Kamis, 26 Mei 2011

Anas Membantah dan Sekaligus Mengakui


Komunikasi dan pemberitaan pers kadang membuat kita sebagai pembaca bingung.  Kebingungan tersebut bisa bersumber dari suatu kesalahpahaman, menangkap pesan yang disampaikan orang secara keliru.  Tetapi bisa juga bersumber dari kesalahan berucap, apa yang keluar dari mulut tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hati.  Maksud hati ingin mengucapkan “A”, tapi yang keluar dari mulut ternyata “A-“, atau bahkan mungkin “bukan A”.  Kesalahpahaman dan kesalahucapan tersebut  bisa membuat sesuatu yang sebenarnya remeh-temeh menjadi sesuatu yang nampak dramatis dan menegangkan.  

Berikut adalah contoh kisah Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, ketika membantah dan sekaligus mengakui berita tentang pertemuannya dengan Muhammad Nazaruddin (mantan Bendum partai Demokrat) dan Janedjri M. Ghaffar (Sekjen MK).  Bantahan dan pengakuan tersebut disampaikan dalam rangka menanggapi ucapan Mahfud MD, Ketua MK, ketika diwawancarai oleh Metro TV pada 22 Mei 2011 lalu.

Yang dibantah Anas adalah adanya “pertemuan segitiga” antara ia, Muhammad Nazaruddin, dan Janedjri M. Ghaffar.  Terlebih apabila pertemuan tersebut dikait-kaitkan dengan isu gratifikasi yang dilakukan oleh Nazaruddin.  Anas rupanya kuatir kalau masyarakat salah mencerna pemberitaan tersebut dan menganggap Anas terlibat dalam kasus Nazaruddin.  Dalam wawancara live dengan Metro TV tersebut bahkan disebutkan bahwa Nazaruddin pernah mengajak Janedjri makan untuk menemui Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum.   Saat itu Mahfud  minta supaya Anas bicara jujur dan ikut berbicara mengenai kasus tersebut.  "Anda (Anas), Nazar dan Janedjri, pernah makan bertiga kan?" ujar Mahfud.  “Kredibiltas Anda dipertaruhkan,” lanjutnya.

Yang diakui Anas adalah  bahwa pada 2008 ia pernah makan bersama dengan Janedjri dan Nazaruddin, serta banyak kader Partai Demokrat lainnya, dalam acara pertemuan bersama antara MK dan DPP Partai Demokrat dalam rangka penanaman pemahaman kesadaran berkonstitusi bagi kader-kader Partai Demokrat.  “Jadi makannya rame-rame,” tegas Anas.  Tidak ada hal-hal khusus yang dibicarakan dalam pertemuan makan bersama tersebut.  Menurut Anas, adalah sama sekali tidak tepat mengkaitkan pertemuan yang terjadi pada 2008 tersebut dengan isu gratifikasi Nazaruddin pada 2010.

Sebenarnya yang dimaksud Ketua MK Mahfud adalah supaya Anas menjelaskan kepada publik bahwa ia dan Nazaruddin pernah bertemu dengan Janedjri. Penjelasan Anas diperlukan karena dalam keterangannya kepada pers, Nazaruddin membantah pernah mengadakan pertemuan dengan Janedjri.  Kepada wartawan Mahfud menegaskan, “Saya katakan, berikan keterangan bahwa Anas tahu Nazarudin kenal dengan Janed (Janedjri).  Anak buah Anda (mengaku) tidak kenal, padahal Anda tahu, mbok Anda bersuara.”  Yang agak mengherankan, hingga saat ini saya belum berhasil menemukan berita di internet yang menyatakan bahwa Nazaruddin belum kenal atau belum pernah bertemu dengan Sekjen MK Janedjri M. Ghaffar.  

Oleh karena itu, untuk sementara saya menduga bahwa mungkin yang hendak dikatakan Nazaruddin adalah bahwa ”ia memang sudah kenal Janed, tapi belum pernah bertemu dengan Janed dalam kaitannya dengan pemberian uang  sebesar 120 ribu dollar Singapura tersebut.  Dengan kata lain, yang  ingin ia katakan sebenarnya hanyalah informasi bahwa ia tidak pernah memberikan uang tersebut kepada Janedjri.  Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Nazaruddin pada 23 Mei 2011 lalu yang meluruskan  tudingan Ketua MK Mahfud MD bahwa dirinya tidak kenal Janedjri.   "Saya kenal baik sama Janedjri, dia sering ke rumah saya.  Beberapa kali ke rumah saya.  Jadi Pak Mahfud jangan katakan saya amnesia,"  demikian ujarnya. 

