Jurnal
Ilmiah Vs Dosen Ideal
Bramastia, MAHASISWA PROGRAM DOKTORAL ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS
MARET SURAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 29 Februari 2012
Kebijakan
Dirjen Dikti melalui surat kepu tusan Kemendikbud No 152/E/T/2012 tertanggal 27
Januari 2012 me ngenai publikasi karya ilmiah membuat tantangan mahasiswa untuk
lulus dari universitas semakin besar. Surat yang ditujukan kepada seluruh
rektor PTN/PTS di Indonesia ini mensyaratkan ketentuan tambahan untuk lulus
wisuda bagi mahasiswa, baik level sarjana atau pascasarjana, yang harus
menghasilkan makalah yang diterbitkan menjadi jurnal ilmiah.
Surat
keputusan Dirjen Dikti ini memuat berbagai persyaratan, antara lain, untuk
lulus progam S1 harus menghasilkan makalah yang terbit dalam jurnal ilmiah,
untuk lulus progam S2 harus menerbitkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah
nasional yang terakreditasi Dikti, dan untuk lulus progam S3 diwajibkan membuat
makalah yang diterima pada penerbitan jurnal ilmiah internasional. Ironisnya,
mahasiswa merasa terbebani dengan kebijakan tersebut. Akibatnya, kebijakan
penerbitan jurnal ilmiah menjadi tanggung jawab mahasiswa. Lalu, bagaimana
tanggung jawab dosen? Siapkah para dosen kita?
Tragedi dosen Terkadang, penulis sedih mendengar ledekan istilah `dosen' yang
diplesetkan menjadi bukune sak kerdus, duite sak sen (bukunya satu kardus,
uangnya satu sen). Mengapa demikian? Karena konon, gaji mengajar seorang
seorang dosen di perguruan tinggi (PT) masih dirasakan sangat kecil dan tidak
sebanding dengan apa yang diperas dari otak untuk mengajar mahasiswa.
Akibatnya,
sosok dosen lantas hanya sebatas melaksanakan kewajiban di kegiatan belajar
mengajar di kampus saja, dan selebihnya keluar mencari sampingan bisnis. Data Badan
Akreditasi Na sional (BAN) menyebutkan, hanya 15 persen dari 220 ribu orang
pengajar yang layak untuk menyandang status sebagai dosen.
Idealnya,
dosen dituntut untuk mau melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dengan beban
kerja paling sedikit 12 (dua belas) SKS dan paling banyak 16 (enam belas) SKS
pada setiap semesternya. Untuk beban kerja pendidikan dan penelitian, paling
sedikit sembilang SKS yang dilaksanakan di PT yang bersangkutan. Dan, beban
kerja pengabdian kepada masyarakat dapat dilaksanakan melalui kegiatan
pengabdian ke masyarakat yang diselenggarakan PT yang bersangkutan pula atau
melalui lembaga lain.
Rendahnya
kelayakan status bagi seorang dosen perlu menjadi keprihatinan PT di Indonesia.
Karena idealnya, seorang dosen harus mengacu kepada Ekuivalensi Waktu Mengajar
Penuh (EWMP) yang setara dengan 38 jam setiap minggu. Jika dirinci, kinerja 12
SKS tiap semester harus tersebar ke beberapa aktivitas, yaitu aspek pendidikan
dua sampai delapan SKS, penelitian dan pengembangan ilmu 2-6 SKS, pengabdian
pada masyarakat satu sampai enam SKS, pembinaan sivitas akademika satu sampai
empat SKS, serta administrasi dan manajemen nol sampai tiga SKS sebagaimana
termuat dalam Keputusan Dirjen Dikti No 48/DJ/Kep/1983 Pasal 3 ayat 1.
Dosen kompeten Dosen sebagai figur seorang pendidik di PT, dituntut punya
banyak pengalaman guna mengembangkan kompetensi pendidikan. Minimal, sebanyak
lima `ayat' konsep pengembangan kompetensi pendidikan ideal bagi seorang dosen.
Pertama, dosen harus selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM)
secara pribadi, baik diminta maupun tidak. Hampir semua PT saat ini memo tivasi
serta memacu dosen mau mengupgrade diri agar meningkatkan kemampuan personal.
Kedua,
dosen harus senantiasa meningkatkan kualitas proses belajarmengajarnya kepada
mahasiswa. Untuk meningkatkan kualitas proses belajarmengajar, dosen perlu
didorong mengikuti dan berpartisipasi dalam kegiatan seminar, baik skala
regional, nasional, dan internasional.
Ketiga,
dosen harus mencapai gelar akademik yang tertinggi. Kebijakan tentang
akreditasi telah membuat PT mengharuskan dosen untuk segera menempuh studi
lanjut hingga strata tiga.
Tentunya, diharapkan mahasiswa strata satu diajar oleh dosen dengan jenjang pendidikan strata dua dan strata tiga, serta mahasiswa strata dua diajar dosen dengan jenjang pendidikan strata tiga atau guru besar.
Tentunya, diharapkan mahasiswa strata satu diajar oleh dosen dengan jenjang pendidikan strata dua dan strata tiga, serta mahasiswa strata dua diajar dosen dengan jenjang pendidikan strata tiga atau guru besar.
Keempat,
dosen harus terus dipacu agar produktif dalam melakukan penelitian. Berdasarkan
data dari Dikti, kontribusi ilmuwan Indonesia dalam pengembangan keilmuan hanya
0,012 persen dan jauh di bawah Singapura dengan 0,179 persen serta Amerika yang
dapat mencapai 25 persen. Bahkan, jumlah jurnal yang dipublikasikan Indonesia
pada 2004 hanya 371, padahal, Malaysia 700 jurnal, Thailand (2.125), dan
Singapura (3.086).
Kelima, memacu dosen untuk melakukan
pengabdian masyarakat. Seorang dosen harus mampu dan berani terjun memberikan
pencerahan kepada masyarakat. Nilai pengabdian kepada masyarakat menjadi
aplikasi teoretis yang sebelumnya diperoleh dalam bangku kampus. Hal ini penting
untuk mengukur kompetensi nilai di lapangannya dari seorang dosen. Adanya
kebijakan tentang publikasi karya ilmiah tidak hanya menjadi beban mahasiswa,
tetapi juga menjadi tanggung jawab dosen. ●