan karena ketua partai yang telah mendukung. Maka menteri adalah sebuah balas budi. Inilah yang ikut melemahkan kinerja kabinet. Bahkan ada survei yang menghasilkan bahwa menteri dari partai lebih banyak mudaratnya.

Jadi, wajar bila kinerja KIB II minim prestasi. Apalagi ada perseteruan antara PKS dan Partai Demokrat menjelang kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Tidak ada ketegasan menghadapi sikap PKS. Presiden juga tidak berani mendepak menteri dari PKS. 

Koalisi semakin tidak menentu. Seharusnya tetap dipertahankan hingga pemerintahan selesai. Suara koalisi makin tak terdengar karena ada rencana konvensi Partai Demokrat. Menteri dalam KIB II sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan Presiden sibuk mendongkrak citra partai dari berbagai sengkarut soal korupsi politik yang sedang melilit partai. 

SBY akhirnya terjebak pada kompetisi partai guna mengejar politik audisional publik. Nahas, ketika Demokrat memaksakan Ruhut Sitompul menjadi calon Ketua Komisi III DPR, koalisi menolak dengan tegas. Ini menjadi pertanda bahwa Partai Demokrat bukan hanya gagal mengemas, namun gagal memperbaiki pamor di hadapan partai koalisi. Harapan merevitalisasi koalisi agar permanen semakin jauh.

Poros Oposisi

Di tengah-tengah minimnya kinerja KIB II, publik tetap berharap masih ada partai politik yang tetap berada di garis oposisi. Hanya PDI Perjuangan yang konsisten mengawasi kekuasaan walau kadang larut pada proses kandidasi dalam elektoral. Oposisi masih diperlukan sebab setiap kebijakan dalam kontestasi politik harus dapat diuji dengan tetap mengedepankan transparansi. Di sinilah oposisi diperlukan guna memainkan peran sebagai penyelamat. 

Rantai jejaring partai koalisi putus karena banyak elite politik dan pemimpin partai tidak memahami pranata yang lebih serius. Oposisi diharapkan dapat mengemukakan titik-titik kelemahan suatu kebijakan sehingga diperbaiki sebelum diluncurkan. Ini penting untuk memperkecil dampak negatif kebijakan tersebut. Atau kalau memang tidak dapat diterapkan, ya lebih baik ditunda.

Di akhir masa pemerintahan KIB II, publik berharap tetap ada poros yang bertugas mengingatkan pemerintah agar kebijakan yang diambil pada hari-hari belakangan semakin bermanfaat dan berhasil guna. Jangan sampai ada tindakan yang seharusnya dilakukan malah tidak dijalankan.

Oleh karena itu, di akhir pemerintahan, SBY harus tetap menampilkan kinerja dan perubahan yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat. Pemerintah masih harus mengejar pekerjaan yang begitu banyak, seperti mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menegakkan keadilan seadil-adilnya. Meski berat, rasanya satu tahun terakhir ini perlu dioptimalkan untuk menaikkan citra pemerintah yang makin redup. 

Kuncinya, harus ada terobosan besar dalam menyejahterakan masyarakat. Ini perlu didorong dan dibantu anggota koalisi. Jangan malah terbalik cara berpikirnya: karena tinggal setahun, mari bersama-sama bancakan untuk membonceng dan menilep uang negara.