Barangkali hal yang hingga saat ini masih belum jelas, bagi kita, adalah tentang kebenaran pemberian uang dalam dollar Singapura tersebut kepada Janedjri.   Walaupun bagi orang-orang tertentu, terutama anggota Dewan Kehormatan Partai Demokrat, hal tersebut mungkin sudah nampak sangat jelas.   

Lalu, benarkah kontroversi tentang pemberian uang tersebut merupakan suatu kesalahpahaman, kesalahucapan, atau merupakan sesuatu yang tidak perlu diekspose ke publik karena dikhawatirkan hal tersebut dapat mengakibatkan polemik yang berkepanjangan dan mengganggu proses hukum yang akan dan sedang berjalan?  Kelihatannya sebagian besar elite Partai Demokrat memang menghendaki hal tersebut diekspose dan diselesaikan nanti melalui jalur hukum.   Sementara kita sudah tidak sabar lagi menunggu.     

Kisah Perjalanan Briptu Norman Camaru


Selama dua minggu lebih di bulan April 2011 sosok Briptu Norman Camaru, polisi muda asal Gorontalo yang tiba-tiba menjadi idola baru setelah video “Polisi Gorontalo Menggila” diunggah oleh Rienal Revaldi dan beredar di Youtube, mempunyai jadwal kegiatan yang luar biasa padat di Jakarta. Bukan hanya sibuk mengisi acara hiburan dari stasiun TV yang satu ke stasiun TV lainnya, tetapi ia juga sempat masuk dapur rekaman untuk menyiapkan single albumnya yang berjudul Cinta Farhat dan mengisi acara Opera van Java Trans7 di Bali.  Bahkan ketika sedang santai menikmati rekreasi di Taman Mini dan Dunia Fantasi bersama keluarga pun ia tak bisa menolak permintaan para penggemarnya untuk menyanyi dan berjoget “Chaiyya-Chaiyya”. Para penggemarnya yang rata-rata remaja puteri dan ibu rumahtangga pun saling berebut kesempatan untuk dapat foto bersama dengan Briptu Norman.  Termasuk Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Gubernur Gorontalo pun tak mau ketinggalan mendatangkan Briptu Norman ke rumah dinasnya untuk keperluan silaturahmi bersama keluarga pak Menteri.

Lepas dari sergapan media dan para penggemarnya di Jakarta Briptu Norman ternyata masih harus menghadapi sambutan para penggemarnya di Gorontalo yang melimpah ruah di pinggir jalan mengelu-elukan dirinya seperti seorang pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Di sepanjang jalan menuju kantor Polda Gorontalo Briptu Norman mungkin masih nampak gagah duduk di atas mobil tank barracuda sambil tetap bersemangat membalas lambaian tangan dan teriakan histeris para penggemarnya. Namun tak bisa dibohongi, staminanya sebenarnya sudah habis terkuras. Belum sempat menemui keluarganya, segera usai perjalanan, Briptu Norman pun dilarikan ke rumah sakit. Acara syukuran Polda Gorontalo, yang semula diharapkan Briptu Norman akan bisa tampil menghibur warga Gorontalo, pun terpaksa dibatalkan dan diganti dengan acara doa bersama untuk kesembuhannya.

Mengamati kisah perjalanan Briptu Norman di dunia selebriti yang cukup fenomenal tersebut saya tertarik pada dua hal. Pertama, perubahan sikap pejabat Polri di Jakarta yang semula akan memberikan sanksi kepada Briptu Norman dan kemudian berubah menjadi mengapresiasinya.  Bahkan tak lama kemudian pimpinan Polri justru memberikan kesempatan kepada Briptu Norman untuk mengunjungi Jakarta dan tampil sebagai polisi selebriti yang berperan menghibur masyarakat. Tentunya dengan harapan aksi menghibur Briptu Norman tersebut dapat memperbaiki citra Polisi di mata masyarakat.

