Senjakala
Kapitalisme
Amich Alhumami, PENELITI SOSIAL DI DEPARTMENT OF
ANTHROPOLOGY, UNIVERSITY OF SUSSEX, UNITED KINGDOM
Sumber
: SINDO, 30 November 2011
Perekonomian
dunia terguncang hebat akibat krisis finansial yang melanda dua benua: Amerika
dan Eropa, semula terjadi pada 2008 dan berlanjut pada 2011.
Krisis
ekonomi menohok tepat di wilayah yang menjadi jantung kapitalisme global.Dunia pun
tersentak seakan tak percaya, negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalis
yang kelihatan tangguh ternyata bisa limbung terkena serangan krisis keuangan
akibat utang yang menumpuk. Krisis finansial bahkan membuat sejumlah
pemerintahan di negara-negara Eropa jatuh (Yunani, Italia) atau kalah dalam
pemilu (Inggris, Irlandia, Spanyol).
Krisis
ekonomi yang disebut paling serius sejak The Great Depressionpada 1930-an itu
memunculkan pertanyaan: mengapa negara dengan sistem ekonomi kapitalis yang
tampak digdaya bisa lumpuh tak berdaya? Apakah krisis ekonomi ini menjadi
penanda sejarah bahwa kapitalisme tengah memasuki periode senjakala? Periksalah
kembali Karl Marx dan pemikir-pemikir progresif-radikal bermazhab Marxian, yang
karya-karya kesarjanaan mereka berisi kritik atas ideologi kapitalisme berikut
praktik ekonomi kapitalis, niscaya Anda akan mendapat pencerahan betapa
kapitalisme mengandung kontradiksi- kontradiksi internal yang akut.
Sebagai
sebuah sistem ekonomi, kapitalisme telah memikat dunia selama berbilang abad.
Negara yang memeluk sosialisme seperti China sekalipun, praktik ekonominya
bahkan merujuk pada kapitalisme. Namun, krisis keuangan yang justru melanda
negaranegara kapitalis sendiri telah membuka mata dunia, betapa para kapitalis
justru bekerja saling berbenturan. Didorong oleh ambisi besar menguasai
sumber-sumber ekonomi produktif, para kapitalis cenderung mendominasi sistem
produksi, menguasai alat-alat produksi,dan memonopoli aktivitas perekonomian
untuk membangun masyarakat kapitalis.
Masyarakat
kapitalis terdiri atas kumpulan para pemilik modal yang saling bersaing untuk
melakukan ekspansi bisnis, karena digerakkan oleh hasrat mengakumulasi kapital
dan melipatgandakan keuntungan. Jika bukan kapitalis A yang berinvestasi di
bidang usaha tertentu,niscaya kapitalis B yang akan mengambil peluang bisnis
dan investasi.Watak dasar kapitalisme adalah endless accumulation, yang
tercermin pada naluri primitif untuk mengakselerasi pertumbuhan.
Hasrat
mengakumulasi kapital yang tak bertepi dalam kapitalisme menjalar seperti
kanker, yang terus tumbuh hanya untuk mengantarkan seseorang ke pintu kematian
(lihat John McMurtry,The Cancer Stage of Capitalism, Pluto Press, 2009). Dengan
watak ekspansionis dan bersandar pada hukum purba Darwinisme sosial, setiap
pemilik modal cenderung berperilaku sama dalam menjalankan praktik ekonomi,
melalui aneka rupa kegiatan bisnis berburu rente dalam payung oligopoli.
Praktik
ekonomi yang demikian ini oleh Samir Amin, pemikir berhaluan Marxis, disebut
the strategies of imperialist rent-seeking and rent-capturing by the
oligopolies. Sosiolog Herbert Spencer yang mula-mula mengenalkan istilah Social
Darwinism menjelaskan bahwa proses seleksi alam ditentukan oleh siapa yang
lebih kuat dan punya daya adaptasi tinggi, dia bukan saja mampu bertahan hidup,
melainkan juga akan terus berkembang dalam kehidupan. Sebaliknya, bagi siapa
saja yang lemah dan rendah daya adaptasinya, dia akan punah dan tergilas oleh
persaingan dalam kehidupan.
Hukum
purba semacam ini diterapkan dengan sangat sempurna dalam praktik ekonomi
kapitalis, yang secara teknis disebut accumulation by dispossession. Frase ini
mengindikasikan betapa kapitalisme berkembang menjadi sistem ekonomi hegemonik
di era modern melalui eksploitasi,dominasi, dan disposesi.Karena itu, para
kritikus menyebut praktik ekonomi kapitalis serupa dengan praktik kekuasaan
imperialis, yang mengeruk kekayaan alam dan sumber daya ekonomi di wilayah
jajahan demi kemakmuran penguasa kolonial.
Sistem
kapitalisme memang menggerakkan aktivitas ekonomi dengan memacu produktivitas,
namun para kapitalis mengeksploitasi sumber daya ekonomi demi meraup keuntungan
bahkan melampaui apa yang mereka produksi. Tak pelak,kapitalisme merupakan
kekuatan destruktif yang sangat membahayakan peradaban dan kemaslahatan umat
manusia. Dalam konteks demikian, argumen para kritikus yang menyebut
kapitalisme sebagai sumber katastrofi sosial-ekonomi menemukan dasar pijakan
yang kuat.
Simaklah
kritik pedas—sekali lagi—Samir Amin, penafsir Marxisme nomor wahid, berikut:
“The destructive dimension of capitalism makes it impossible to believe that
this system can be sustainable. Its place in the history of humanity is that of
a parenthesis, one which creates the conditions for overtaking it.If this
doesn’t happen, capitalism can only lead to barbarism and the end of all human
civilization.” (Ending the Crisis of Capitalism or Ending Capitalism? 2011).
Dalam
konteks kritik ideologi, Amin melukiskan betapa kapitalisme penuh dengan
paradoks yang niscaya akan berujung pada pembusukan akibat keserakahan
kolektif. Keserakahan berdaya rusak tinggilah yang mengantarkan pada krisis
finansial global seperti yang terjadi saat ini. Bagi Amin, guncangan yang
menerpa sistem ekonomi kapitalis dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya
lebih dari sekadar krisis finansial, tapi jauh lebih mendalam lagi yakni krisis
ideologi.
Krisis
ideologi kapitalisme berpangkal pada kuatnya orientasi untuk menumpuk kekayaan
material, meskipun harus ditempuh melalui caracara yang mengabaikan etika dan
moralitas, bahkan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Maka, Amin pun secara
provokatif menyarankan agar dunia tak perlu berikhtiar untuk mengakhiri krisis
kapitalisme karena ia sedang bergerak menuju akhir sejarah. ●