Saya yakin sekali ketika video “Polisi Gorontalo Menggila” mulai beredar luas di Youtube dan disiarkan oleh sejumlah stasiun TV nasional, maka hal yang pertama kali terlintas di kepala pimpinan Polri adalah bahwa Briptu Norman telah melakukan pelanggaran disiplin kepolisian.  Menurut ketentuan, bercanda berlebihan dan melepas baret dinas saat piket memang tidak diperbolehkan. Itulah sebabnya, menurut pengakuan Briptu Norman, pimpinan Polri menelpon dan memberikan teguran lisan kepadanya.  Ada rasa khawatir dari pihak institusi Polri bahwa tindakan indisipliner Briptu Norman yang diekspose secara luas di hadapan publik akan membuat citra Polisi semakin terpuruk di mata masyarakat.

Kekhawatiran pimpinan Polri tersebut ternyata meleset. Justru penyataannya yang akan memberikan sanksi kepada Briptu Norman menuai kritik dari publik.  Dukungan dari masyarakat kepada Norman pun meluas. Memberikan sanksi kepada Norman karena menyanyi dan berjoget “Chaiyya Chaiyya” saat piket dinilai masyarakat sebagai berlebihan. Mereka berdalih bahwa polisi juga manusia. Ia bisa merasa jenuh ketika sekian lama harus terus-menerus duduk berdiam diri, seperti patung, di pos jaga.  Oleh sebab itu, menurutnya, sekali-kali ia berhak untuk menghibur diri. Bahkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung pun turut memberikan dukungan kepada Norman. Menurutnya, saat melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah, Presiden SBY saja boleh bernyanyi untuk menghibur masyarakat. Mengapa Norman tidak boleh?  Bukankah aksi nyanyi dan joged Norman yang menghibur masyarakat tersebut justru dapat mendekatkan Polisi kepada masyarakat?   
        
Barangkali setelah melihat peluang untuk lebih mendekatkan Polisi kepada masyarakat itulah yang membuat institusi Polri tertarik untuk menghadirkan Briptu Norman di Jakarta dan mengijinkannya tampil mengisi acara hiburan “Chaiyya Chaiyya” di stasiun-stasiun TV.  Dan kita pun akhirnya menyaksikan aksi-aksi menghibur Briptu Norman yang mendapat sambutan luar biasa antusias dari masyarakat dan tak bisa disangkal pula telah membuat bangga pimpinan Polri, baik yang di Mabes Polri Jakarta maupun yang di Polda Gorontalo.  Dan rewards pun mengalir ke Norman bukan saja dari stasiun-stasiun TV dan studio rekaman yang telah mengundangnya tetapi juga dari institusi Polri yang merasa bangga karena Norman telah berhasil menjalankan tugasnya dalam rangka mendekatkan Polisi kepada masyarakat.

Namun, saya sungguh ingin mengajak kita semua untuk menggunakan akal sehat kita. Mungkinkah pimpinan Polri akan memberikan sanksi yang berat kepada Norman seandainya reaksi masyarakat ternyata bukan mendukung, melainkan mencemooh dan menghujat Norman yang telah melakukan tindakan indisipliner, bernyanyi dan berjoged-ria pada saat ia harus berjaga?  Pantaskah bila putusan apakah reward atau punishment yang akan diberikan kepada Norman tergantung pada apakah publik suka atau tidak suka?  
          
Hal lain yang menarik perhatian saya adalah munculnya kesadaran, termasuk dari pimpinan Polri, bahwa eksploitasi terhadap Briptu Norman sudah melampaui batas-batas kewajaran. Hampir dapat dipastikan, kalau dibiarkan, hal tersebut dapat merusak citra Polisi di masyarakat.  Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Satu hal yang harus kita sadari bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh media terhadap Briptu Norman adalah untuk mendukung kepentingan bisnis media. Bagi media, sukses bisnis akan diperolehnya ketika popularitas Norman mampu menyedot perhatian semakin banyak orang yang kemudian diikuti oleh semakin banyak aliran iklan yang masuk ke media tersebut.  Oleh sebab itu, sepanjang masih ada peluang, media akan terus berusaha menggali dan menggali informasi menarik tentang Norman untuk mendukung kepentingan bisnisnya. Imbalan yang menggiurkan biasanya disediakan sebagai umpan oleh media atau pihak manapun yang ingin memanfaatkan popularitas Norman.

Membiarkan Briptu Norman masuk ke dalam jebakan infotainment (mengikuti selera bisnis media) selama lebih dari dua minggu, saya kira, merupakan hal yang di luar batas-batas kewajaran. Terlebih karena Norman adalah seorang polisi (bukan selebriti) yang masih terikat aturan jam-jam dinasnya sebagai polisi. Mereka yang sudah lama menggeluti profesi selebriti saja masih bisa menjadi bulan-bulanan gosip infotainment karena melakukan suatu kekhilafan. Padahal rata-rata mereka sudah mempunyai tim manajemen yang profesional. Lalu bandingkan dengan Norman, polisi muda yang penghasilannya hanya pas-pasan, yang hanya ditemani oleh atasannya AKBP Anang Sumpena, dan sama sekali belum punya pengalaman untuk menghindar dari jebakan. 

Dan apa yang dikhawatirkan oleh sebagian orang itu pun sudah terekam di mata kita.  Beberapa waktu lalu, kita tahu, telah beredar foto-foto Norman di dunia maya yang sedang beradegan “syur” dengan seorang perempuan. Kita juga menyaksikan berita-TV “ribut-ribut” seputar kontrak rekaman lagu-lagu Norman. Walaupun dalam dunia “bisnis selebriti” dua hal tersebut sudah merupakan bagian dari tradisi, tetapi citra dan popularitas Norman harus selalu dijaga supaya tidak berubah menjadi bahan ejekan. Hal tersebut perlu dilakukan karena Norman saat ini bukan lagi Norman yang dulu. Ia telah berubah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari institusi Polri. Pujian atau cemoohan yang ditujukan pada Norman pasti akan berdampak sama pada Polisi. Oleh karena itu keputusan Polri untuk mengakhiri “Kisah Perjalanan Norman di Jakarta”, walaupun agak terlambat, perlu diapresiasi.      
                           
Lalu, bagaimana kisah perjalanan Briptu Norman Camaru berikutnya? Benarkah Norman akan mendapatkan beasiswa pendidikan sarjananya dan akan berhasil menjadi Perwira Polisi?  Mungkinkah ia akan tampil kembali di stasiun TV di Jakarta, mengisi acara panggung hiburan dengan memperkenalkan kreasi (lagu dan joged) terbarunya, “Chaiyya Chaiyya jilid Dua”?

Sebaiknya kita tunggu saja kisah perjalanan Briptu Norman Camaru berikutnya. Yang jelas, Norman kini harus rela mengurbankan sebagian privasinya untuk para pengemarnya.  Kini ia harus merelakan dirinya diawasi, dipelototi, atau bahkan diteriaki oleh para penggemarnya, pada saat ia sedang jalan (sendiri atau berduaan) di mall, supermarket, atau ruang-ruang publik lainnya. Karena sesungguhnya merekalah yang telah “membayar” semua rewards yang telah diberikan kepada Norman dari stasiun-stasiun TV, studio rekaman, dan juga dari institusi Polri.      


Rabu, 04 Mei 2011

K A M U


Sudah merupakan hal biasa untuk maksud yang sama kita kadang menggunakan kata atau sebutan yang berbeda.  Sebagai contoh, untuk kata ganti orang kedua kita bisa menggunakan kata Anda, Saudara, Kamu, Lu, atau dengan menyebutkan nama di belakang sebutan Pak/Bapak, Bu/Ibu, Saudara, atau sebutan lainnya.  Pilihan kata atau sebutan tersebut seringkali tergantung pada konteks lingkungan komunitas dimana komunikasi tersebut dilakukan. 

Dalam konteks komunitas informal seperti pergaulan anak muda atau persahabatan orang dewasa di rumah, sekolah, mall atau di tempat-tempat umum lainnya biasanya digunakan pilihan kata-kata pertemanan Kamu-Aku atau Lu-Gue. Dalam konteks komunitas yang bersifat formal seperti dalam acara rapat/pertemuan di kantor atau kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat  biasanya kita menggunakan kata Anda, Saudara, atau nama di belakang sebutan Pak/Bapak, Bu/Ibu, atau Saudara.    

Akan menjadi aneh manakala kata-kata yang biasa digunakan dalam konteks komunitas informal, misalnya kata “kamu”, kemudian digunakan dalam konteks komunitas formal. Sekarang coba bayangkan seandainya kita mempunyai seorang atasan baru yang masih berusia muda dan mempunyai kebiasaan menyebut “kamu” kepada setiap bawahannya, termasuk kepada mereka yang lebih tua, dalam forum-forum pertemuan resmi di kantor. Pertanyaan yang mengusik saya, mengapa kita merasa harga diri dan martabat kita seakan direndahkan oleh ucapan “kamu” atasan kita? Selain itu, mengapa atasan kita tetap mempertahankan kebiasaan tersebut meskipun ia tahu semua atau sebagian besar bawahannya tidak menyukainya?

Pertama-tama, sesuatu yang tidak biasa itu pasti akan menarik perhatian kita. Energi emosi kita akan berkumpul di satu titik. Ketika sesuatu itu merupakan hal yang menyenangkan maka kita akan (melepas energi emosi kita dan) merasakan kesenangan yang luar biasa. Sebaliknya, ketika sesuatu itu merupakan hal yang menyakiti perasaan kita maka kita pun akan merasakan kesedihan yang luar biasa pula.  Hal lain yang perlu kita ingat adalah bahwa ucapan “kamu” sebenarnya bisa mempunyai makna yang berbeda, tergantung pada intonasi suara dan bahasa tubuh yang diperlihatkan oleh orang yang mengucapkannya. Kita bisa dengan mudah membedakan makna ucapan “kamu” dalam kalimat “Nduk, kamu harus tetap tegar menghadapi cobaan hidup ini” yang diucapkan oleh seorang Bapak kepada anak perempuannya dan kalimat “Kamu harus ingat bahwa untuk masalah yang satu ini saya tidak pernah main-main” yang diucapkan oleh seorang atasan kepada bawahannya.    
                 
Ada satu lagi yang perlu saya garisbawahi di sini. Hal yang membuat kita merasa harga diri kita direndahkan bukanlah semata-mata karena ucapan atasan kita, melainkan juga karena tingkat sensitivitas kita untuk menerima ucapan tersebut.  Karena tingkat akseptabilitas kita terhadap kata “kamu” yang diucapkan oleh atasan kita bisa berbeda di antara kita, maka sesungguhnya respon kita terhadap ucapan tersebut pun bisa berbeda. Bukan tidak mungkin sebagian di antara kita menganggap sebutan “kamu” yang diucapkan oleh atasan kita tersebut sebagai “sesuatu yang tidak penting”.  Ucapan tersebut, menurut mereka, sama sekali tidak berpengaruh pada martabat dan harga diri mereka.

Pertanyaan berikutnya, mengapa atasan kita tetap mempertahankan kebiasaan tersebut meskipun ia tahu semua atau sebagian besar bawahannya tidak menyukainya? Kemungkinan pertama adalah ia menganggap kebiasaan tersebut merupakan gaya ekspresi yang ia pilih sebagai identitasnya, tanpa diboncengi oleh niat atau kepentingan apapun. Setiap orang, menurut ia, berhak untuk memilih menggunakan kata ganti kedua manapun, termasuk “kamu” dan juga “you”, dalam berkomunikasi dengan orang lain.  Kemungkinan berikutnya, dengan menggunakan sebutan “kamu” kepada bawahan ia berharap bawahan akan memperhatikan dan merespon sesuai dengan keinginannya.  Kata “kamu” di sini barangkali merupakan simbol ketegasan dan sikap straight forward, tanpa basa-basi, yang ingin diperlihatkannya. 

Seorang atasan atau pemimpin yang biasa menggunakan sebutan “kamu” kepada bawahannya dalam setiap acara pertemuan mungkin bermaksud baik, agar supaya pertemuan tersebut dapat berlangsung dalam suasana kekeluargaan atau kebersamaan tanpa ikatan yang terlalu formalistis.  Namun mereka yang merasa harga dirinya direndahkan seringkali menyebutnya sebagai seorang pemimpin yang otoriter. Sikapnya yang tegas dan straight forward seringkali diartikan sebagai sikap yang tidak penuh kehati-hatian dan terlalu menggampangkan. Meskipun demikian, suatu saat nanti kita mungkin akan merindukan kehadirannya.  Barangkali ketika sikap kehati-hatian dan basa-basi telah mengalami inflasi yang terlalu tinggi, dan kepemimpinan yang ada saat ini tak kunjung mampu memenuhi harapan kita.